Monday, May 19, 2008

Belajar Hidup untuk Sukses

Saat lari pagi bersama teman-teman, saya didatangi oleh seorang wanita. Nampak ia membawa sebuah buku. Dari gelagatnya sepertinya wanita ini ingin menawarkan sebuah buku yang berada di tangannya itu. Yah, seorang sales wanita dengan warna pakaian persis sama dengan bukunya. Ternyata ia adalah tim sukses atas penerbitan buku itu. Begitu akunya. Dia khusus mendatangi saya, padahal saya sedang bersama teman-teman yang lain saat itu.

Wanita itu menawarkan sebuah buku motivasi untuk menjadi orang sukses. Dengan berbagai cara ia menjelaskan dan menceritakan buku itu. Akhirnya, saya langsung meminta wanita itu untuk menyimpulkan bukunya dengan kalimat yang singkat. Dan ia menjawab dengan mencari kalimat yang tepat untuk menggambarkan singkat buku itu, “Ku tahu yang ku mau!” Entah maksudnya apa(?).

Wanita itu bilang kepada saya bahwa buku itu menjelaskan seberapa pentingnya kita belajar dari orang-orang besar. Entah mengapa saya tertarik untuk berpikir menyalahkan persepsinya, mungkin tepatnya persepsi dari buku itu. Padahal kalau saja wanita itu tahu, saya banyak belajar darinya. Bagaimana ia begitu kuat dan ulet ketika ia berusaha menjual buku itu kepada beragam orang dan bagaimana pandainya ia berbicara dengan santun juga kepada setiap orang yang ditemuinya, termasuk saya. Dan itu terbukti saya bisa mengambil pelajaran bukan dari orang-orang besar saja.

Saya jadi teringat juga dengan perkataan teman saya di suatu malam saat kita berdiskusi masalah arti sukses di sebuah warung makan nasi goreng di kawasan selatan Jakarta. Kebetulan dia adalah seorang penjaga toko. Dia bilang kepada saya bahwa seharusnya ia banyak belajar kepada orang-orang hebat untuk menjadi pribadi yang sukses. Ia malu pada keadaan dirinya. Ia merasa malu karena teman-temannya telah banyak yang, menurutnya, telah sukses dengan pekerjan yang layak. Sedangkan ia belum.

Pendapat itu ada benarnya, namun saya tidak sepenuhnya setuju. Menurut saya, kita bisa belajar dari siapa saja, tidak terkecuali dari seorang pengamen jalanan atau tukang koran dijalan atau bahkan dari anak kecil sekalipun. Dan saya tak habis pikir kenapa sales wanita dan teman saya itu tidak berpikir sama dengan saya bahwa kita tidak mesti selalu belajar dari orang-orang besar, toh dari orang-orang lemah pun kita bisa banyak mengambil pelajaran.

Ternyata jelas mengapa mereka dan saya berbeda pendapat. Hal itu karena sukses menurut mereka adalah sebuah materi yang banyak dan berlimpah. Menurut mereka kesuksesan itu berarti uang banyak, rumah besar, mobil mewah, ekerjaan layak dan lain sebagainya. Sedangkan menurut saya sukses itu sangat erat kaitannya dengan “kekayaan hati”. Ketika saya merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang saya punya itu berarti kesuksesan saya.

Sebenarnya yang harus mereka dan saya pelajari adalah bagaimana caranya bisa senang dan bersyukur dengan apa yang dimiliki. Keadaan bersyukur disini bukan berarti kita harus puas dan tidak perlu meningkatkannya. Karena agama, sejalan dengan sosial-budaya, memerintahkan kita untuk selalu ikhtiar dalam hidup, baik ikhtiar yang sifatnya mengumpulkan materi maupun ikhtiar yang sifatnya menguatkan hati.
Saya jadi ingat ketika seorang sahabat, yang sangat dekat dan mengenal saya, tiba-tiba menegur bahwa seharusnya saya banyak belajar dari anak-anak kecil. Saat itu saya tidak tahu apa maksud dari perkataannya itu. Ketika saya tanyakan maksud dari kalimatnya itu, dia hanya menjawab nanti kamu juga akan mengerti. Dan ketika saya pikirikan, ternyata anak kecil itu sangat ikhlas, tulus, total dan jujur dalam melakukan sesuatu. Sangat berbeda dengan saya yang masih sering tidak tulus dan jujur dalam bertindak. Ternyata saya belum sukses dalam hidup. Mungkin saya cukup dalam meteri, tapi tidak dengan hati.

Friday, May 16, 2008

Bapak, Malam Ini...

Malam membidani kerinduan
Sosok pahlawan yang telah lama hilang
Bersama debu yang menutupi
Dengan sebongkah nisan yang mematri
Sunyi menusuk memori
Kenangan indah dimanja dan dikasihi
Dibuai, digendong, dan dipeluk erat
Dan sebuah dongeng pengantar lelap
Senyap memeras air mata
Terngiang suara berat dalam nasehat
Seyuman yang tak hilang dalam marah
Dihiasi bau hangat tubuh yang jumawa

Bapak, malam ini aku rindukanmu…
Dan entah pada malam yang mana lagi…

Diam: Hubungan Bathin dan Lahir

Rasul pernah menegur seseorang yang anggota tubuhnya banyak bergerak di dalam shalat, beliau berkata setelah orang itu shalat, “Apabila hatimu khusyuk ketika shalat tadi, maka khusyuk pula seluruh anggota tubuhmu.”

Ibn ‘Atha’illah pernah berkata, “Apa yang tersimpan dalam kegaiban hati, akan teraktualisasikan (termanifestasikan) di dunia nyata”. Dalam kesempatan lain dia menuliskan, juga termaktub dalam magnum opus-nya -al-Hikam, “Setiap ucapan yang keluar pasti menunjukkan kondisi hati yang mengucapkannya”.

Ketika ‘Atha’illah menyatakan bahwa apa yang tersimpan dalam hati itu akan dimengerti lewat sikap dan ucapan seseorang, tentunya secara tidak langsung ia percaya bahwa tingkat kearifan, kedewasaan, atau kejumawaan seorang terhadap ilmu dapat terukur atau diukur. Hal ini tidak jauh berbeda dengan teguran Rosul pada seseorang yang banyak menggerakkan anggota tubuhnya dalam shalatnya dengan memberikan sebuah nlai atau ukuran terhadap shalatnya. Khusyuk dan ketidak khusyuk-an seseorang dalam shalat ternyata bisa dilihat dan dinilai.

Memandang atas apa yang dikatakan sang maestro hikmah (dibaca: ‘arif), Ibn ‘Atha’illah, di atas, sepertinya beliau ingin mengajak supaya manusia itu seharusnya lebih banyak diam dan bersikap tenang. Hal ini senada dengan ungkapan “silent is golden”. Diam itu adalah bagai sebuah emas permata. Namun saya masih sepakat dengan pendapat sebagian orang, bahwasanya diam itu tidak berarti tak mengerti. Dan tenang itu bukan berarti pasif.

Jalaludin Rumi, seorang penyair sufi, pernah menuliskan sebuah kalimat,
“Hatiku penuh dengan kata-kata,

karena itu tak kuucapkan sepatah pun suara.”


Memang tidak mudah menebak atau mengartikan kalimat penyair sufi itu. Karena kalau dilihat secara tekstual, kalimat dan anak kalimat di atas tidak sejalan. Tapi barangkali kalimat itu mengandung kedalaman pikiran seseorang yang selalu dan lama dalam sebuah perenungan tasawuf. Atau barangkali itu adalah pernyataan seseorang arif yang berada dalam suatu zaman yang tidak mudah. Namun yang pasti, ketika Rumi tidak bersuara atau diam, tidak berarti ia tak punya kata-kata atau pandangan terhadap sesuatu. Terbukti dengan banyaknya buah pemikiran dari Rumi melalui kitab-kitab yang dituliskannya. Mungkin dia berpendapat bahwa tidak semua kata-kata dan pandangan terhadap sesuatu itu harus dituliskan dan dijadikan sebuah kitab. Lagi-lagi semua itu adalah sebab atas perlakuan zaman yang berbeda. Mungkin.

Di Persia, pernah ada seseorang yang bernama Omar Khayyam. Seorang yang terkenal dengan sajak-sajaknya dalam bentuk rubayyat. Meskipun ia lebih dikenal karena sajak-sajaknya, bukan berarti dia hanya pandai pada sastra. Sebenarnya dia adalah seorang ahli matematika, juga astronom. Dia adalah seorang pengikut dari Ibnu Sinna. Namun ia memilih tidak menunjukkannya atau lebih memilih diam. Rumi pernah berkata tentangnya, “hatinya penuh dengan isi, tapi ia tak mencoba mengundang orang lain bertukar pikiran”.

Memang berbeda sekali pribadi Socrates dengan Khayyam. Ketika Khayyam lebih banyak diam dan lebih memilih menuliskan segala macam pikirannya lewat sajak-sajaknya, berbeda dengan Socrates, ia seorang yang tidak pernah menuliskan buah pikirannya. Ia lebih suka berdiskusi. Namun diskusi yang ia lakoni bermula dari seringnya ia mendengar pendapat-pendapat yang menurutnya tidak sesuai. Benar adanya bahwa Socrates pernah mengatakan, Tuhan menciptakan manusia dengan satu mulut dan dua telinga. Itu artinya seharusnya manusia lebih banyak mendengar dari pada berbicara.

Abu hasfah pernah berkata, “Indahnya adab secara lahir mencerminkan apa yang tersembunyi di dalam batin”. Dengan perkataan itu kita sepertinya dapat mengambil hikmah bahwa yang tersembunyi pada hati dan pikiran, yaitu berupa cahaya ilahi, makrifat, dan ilmu, akan mempengaruhi gerak-gerik pada anggota tubuh atau lahiriah seseorang.

"Transaksi" Sebuah Maaf

Ibunda Malin Kundang sejatinya tak pernah tega, dan mungkin ada rasa penyesalan, ketika mengutuk anaknya menjadi sebuah batu. Atau sebenarnya kutukan itu adalah sebuah kasih sayang dalam bentuk lain yang diberikannya kepada sang anak, Malin Kundang. Namun, kutukan sang ibu itu hanyalah sebuah reaksi dari “transaksi” maaf-memaafkan yang “sulit”.

Kita juga ingat ketika Musa membawa para budak fir’aun yang dibebaskan ke negeri yang dijanjikan Tuhannya. Disaat sebagian kaum yang dijanjikan merasa tidak puas dengan Tuhan yang tidak berbentuk atau, paling tidak, ter-representasi-kan oleh sesuatu, Musa dalam hati kecilnya, sebagai manusia yang manusiawi, tak pernah merestui perbuatannya membunuh sebagian dari pada mereka, padahal mereka dalam keadaan sudah kalah dan berlutut, karena telah melakukan kesyirikan dan pelanggaran setelah janjinya. Tetap ada air mata ketika eksekusi. Namun, pebunuhan itu hanyalah sebuah reaksi dari “transaksi” maaf-memaafkan yang “sulit”.

Memaafkan itu lebih sulit dari pada meminta maaf. Ah, atau terbalik. Sebenarnya, lebih sulit meminta maaf dari pada memaafkan. Tapi mungkin jawaban dari semuanya adalah tergantung. Karena memang hidup dalam dunia yang fana ini tak pernah ada yang pasti dalam keterikatan yang kuat. Semuanya selalu menggantung, tergantung, atau digantung.

Namun, pernyataan diatas akan sangat berbeda ketika kita mendengar perkataan ibn ‘Atha’illah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam, “Engkau merdeka dari segala yang engkau berlepasdiri darinya, dan engkau adalah budak dari segala sesuatu yang engkau tamak terhadapnya”.

Kuntoyo

Akhirnya saya melihat lagi Pak Kuntoyo, satpam kantor, setelah hampir dua minggu tidak menjenguknya. Sebenarnya kemarin saya sempat datang ke rumah sakit umum di Bekasi untuk menjenguknya, sekalian menjenguk orang tua dari teman lama yang kebetulan dirawat di tempat yang sama. Apa mau dikata, ternyata saya tidak tahu kabar bahwa beliau sudah kembali ke rumahnya.

===================

Pak Kuntoyo adalah satpam di gedung kantor saya sejak pertama kali kantor saya pindah. Dia adalah seseorang yang sangat berusaha friendly terhadap siapa saja. Walau asli jawa, tapi sudah sangat medok logat betawinya. Di Bekasi, ia tinggal bertiga dengan istri dan seorang putri di sebuah rumah petak yang ia sewa per bulannya.

Dia adalah termasuk seorang satpam senior. Pengalamannya telah banyak sekali menjadi seorang pengaman gedung. Pernah dahulu, menurut ceritanya, ia menjadi satpam di suatu bioskop di bekasi. Jaringannya sangat luas. Teman-temannya sangat banyak. Itulah bukti bahwa dia sangat friendly terhadap siapa saja. Tertawanya sangat khas, walau kadang berlebihan. Tapi itulah salah satu kelebihannya sehingga kita tak pernah bosan berbicara dengannya.

====================

Infeksi otak. Penyakit itu yang menjadi diagnosa dokter. Namun kabar pertama yang saya dengar dari teman-teman cleaning, dua minggu lalu, adalah serangan gejala stroke. Ketika mendengar kabar tersebut, yang pertama kali saya dengar dari Pak Kurniadi, hari itu juga saya langsung bergegas untuk menjenguknya bersama teman-teman cleaning dan security kantor.

Jabatan tangan saya tak kunjung dilepasnya saat awal bertemu dengannya. Namun genggaman tangannya dihiasi dengan tatapan mata yang kosong. Ia sempat merintih kesakitan. Namun tetap jabatan tangan saya sulit sekali untuk dilepaskan. Dia terus menggenggam tangan saya. Dalam hati saya menangis mendengar rintihannya. Ingin sekali melepaskan tanganya dan berbalik meninggalkannya karena saya sangat tidak kuat menghadapi tatapan dan rintihannya.

=====================

Ya Allah, apakah Engkau tidak punya rasa kasihan memberikan penyakit ini untuknya?

Ya Allah, apakah ujian ini tidak terlalu berat untuk ditanggung keluargnya?

Ya Allah, tidakkah Engkau punya mata, telinga, dan hati?



Atau apakah cobaan ini adalah jalan terbaikMu untuk dia dan keluarganya?

Atau apakah sebenarnya ujian ini semata bukan hanya untuknya, melainkan juga untuk orang-orang disampingnya, teman-temannya, dan para atasannya untuk saling berbagi?


Ya Allah, saat ini pintaku hanya satu, berilah kesabaran dan keikhlasan atasnya dan keluarganya. Karena saya yakin inilah sejatinya hidup, Sabar dan Ikhlas.


Kalimat dalam hati tak terhindarkan sesaat setelah genggaman tangannya terlepas. Ada rasa menggugat, walaupun pada akhirnya saya berusaha mengerti takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan. Karena memang itu tugas kita sebagai manusia di dunia ini. berusaha mengerti dalam setiap takdirNya. Itulah hakikat sabar dan ikhlas.

=====================

Selasa, 13 Mei 2008. Saya di telepon oleh Pak Kurniadi. …Id, mau jenguk Pak Kuntoyo? Dia mau pulang ke Jawa jam 9 pagi ini… Kabar kepulangannya yang sebenarnya telah saya ketahui sejak kemarin. Jam saat itu menunjukkan pukul 8 lebih. Akhirnya saya mengiyakan ajakan Pak Kurniadi, kepala seksi saya. Kembali seperti jengukan sebelumnya, teman-teman claning dan security kantor pun ikut turut serta.

Kami semua naik sepeda motor, karena rumahnya berada di suatu gang dengan jalan yang tidak besar. Ketika sampai di rumah kontrakannya, terlihat begitu banyak orang. Sepertinya mereka telah bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya.

Satu persatu kami menyapa dan bersalaman dengan Pak Kuntoyo. Tubuhnya semakin terlihat kurus dan lusuh. Matanya yang sangat cekung memberikan tatapan yang kosong. Dia tidak kenal kami. Ingatannya seperti menghilang. Ia seperti kembali menjadi bayi, tanpa suara tak bisa bicara. Gerakannya pun dibantu oleh sang istri. Walau akhirnya tersurat senyum di bibirnya, namun masih terlihat memaksa, karena tatapannya kembali kosong. Kembali hati saya terasa sakit. Melihat seorang teman ngobrol disaat lembur saya, tidak mengenali saya lagi.

Tapi itulah yang terjadi. Pak Kuntoyo akhirnya memang harus menjalani tahap ini. Tahap dimana memang terasa sulit untuk menerimanya. Infeksi Otak. Penyakit yang, mungkin, tak pernah terpikirkan oleh dia dan keluarganya, namun akhirnya menjadi sesuatu yang harus mereka hadapi. Entah ini sebuah sandungan atau ini sebuah lubang besar, tergantung dari sudut apa mereka atau kita ingin memandangnya. Yang saya yakini adalah bahwa baik atau tidaknya af’al Tuhan itu tergantung atas bagaimana kita memandangnya dan meyakininya.

Dan dengan rasa berat hati, kami semua akhirnya kembali dan berpisah dengannya, entah untuk waktu yang berapa lama. Dan hidup serta waktu harus tetap bergulir seperti daun-daun yang tak henti berguguran dari pohonnya. Lekas sembuh, Pak…

=======================

Tulisan ini saya persembahkan untuk Pak Kuntoyo. Karena, mungkin, itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Dia telah pulang ke kampung halamannya, entah untuk waktu yang sebentar, lama, atau sangat lama, atau bahkan untuk selamanya. Tapi saya berharap kita dapat bertemu kembali, walau entah kapan dan dimana.