Sunday, December 14, 2008

Siapa Nama Tuhan Kita?

Semalam chatting sama teman. Dan tumben sekali kita bahas masalah dalam ranah filsafat. Tidak tanggung-tanggung lagi, kita bicara masalah Tuhan. Tapi ini hanya diskusi sekedar. Berikut penggalan diskusinya…

………

(Teman) : ada info rid bwat menambah keyakinan kita pada kebesaran Allah
(Teman) : kmarin baca republika
(Teman) : tim peliput haji curhat
(Teman) : bahwa mereka sedang melakukan thowaf ifadhah ada lafaz kalimatullah di atas masjidil haram
(Teman) : subhanallah
(Teman) : jadi ingin sekali pergi kesana
kang_aid: terekam?
(Teman) : hanya bacaan, tapi gw sangat meyakininya berita itu benar
kang_aid: lafaz allah itu dari bentuk awan?
(Teman) : ia, kejadiannya pukul kira kira jam sembilan pagi, disaat cuaca sedang cerah diselimuti awan biru
(Teman) : trus reporter itu curhat bahwa dia tidak bisa merekam kejadian tersebut
(Teman) : karena jamaah sedang melakukan thowaf, jadi ga bisa berhenti
(Teman) : padahal dia sudah berniat ingin sekali meliput lafaz Allah yang terbentuk awan
(Teman) : dari pergi dia sudah siap merekam duduk dipinggir bagian pesawat
(Teman) : tapi Allah tidak mengizinkannya
(Teman) : dia melihatnya ketika sedang thowaf
(Teman) : jadi tambah keyakinan ma kebesaran Allah
(Teman) : walaupun hanya dengan membaca tulisan itu
(Teman) : loh kok panjang banget ya gw nulis
kang_aid: hahaha..... jadi inget, pernah lihat brosur atau pamflet di mana gitu lupa.... informasi tentang acara dialog... judulnya... "Mengapa Nama Tuhan Kita adalah ALLAH?"
(Teman) : jawabannya apa
kang_aid: yah ngga tahu... kan ngga ikut dialognya...
(Teman) : wkwkwk
kang_aid: kira2 jawabannya apa yah??
(Teman) : mang ada jawabannya ???????????????????
(Teman) : gw rasa otak manusia ga mampu kali mikirnya
kang_aid: iyah.... wong tuhan sendiri yang menyebut namannya dalam alquran
kang_aid: ya kan pan??
kang_aid: bahwa namannya adalah ALLAH
(Teman) : ia tuh uztadz hebat banget klo bisa jawab ya
kang_aid: tapi kalau gw baca di SEJARAH TUHAN nya Karen Amstrong, kalo ngga salah, ditinjau dari segi bahasa.... bahwa ALLAH itu artiya Tuhan yang Khusus...
kang_aid: terdiri dari dua kata, AL menunjukkan kekhususan, sedangkan (I)lah artinya adalah (satu) Tuhan....
(Teman) : tapi lebih tepatnya klo kita kaji surat AL IKHLASH dari awal sampai akhir
(Teman) : kayanya disitu lebih akurat dan jelas banget ya
kang_aid: Tapi orang2 sebelum islam menyebut tuhannya dengan sebutan Alihah... itu menunjukkan mereka menyembah banyak tuhan... alihah itu bentuk jamak dari ILAH
kang_aid: Betul, di ayat ayat tauhid, salah satunya adalah al ihlas, memang di situ Tuhan kita mengenalkan dirinya dengan sebutan ALLAH
kang_aid: bukan yang lain...
kang_aid: kemungkinan di sini adalah, Tuhan kita, ALLAH, ingin mengatakan dan memberikan kabar bahwa Tuhan itu hanya satu.... tidak banyak seperti yang dipercayai orang2 sebelum islam...
(Teman) : ia benar rid
(Teman) : luw dapet darimana buku Karen Amstrong
kang_aid: punya...
kang_aid: emang dia itu seorang oreantalis
kang_aid: tapi sering kali orang2 orientalis seperti dia, menilai islam dengan sangat objektif....
kang_aid: kira2 setuju ngga??
(Teman) : ga tau ah rid
(Teman) : ia iyalah
kang_aid: paling ngga itu yang baru sampai infonya ke gw pan... jadi paling ngga kalo ada yang tanya jawaban gw sekitar itu.... paling ngga kita punya jawaban... tidak melulu yakin tapi tidak memiliki jawaban pendukung tentang keyakinan kita
kang_aid: coba lihat surat thaha
(Teman) : gw ga pegang alqur'an rid
kang_aid: cari aja di internet
(Teman) : udah bahas aja, males nyarinya
kang_aid: emang ga kepingin tahu yah.... ngga penasaran yah?
(Teman) : ia pingin lah rid
kang_aid: di ayat 14 ada artinya gini "SUNGGUH, AKU INI ALLAH, tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat aku”
kang_aid: terbukti.... dan ini jawabannya.... bahwa Allah mengenalkan dirinya sendiri kepada manusia dengan nama ALLAH
kang_aid: tentang kenapa dia menamakan dirinya adalah allah.... itu terlalu dalam.... kalau kita analogikan dengan bayi yang dinamakan oleh orang tuanya... itu jelas analogi yang tidak bisa disematkan pada allah yang mukhalafatu lilhawadits
(Teman) : rid, thanks dah ada tambahan ilmunya
(Teman) : rid pamit dulu ya
(Teman) : dah ngantuk kayanya nih
kang_aid: siap... thx atas advice nya
(Teman) : mo tidur dulu ah, ngantukk
(Teman) : walaupun masih ada yang main
(Teman) : tapi gw dah ngantuk, bobo dulu sekejap
kang_aid: ga papa
(Teman) : ok deh wassalamu'alaikum
kang_aid: alaikum salam
kang_aid: (kapan2 bahas tentang salam)
(Teman) : insya allah
(Teman) : ok deh
(Teman) sudah sign out. (12/14/2008 2:41 AM)
------------------------

Friday, December 12, 2008

Menulis, Kopi, Iwan Fals, dan Konsep Hidup

Mulai dari mana yah? huuh…. bingung. Sudah lama sekali soalnya tidak menulis. Untuk memulai lagi itu rasanya sulit, setelah sekian lama absen mengisi blog ini. Tapi coba dipaksakan deh…. Walau mungkin tulisan ini akan sedikit membosankan. Karena, paling hanya berisi curhatan seorang yang sedang bingung. Kebingungan yang bukan saja hanya pada pencarian ide untuk menulis, tetapi juga kebingungan untuk mencari IDE sebuah kehidupan. Ah, terlalu berat rasanya untuk bicara sebuah IDE kehidupan, apalagi pada sebuah keberanian menulis yang baru lagi muncul.

Sengaja buat kopi dulu untuk menemani menulis. Yang kebetulan ide kesengajaan itu timbul karena gambar sebuah cangkir kopi di head blog ini dan juga warna coklatnya yang sangat membuat hati saya selalu tenang dan sebuah warna kesukaan saya. Yah, sengaja memang. Tapi itu harus dihargai, karena itu juga sebuah ide, meski sederhana. Dengan sebuah harapan sih tentunya. Yaitu penemuan sebuah ide untuk menulis. Walau sampai baris ini, belum juga ada ide yang merasuki imaji saya.

Srup…srup… nikmatnya kopi ini. Tapi saya tidak ingin membahas sebuah kopi. Karena sejujurnya saya sedang berusaha untuk berhenti dan melupakan kenikmatan tiada taranya sebuah kopi.

Yang tak kalah peran pentingnya dalam membimbing keberanian saya untuk menulis saat ini adalah Iwan Fals yang terus saja dan tak berhenti menyanyikan lagunya. Musiknya yang sederhana seperti menghantarkan saya pada sebuah kehidupan lain. Kehidupan di luar sombongnya rutinitas yang masih saja tak pernah berhenti. Kehidupan yang hampir-hampir berhasil membuat saya merasa nyaman dan tak mau pergi dari kemapanan duniawi.

Srup…srup… nikmatnya kopi ini. Tapi, lagi-lagi, saya tidak ingin membahas sebuah kopi. Karena sejujurnya saya sedang berusaha untuk berhenti dan melupakan kenikmatan tiada taranya sebuah kopi.

= = = = = = = =

Seringkali kita menjalani hidup ini, seperti tidak memiliki konsep. Padahal konsep itu sejatinya ada, tapi kita hanya tidak menyadarinya saja.

Malam ini saja contohnya. Ada sebuah dialog menarik dengan teman baru -rumah kos- di atas sebuah sepeda motor usang. Ide dialog itu bermula dari sebuah warung kumuh yang menjual nasi uduk dengan sepasang tua renta yang menjadi pemilik sekaligus pelayannya.

“Penjualnya itu sepertinya orang betawi bekasi yah, rid”. Sebuah dialog bermula. Pertanyaan ini muncul karena, mungkin, teman saya merasa heran perihal keakraban saya dengan sepasang tua renta penjual nasi uduk itu.

“Iyah. Orang betawi. Kebetulan udah lama ngga makan di sana”. Saya menerangkan tentang sudah jarangnya saya makan di tempat enyak, sebutan untuk penjualnya.

“Oh….Iyah. Aku dah ngira sih kayaknya betawi banget. Betawi bekasi gitu”.

“Kalau makan di sana, seperti terasa di kampung sendiri, Jadi, dulu saya sering makan di sana.”

“Oh…”

“Nikmat kalau sudah ngobrol sama mereka, tidak perlu mikir”

“Hahaha” Teman saya hanya tertawa ringan.

Sering kali kalau lagi sendirian dan sedang merasakan hati yang kesepian di malam hari, saya datang ke sana. Walau hanya makan kue lopisnya saja, sebagai alasan, saya mengobrol dengan “nyak” dan “baba” – panggilan untuk sepasang suami-istri tua renta itu.

Dialog di atas terjadi begitu saja tanpa direncanakan. Dan setelahnya, saya berpikir kembali tentang ucapan saya pada kalimat terakhir. Yang agak sedikit terasa menyepelakan orang tua itu.

Akhirnya saya pikir-pikir lagi ucapan saya itu, karena memang dalam hati ini tidak ada niat menyepelekan mereka. Dan tiba-tiba sebuah konsep perjalanan hidup saya dengan sendirinya menguak dan muncul ke permukaan dengan sangat jelas dengan diawali sebuah pertanyaan. Mengapa saya sangat senang saling bercerita dengan sepasang tua renta itu?

Akhirnya saya mulai menyadari, dan berani menjawab sendiri pertanyaan di atas. Kalau mengobrol dengan sepasang tua renta itu memang tidak perlu berpikir dengan otak, karena mereka mengajak berdialog dengan hati. Dan hati adalah pusat ketenangan. Dan ketenangan adalah sebab dari kesenangan.

Ingin saya lanjutkan kalimat terakhir saya dari sebuah dialog di atas dan ini menurut saya sebuah konsep kesenangan bagi saya.

“Nikmat kalau sudah ngobrol sama mereka, tidak perlu mikir, karena mereka bercerita dengan HATI

= = = = = = = = =

Srup…srup… tegukan terakhir. Nikmatnya kopi ini. Alhamdulilah, saya tidak membahas sebuah kopi. Karena sejujurnya saya sedang berusaha untuk berhenti dan melupakan kenikmatan tiada taranya sebuah kopi.

Wednesday, December 3, 2008

Tuhan (pun) Berlogika

Beberapa minggu lalu, saya dengan beberapa teman mendapat panggilan untuk mengikuti ujian dinas kenaikan pangkat. Sebuah ujian yang kelulusannya dapat membuat golongan kami menanjak lebih tinggi. Ujian ini juga seringkali menjadi sebuah “hantu” bagi para pesertanya. Banyak orang yang tertunda kenaikan pangkatnya karena tidak lulus dalam ujian ini. Walaupun banyak juga yang berhasil.

Ketika Ujian selesai dilaksanakan. Beberapa hari setelahnya. Salah seorang teman saya pernah nyeletuk kepada saya, ketika saya keluar, setelah berada agak lama di dalam mesjid untuk berdoa.

“Rid…rid…. Percuma kalau doa minta lulus ujian dinas sekarang. Ngga ngaruh. Harusnya doa minta kelulusannya sebelum ujian… ngga setelah ujian. Ngga logis.”

Saya hanya tersenyum membalasnya, walau hati sedikit bergejolak. Kalau dipikir secara logika, itu bisa dibenarkan. Usaha kita, belajar sekaligus berdoa, itu memang seharusnya berada di awal. Wong ujiannya sudah. Sejatinya hasilnya sudah ada. Minta atau tidak minta, yah tidak akan pengaruh, karena memang hasilnya, sejatinya, telah ada.

Tapi dalam hati saya, entah kenapa, ada keyakinan lain. Sebuah keyakinan yang menyatakan bahwa logikanya itu salah. Logika manusia hanya sebuah logika yang partikular. Logika person per person. Dan saya juga yakin bahwa ada logika yang lebih tinggi dari logika manusia yang sifatnya partikular, yaitu logika yang universal.

Ketika pikiran nalar manusia telah kehilangan “benang”-nya, karena terbatasi (dibaca: terputus) oleh tingkat kecerdasan dan pengalamannya yang mengharuskan ada “titik” yang tak bisa dihindari. Namun, logika universal tak akan pernah kehabisan “benang”-nya dan dapat mengganti “titik” menjadi hanya sebuah “koma”. Tapi tentunya, sebagai manusia, hal ini membutuhkan sebuah “keyakinan” atau “iman” untuk menerima logika tersebut.

Dengan nada yang sedikit rendah, mungkin tak terdengar, saya menjawab “Ah…, Tuhan juga punya logika, Kang.”

Monday, May 19, 2008

Belajar Hidup untuk Sukses

Saat lari pagi bersama teman-teman, saya didatangi oleh seorang wanita. Nampak ia membawa sebuah buku. Dari gelagatnya sepertinya wanita ini ingin menawarkan sebuah buku yang berada di tangannya itu. Yah, seorang sales wanita dengan warna pakaian persis sama dengan bukunya. Ternyata ia adalah tim sukses atas penerbitan buku itu. Begitu akunya. Dia khusus mendatangi saya, padahal saya sedang bersama teman-teman yang lain saat itu.

Wanita itu menawarkan sebuah buku motivasi untuk menjadi orang sukses. Dengan berbagai cara ia menjelaskan dan menceritakan buku itu. Akhirnya, saya langsung meminta wanita itu untuk menyimpulkan bukunya dengan kalimat yang singkat. Dan ia menjawab dengan mencari kalimat yang tepat untuk menggambarkan singkat buku itu, “Ku tahu yang ku mau!” Entah maksudnya apa(?).

Wanita itu bilang kepada saya bahwa buku itu menjelaskan seberapa pentingnya kita belajar dari orang-orang besar. Entah mengapa saya tertarik untuk berpikir menyalahkan persepsinya, mungkin tepatnya persepsi dari buku itu. Padahal kalau saja wanita itu tahu, saya banyak belajar darinya. Bagaimana ia begitu kuat dan ulet ketika ia berusaha menjual buku itu kepada beragam orang dan bagaimana pandainya ia berbicara dengan santun juga kepada setiap orang yang ditemuinya, termasuk saya. Dan itu terbukti saya bisa mengambil pelajaran bukan dari orang-orang besar saja.

Saya jadi teringat juga dengan perkataan teman saya di suatu malam saat kita berdiskusi masalah arti sukses di sebuah warung makan nasi goreng di kawasan selatan Jakarta. Kebetulan dia adalah seorang penjaga toko. Dia bilang kepada saya bahwa seharusnya ia banyak belajar kepada orang-orang hebat untuk menjadi pribadi yang sukses. Ia malu pada keadaan dirinya. Ia merasa malu karena teman-temannya telah banyak yang, menurutnya, telah sukses dengan pekerjan yang layak. Sedangkan ia belum.

Pendapat itu ada benarnya, namun saya tidak sepenuhnya setuju. Menurut saya, kita bisa belajar dari siapa saja, tidak terkecuali dari seorang pengamen jalanan atau tukang koran dijalan atau bahkan dari anak kecil sekalipun. Dan saya tak habis pikir kenapa sales wanita dan teman saya itu tidak berpikir sama dengan saya bahwa kita tidak mesti selalu belajar dari orang-orang besar, toh dari orang-orang lemah pun kita bisa banyak mengambil pelajaran.

Ternyata jelas mengapa mereka dan saya berbeda pendapat. Hal itu karena sukses menurut mereka adalah sebuah materi yang banyak dan berlimpah. Menurut mereka kesuksesan itu berarti uang banyak, rumah besar, mobil mewah, ekerjaan layak dan lain sebagainya. Sedangkan menurut saya sukses itu sangat erat kaitannya dengan “kekayaan hati”. Ketika saya merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang saya punya itu berarti kesuksesan saya.

Sebenarnya yang harus mereka dan saya pelajari adalah bagaimana caranya bisa senang dan bersyukur dengan apa yang dimiliki. Keadaan bersyukur disini bukan berarti kita harus puas dan tidak perlu meningkatkannya. Karena agama, sejalan dengan sosial-budaya, memerintahkan kita untuk selalu ikhtiar dalam hidup, baik ikhtiar yang sifatnya mengumpulkan materi maupun ikhtiar yang sifatnya menguatkan hati.
Saya jadi ingat ketika seorang sahabat, yang sangat dekat dan mengenal saya, tiba-tiba menegur bahwa seharusnya saya banyak belajar dari anak-anak kecil. Saat itu saya tidak tahu apa maksud dari perkataannya itu. Ketika saya tanyakan maksud dari kalimatnya itu, dia hanya menjawab nanti kamu juga akan mengerti. Dan ketika saya pikirikan, ternyata anak kecil itu sangat ikhlas, tulus, total dan jujur dalam melakukan sesuatu. Sangat berbeda dengan saya yang masih sering tidak tulus dan jujur dalam bertindak. Ternyata saya belum sukses dalam hidup. Mungkin saya cukup dalam meteri, tapi tidak dengan hati.

Friday, May 16, 2008

Bapak, Malam Ini...

Malam membidani kerinduan
Sosok pahlawan yang telah lama hilang
Bersama debu yang menutupi
Dengan sebongkah nisan yang mematri
Sunyi menusuk memori
Kenangan indah dimanja dan dikasihi
Dibuai, digendong, dan dipeluk erat
Dan sebuah dongeng pengantar lelap
Senyap memeras air mata
Terngiang suara berat dalam nasehat
Seyuman yang tak hilang dalam marah
Dihiasi bau hangat tubuh yang jumawa

Bapak, malam ini aku rindukanmu…
Dan entah pada malam yang mana lagi…