Thursday, July 12, 2007

So' Idealis atau Memang Perduli?

Sudah lama sekali saya tidak menulis. Sudah hampir satu bulan. Memang suatu hal yang kita suka, namun seringkali rasa malas mengalahkan kesukaan kita itu. Tapi biarlah itu menjadi suatu yang alamiah. Bukankah perlu dalam kehidupan ini ada pasang surut. Buktinya pasang surut air laut dalam semesta kita ini punya pengaruh yang sangat luar biasa bagi menunjang sebuah kehidupan yang sejati. Ah, banyak ngelanturnya. Oke! Kita mulai saja lagi…

---

Kemarin sore saya mendapat telepon dari seorang teman. Ia adalah seorang pegawai dengan golongan, mungkin bisa dibilang paling, rendah di tempat kerjanya. Pembicaraan kita agak sedikit ngalor ngidul. Namun setelah perbincangan sudah agak lama, dia mulai menceritakan suatu hal yang menurutnya sangat mengganggunya.

“Id, aku kemarin dikasih duit oleh pegawai yang tingkatannya, baik jabatan maupun pendapatan kerja, lebih tinggi dari aku.” Dia mengakui hal itu baru terjadi, persis sebelum ia menelpon saya.

“Lalu kenapa, kan lumayan, dapet rejeki tambahan…” Saya menimpali.

“Justru itu, aku malah ngerasa ngga tenang, Id”

“Loh, kenapa malah ngga senang. Wong dapet rejeki tambahan ko.”

“Aku ngerasa ngga tenang aja. Karena memang aku ngga biasa menerima sesuatu yang sifatnya ’mengupahi’ pekerjaan. Ngerti kan maksud aku?”

“Ah, sampeyan terlalu idealis”

“Masa...!? Aku cuma ngerasa mereka salah dalam bertindak. Jelas-jelas masih banyak orang yang miskin dan butuh uang. Ko malah ngasih aku, yang notabene adalah pegawai tetap dan mempunyai penghasilan yang cukup. Kan ini namanya salah bertindak, salah infak. Aku malu sama diriku sendiri, Id. Apalagi sebenarnya masih banyak orang-orang miskin yang butuh infak dan sedekah di luar sana, atau di kantor sendiri. Cleaning Service atau Satpam, misalnya.”

“Lalu kenapa sampeyan terima?”

“Pertama-tama sempat aku tolak. Namun dengan macam paksaan dan alasan, akhirnya aku dengan terpaksa menerimanya dengan memberikan sedikit ultimatum bahwa ini adalah yang pertama dan terkahir. Besok-besok ngga ada lagi kejadian seperti ini.

“Tapi tentunya dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk aku menerimanya. Nah sekarang aku mau minta pendapat sama kamu, apa yang harus aku lakukan dengan uang ini?”

”Ambil aja. Apalagi kalau sampeyan lagi butuh uang itu. Itu kan halal, bukan proses yang haram.”

“Aku kan dari tadi memang tidak memperkarakan itu halal atau haram, Id. Aku tahu itu halal, tapi menurut aku tidak baik. Tidak baik, karena suatu yang halal tidak tepat dipergunakannya atau salah dalam mengaktualisasikannya.”

“Wong statusnya sudah halal, masih diperumit aja.”

“Kalo menurutku, agama itu tidak mengistimewakan ke-halal-an tok, tanpa mempedulikan apakah itu bertentangan dengan kehidupan kemanusiaan atau tidak? Boleh jadi suatu yang halal itu tidak membawa kebaikan terhadap proses kehidupan. Cerai, misalnya. Cerai adalah suatu yang dihalalkan oleh agama, namun sejatinya ia sangat tidak dianjurkan bahkan sangat dibenci oleh Tuhan. Kenapa…??? Karena perceraian itu adalah suatu yang dapat membawa dampak negatif terhadap keutuhan keluarga dan sangat berpengaruh terhadap psikologis seorang anak yang menjadi korban perceraian ayah ibunya.”

“Ya sudahlah buat saya aja, hehehe....”

“Aku salah juga jika memberi uang ini ke kamu. Wong kamu udah kaya. Malah seharusnya kamu harus sering memberi sedekah ke tetanggamu yang rumahnya gubuk kumuh itu.”

Saya hanya bisa tersenyum mendengar kata-katanya terakhir. Saya tapi tidak habis pikir dengan teman saya itu. Dia itu tampak terlalu idealis sehingga terkesan sombong dengan tidak mau menerima uang itu. Atau memang bener-benar peduli terhadap kemiskinan.

Ah, semoga saja benar kalau memang ia peduli dengan kemiskinan. Kan lumayan ada satu orang yang masih peduli terhadap kemiskinan diantara banyaknya orang yang sudah lupa bahwa masih banyak disekelilingnya kaum papa.