Tuesday, May 29, 2007

Ubay Memilih Etika Epikuros dari Pada Aristoteles

Kemarin sore, saya dan Ivan, pergi ke rumah Ubay. Kami pergi ke sana ingin menanyakan kenapa saat dia dicalonkan untuk menjadi ketua Forum Mushallah Assyatiriyyah, dia malah mengundurkan diri. Padahal ia adalah salah satu kandidat kuat. Tapi itulah Ubay. Entah apa yang ia pikirkan. Padahal orang banyak yang mau jadi pemimpin, eh, dia malah mengundurkan diri.

“Bay, kenapa sampeyan mengundurkan diri dari pemlihan ketua kemarin?” Saya tanyakan soal kejadian kemarin padanya.

“Ga kenapa-napa ko, Id”
“Bener?”
“Iya. Bener ko”
“Tapi bukannya sebelum ada pemilihan, sampeyan semangat banget mau jadi ketua mushallah?”
“Sudahlah. Jangan dibahas lagi ya, Id?”

“Bay, kami ke sini justru mau menanyakan alasannya” Ivan Menegaskan kedatangannya.

“Bukan masalah besar ko, Van”
“Terus masalahnya apa dong?”
“Ane cuma mau tenang aja ngejalanin hidup,” Ubay menjawab. “Menurut ane, kalau kita sudah terbebani sama sesuatu, pasti itu akan mengusik ketenangan batin. Dan akhirnya kenikmatan hidup jadi terhalangi deh.”

Mendengar jawaban jujur dan sangat memelas dari Ubay, Ivan malah tersenyum seperti ada sesuatu yang lucu yang sedang ia pikirkan.

“Kamu kaya pengikutnya ‘Epikureanisme’ aja, Bay.” Ivan akhirnya mengeluarkan pengetahuan berfilsafatnya.

Saya dan Ubay agak bingung dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Ivan. Memang Ivan adalah teman kami yang sangat suka sekali membaca buku-buku filsafat. Di rumahnya banyak sekali buku-buku filsafat, baik filsafat barat maupun filsafat islam.

“Maksud ente apa, Van?” Ubay minta penjelasan.
“Iya. Epi….. ku ….. rea…nisme itu apa, Bang?”saya bingung dan juga minta penjelasan pada Ivan.

“Ya, itu tadi. Apa yang tadi kamu bilang, Bay. Bahwa kebahagiaan dunia adalah suatu kenikmatan. Dan untuk meraihnya sebisa mungkin kita menarik diri dari berorganisasi atau malah menarik diri ketika telah dicalonkan menjadi ketua organisasi.”

“Epikuros-lah yang membawa aliran itu. Aliran itu datang pada masa sebelum pra-sokratik,” Ivan sedikit menceritakan sejarahnya. “Nah Bay, masa’ mental kamu mau kembali lagi ke masa itu? Masa Pra-Sokratik sekitar 300-an Sebelum Masehi loh.”

“Kayak aliran sufi yah, Bang.” Saya bertanya pada Ivan.

“Memang sekilas seperti ajaran tasawuf yang diusung oleh para sufi. Tapi sejatinya sangatlah berbeda. Epikuros sangat berbeda sekali dengan para sufi ketika berbicara tentang Tuhan. Tapi Itu tidak terlalu pentinglah untuk dibahas dalam masalah ini. Pada dasarnya yang menjadi perhatian atau inti ajaran yang dibawa oleh epikuros adalah masalah etika. Jadi lebih baik sekedar etika saja yang kita bahas.”

“Loh memang apa yang salah dari etika ane, Van?” Ubay bertanya.

“Dalam filsafat, apalagi pada sebuah filsafat etika, tidak ada yang salah atau disalahkan.”
“Kalau memang tidak ada yang salah, lalu kenapa pilihan etika ane diperdebatkan, malah seperti ente persalahkan, Van?”

“Sorry, kalau terkesan menyalahkan. Tapi, ada yang ingin saya tanyakan, Apakah suatu kebahagiaan yang menjamin ketenangan batin dapat sungguh-sungguh membahagiakan orang? Bukankah dalam pengalaman, orang akan berbahagia manakala ia berhasil membahagiakan orang lain, meskipun ia sendiri terkadang harus berkorban? Aristoteles pernah berkata, mungkin lebih tepatnya menyanggah, namun tidak menyalahkan, ajaran etika epikuros, ‘Kebahagiaan akan tercapai justru ketika kita peduli dan ambil bagian dalam hidup ber-polis’.” Ivan menjawab dengan sangat filosofis.

“Kalau begitu, berarti apa yang dikatakan oleh aristoteles sejalan dengan hadits nabi SAW yang mengatakan bahwa, ‘sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa bermanfaat untuk orang lain’” Saya bangga sekali menemukan kesimpulan yang saya pikir suatu kesimpulan yang sangat pandai.

“Tapi ane belum bisa kayaknya, Van. Ane belum bisa jadi ketua. Ane masih takut. Perasaan takut ini ga bisa hilang walaupun karena aristoteles telah menyanggah etika epikuros dan sejalan pula dengan hadits nabi SAW. Perasaan takut ini muncul begitu aja. Jadi, jangan salahin ane, kalau ane tetap tidak mau dipilih untuk jadi ketua mushalah yah…? Kan filsafat tidak saling menyalahkan.”

“hahahaha…….” Kami semua tertawa mendengar alasan yang memelas dari Ubay.

Wednesday, May 23, 2007

APAKAH TUHAN BUTUH IBADAH HAMBANYA?

Yomi : Lagi ngapain, id?
Saya : Eh, sampeyan, Yom. Ngga ko.
Yomi : Hayo… ngelamunin apa?
Saya : Bener. Ngga ada apa-apa ko.
Yomi : Terus lagi ngapain dong. Ko, kerjanya ngeliatin bintang aja.
Saya : Memangnya ngga boleh kalo ngitung bintang?
Yomi : Gua tau elu, Id. Kalo lagi di atas mushallah sendirian, pasti lagi ada yang dipikirin.
Saya : Sampeyan ternyata emang temen saya, Yom.
Yomi : Tuh kan. Apa gua bilang? Terus apa yang lagi elu pikirin, Id?
Saya : Kamu mau bantu saya memecahkan masalah yang saya pikirkan?
Yomi : Memangnya apa, Id?
Saya : SAMPEYAN DAN SAYA, SEJATINYA IBADAH UNTUK APA DAN SIAPA??
Yomi : Ya…, Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Elu gitu aja pake ditanyain. Udah ga usah disusah-susahin kalo emang sebenernya cuma perkara yang gampil ( dibaca : mudah )
Saya : Kamu percaya kalau Gusti Alloh itu maha perkasa dan maha kaya?
Yomi : Ya, iyalah….
Saya : Sekarang begini, kalau sampeyan kuat perkasa dan kaya raya dengan harta berlimpah-ruah, lalu ada pengemis yang memberikan sedikit uang recehannya untuk sampeyan. Bagaimana sampeyan memandang pemberian seorang pengemis yang miskin papa itu?
Yomi : Ya gua ga terimalah. Lagian kan pengemis itu lebih membutuhkan uang itu, untuk makan misalnya atau untuk yang lainnya, dibanding gua yang udah kaya raya, seperti yang elu perumpamaan tadi.
Saya : Jadi, kesimpulannya bahwa sampeyan ngga butuh uang receh itu, karena sampeyan udah kaya raya.
Yomi : Ya iyalah. Kan gua udah kaya raya dengan harta berlimpah-ruah. Jelas aja gua ga butuh lagi uang receh dari pengemis itu.
Saya : Nah, sekarang saya tanya lagi, SAMPEYAN DAN SAYA, SEJATINYA IBADAH UNTUK APA DAN SIAPA? APAKAH GUSTI ALLOH BUTUH IBADAH KITA?

Tuesday, May 22, 2007

Pak Kun Diantara Dua Kewajiban

Jumat lalu, sekitar jam 11.30, saya bergegas turun dari lantai tempat saya bekerja menuju mesjid di samping kantor saya untuk menunaikan Shalat Jumat. Saat sampai di lantai tempat security berjaga, saya berhenti sejenak. Lalu kemudian saya mendekati kursi jaga tempatnya duduk. “Lho, Pa Kun, ga shalat?”

“Lagi kedapetan piket jaga lantai dua, id”
“Loh, ko bisa?”
“Ya bisa aja, Id. Saya titip doanya aja deh,. Hehe…”
“Pa Kun…..Pa Kun, memangnya Tuhan itu pacar saya, pake titip salam segala”
“Habis mau bagaimana lagi. Ini kan kewajiban saya, Id”
“Tapi kan ada kewajiban yang sifatnya lebih fundamental, Pa!?”
“Fundamental? Maksudnya?”
“Maksud saya, Shalat Jumat kan merupakan kewajiban yang lebih penting dibanding kewajiban yang lainnya. Apalagi cuma kewajiban yang sifatnya duniawi semata”
“Saya jadi bingung, Id”
“Bingung kenapa, Pa Kun?”
“Memangnya, lebih penting, sekedar penting, atau tidak penting itu sifatnya pasti yah? Kalau menurut saya sih, tidak”
“Maksudnya apa, Pa Kun?”

“Begini, menurut saya, esensi sifat, di dunia ini dan disuatu kondisi, itu sangat subyektif. Nah sekarang kondisi saya cuma orang miskin, yang kalau ga kerja, mau makan apa keuarga saya nanti, Id. Beda sama sampeyan. Nah sifat lebih penting untuk shalat jumat itu ada pada kondisi sampeyan, Id. Kalau saya, punya suatu alasan yang besar untuk memilih kewajiban menjaga kantor dari pada kewajiban shalat jumat. Ya, kehidupan keluarga saya. Emangnya sampeyan mau tanggung kelaparan dan kemiskinan keluarga saya, kalau saya akhirnya dipecat hanya karena saya tak menjalani kewajiban saya sebagai satpam?”. Pa Kun menyerang saya dengan sedikit senyuman yang agak lain, seperti menantang.

Saya cuma bisa diam mendengar argumen dari Pa Kun. Suatu argumen yang sepertinya dapat dibenarkan, namun memang sangat sulit untuk diterima. Apalagi oleh saya yang sudah berada dalam tingkatan mapan atau cukup. Apakah kecukupan dan kemapanan sudah membutakan saya dalam menilai sesuatu.

“Mungkin argumen Pa Kun, dalam kondisi Pa Kun sekarang ini, ada benarnya. Tapi menurut saya tetap ada yang salah. Yaitu yang memposisikan Pa Kun pada situasi sekarang ini, yang akhirnya kewajiban yang, seharusnya, lebih dipentingkan dikalahkan dengan kewajiban lain.”

Pa Kun tersenyum. Sepertinya ia merasa puas dengan sedikit diskusi itu. “Sebenarnya, saat ini yang kedapetan piket jaga adalah si Mas Tur, Id. Kebetulan ia sekarang lagi sakit. Nah, berarti harus ada yang menggantikan dia jaga. Saya deh yang kebagian jadi penggantinya”

Mas Tur adalah satpam di kantor saya yang satu-satunya beragama non-islam. Yah satu-satunya. Betul cuma satu-satunya. Tidak ada yang lain. Cuma Mas Tur lah seorang.

“Ya udah, mudah-mudahan pahala sampeyan sama dengan orang yang shalat jumat, Pa Kun.”
“Sampeyan, shalat ko ngarepin dapet pahala, Id?”
“Eh, Maksud saya, mudah-mudahan sampeyan sama diridhoinya dengan orang yang shalat jumat. Nanti saya salamin deh sama Tuhan, itu juga kalau ketemu yah. Kan siapa tahu aja saya ga ketemu. Hehehe…..”
Dan saya akhirnya pergi meninggalkan Pa Kun yang sedang berjihad membela keluarganya dari sebuah musuh, Kemiskinan.

Monday, May 21, 2007

Curahan Hati Kang Aid

Malam itu, Rabu, saya baru keluar dari kantor sekitar pukul 7 malam. Bukan lembur karena kerjaan, melainkan karena saya tak tahu apa yang harus saya lakukan dalam menjalani masa-masa liburan panjang. Sudah kita ketahui bersama bahwa pada hari Kamis tertulis tanggal merah dan hari Jumat dinyatakan cuti bersama. Jadilah minggu yang, banyak orang, terutama yang memiliki kampung halaman, sangat bahagia. Pulkam…pulkam…..

Tapi saya di Rabu malam itu tidak merasakan sedikit kenikmatan yang memuncak seperti teman-teman yang lain. Memang saya tidak punya kampung halaman yang sangat dirindui, itu salah satu alasannya, namun dalam hati kecil saya, bukan itu sebenarnya yang menjadi masalah utama ketidak-nikmatan yang saya rasakan. Ada hal lain yang mengganggu, namun saya tak bisa memformulasikan (mendengarkan) apa yang dikatakan hati kecil saya. Mungkin karena cuma hati kecil yang bersuara kecil yah?? Halah… tapi memang saya tak tahu…

Keluar kantor sambil lunglai berjalan menuju gerbang yang masih terbuka, saya sedikit menyapa beberapa rekan kerja yang sedang duduk-duduk ngopi. 2 orang Security yang, kebetulan, kedapetan jatah piket malam itu dan 1 cleaner yang baru merampungkan pekerjaannya. Hari itu memang saya tidak membawa sepeda motor. Berarti saya harus ngangkot. Tapi disaat sudah berada di luar gerbang, saya urungkan niat saya untuk naik angkutan umum. Pikir saya, sekali-kali jalan kaki ah…. Entah mengapa hari itu, semuanya serba sekali-sekali. Tidak membawa motor karena alasan sekali-sekali dan mencoba pulang jalan kaki juga sekali-sekali.

Tuhan, Apakah kebosanan telah menghinggapi diri saya…? Akhirnya saya mulai berjalan dengan sedikit pembukaan kata-kata tadi. Saya tersenyum sendiri dengan pertanyaan saya itu terhadap Tuhan. Pertanyaan itu…. Ah, saya yakin Tuhan pasti memakluminya.

Di bawah sinar lampu yang tak sempurna menerangi jalan Ahmad Yani yang tidak begitu banyak kendaraan lalu-lalang, saya sengaja berjalan tak secepat biasanya. Saya juga mulai tertarik untuk melihat-lihat dan mencoba merasakan sedikit kecantikan kota Bekasi yang sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di sini, belum pernah ada usaha untuk menikmati keindahannya. Karena memang, mendengar kata Bekasi (Bekesong – versi Uda Rafiq di IRadio), pasti orang-orang langsung memikirkan bahwa Bekasi adalah kota yang panas dan kampungan. Saya pun sejak pertama kali di Bekasi tak pernah punya pikiran bahwa Bekasi itu kota yang cantik, jadi, mungkin, wajar saja saya tak pernah mencoba untuk merasakan keindahannya.

Namun malam itu benar-benar berbeda. Di sebuah jalan utama kota ini, Ahmad Yani, saya akhirnya menemukan sebuah keintiman yang selama ini tak pernah terasakan. Ah, ternyata Bekasi sangat cantik…, Lagi, saya tersenyum mendengar kata hati yang tiba-tiba berbisik. Tapi tidak lama kemudian, saya bertanya balik atas kesimpulan hati saya. Ada apa dengan perasaan ini, melankolis banget sih…... Saya pun tersenyum kembali mendengar protes itu.

Kembali saya berjalan menyusuri pingir jalan Ahmad Yani. Kali ini saya melihat pemandangan di sebrang jalan, sebuah Gedung Olah Raga Bekasi, atau orang-orang biasa menyingkatnya dengan GOR Bekasi. Degan dihiasi sinar-sinar lampu yang menerangi hampir ke semua sudut-sudutnya dan pohon-pohon rindang yang mengelilinginya, GOR itu terlihat cukup indah bak surga, paling tidak untuk para pemuda-pemudi yang sedang dilanda kasmaran dan juga para pemburu kenikmatan dunia yang sesaat.

Duh Tuhan, ada apa sebenarnya dengan perasaan saya? Apakah ini sebuah pelarian perasaan? Saya terhentak dengan pertanyaan itu yang tiba-tiba saja munculnya. Saya seperti disadarkan oleh pertanyaan yang bernada keluhan itu. Saya kembali berjalan dan kali ini berusaha untuk tidak menoleh kanan-kiri. Tatapan mata yang dari tadi selalu mengarah ke kanan dan ke kiri akhirnya saya fokuskan untuk menatap ke depan. Namun, bukan berarti pikiran-pikiran atas perasaan saya terhenti. Malah justru sebaliknya. Perasaan saya tak menentu jadinya. Duh Tuhan, ada apa ini…? Saya kembali mengeluh.

Kali ini, tidak saja membuat perasaan saya seperti tercabik, namun tubuh saya terasa lemas dibuatnya. Kaki saya seperti hampir tak mampu menopang tubuh yang sudah mulai tambun. Waduh, saya ko jadi melankolis banget. Tuhan…, kenapa dengan saya?.

Akhirnya saya mencoba untuk tenang dan sedikit menguatkan hati saya, Saya adalah seorang yang kuat, saya bukan orang yang lemah. Saya kumpulkan tenaga kembali untuk meneruskan perjalanan yang seperti perjalanan para pejuang kemerdekaan negeri ini menuju medan perang melawan penjajah.

Oh…, apakah ini akibat dari rasa kesepian? Yah, saya sepertinya kesepian. Saya butuh teman untuk berbagi dan sekedar menumpahkan segala kesenangan dan kekesalan saya terhadap hidup yang saya jalani. Akhirnya saya berani untuk menyimpulkan ketidaknyamanan saya hari itu. Sedikit saya menyungingkan senyum sebagai penghargaan atas sebuah keberanian kata hati saya dalam menyimpulkan kecemasan yang melanda.

Tapi saya adalah orang yang tak berani untuk terbuka dengan seseorang, saya tak pandai bergaul dengan orang, apalagi untuk menjalin kasih dengan seorang. Tapi apakah keadan ini dapat menghancurkan hidup nantinya, jika tak dicarikan jalan keluarnya. Duh Tuhan, saya tak pandai dalam bercinta…. Apakah saya harus memaksakan untuk bercinta, hanya untuk mendapatkan teman bicara, teman berbagi, dan teman kesepian? Ah, egois dan jahat sekali saya, kalau dalam menjalin hubungan dengan seseorang hanya untuk menemani kesepian saya atau hanya untuk mendengarkan kecemasan hati saya.

Hati saya langsung teringat seseorang. Tuhan, kalau saja Engkau mengizinkan saya untuk dapat hidup bersamanya…..??!! Ah, saya sudah tahu jawabannya. Pasti TIDAK. Saya tak boleh lemah. Saya harus kuat. Saya harus bisa ikhlas dengan takdir Tuhan.

Lalu, sebelum sampai di depan Rumah Sakit Mitra Keluarga, saya menyebrang jalan Ahmad Yani. Saya terpikirkan seorang teman yang kosannya tak jauh dari Rumah Sakit itu. Saya hanya sekedar ingin mengobrol dan melupakan segala hal yang membuat saya hampir tak berdaya menghadapinya. Dalam perjalanan ke sana, saya meng-sms-nya untuk menanyakan keberadaannya.

“Kang, dimana?”

“Sy dah dprjlnan plg kindrmy rid,doain cpt pe tjuan ya! Tq b4”

Membaca jawaban smsnya, saya kembali di landa kecemasan. Namun akhirnya saya sampai di sebuah Mesjid. Dan saya memutuskan untuk shalat isya di sana dan sedikit merenung tentang hidup saya di tengah rumah Allah.

Ya Allah…….

Thursday, May 10, 2007

Dilema Hari Pendidikan

Udara malam saat itu sangat dingin. Saya dan Yomi masih berada di rumah Ivan setelah ikut acara nujuh hari-in Baba Hasan. Acara selesai sekitar pukul delapan. Kami bertiga akhirnya duduk-duduk di teras yang masih terselimuti tikar, setelah selesai bantu Ivan dan keluarganya beres-beres.

“Kalian kemarin lihat ga, acara di tv? Sekitar jam 9-an malam.” Yomi membuka acara santai kita di teras rumah Ivan.
“Acara apa?” saya balik bertanya.
“Itu loh, acara parodi negara kita.” Yomi menjelaskan.
“Ngga tuh.” Saya menjawab.
“Bahasannya bagus banget.”
“Bahas apa emang, Yom?”
“Pendidikan”
“Oh, sekalian memperingati Hari Pendidikan Nasional yah?”
“Iyah”

“Memangnya apa yang menarik dari pendidikan kita, Yom?” Ivan mulai bertanya.
“Nah, itulah yang membuat menarik. Yaitu tidak ada yang menarik pada pendidikan kita.” Yomi menjawab sambil tertawa. Dan saya serta Ivan pun ikut tertawa.

“Hus…, kamu ada-ada aja, Yom. Mbo ya, ga seharusnya kamu mentertawakan Pendidikan negerimu sendiri. Bagaimanapun juga buruk-baiknya sistem pendidikan kita, hal itu tetap merupakan salah satu sistem di negeri kita” Ivan sedikit mengingatkan.

“Bukan begitu, Van. Coba lu bayangin, padahal kita sedang memperingati harinya para pencari ilmu, yaitu Hari Pendidikan Nasional, eh…., dalam acara itu, Keborokan sistem pendidikan nasional kita malah diekspose. Tapi ya, menurut gue, memang sistem pendidikan kita banyak boroknya. Seperti, masih banyaknya sekolah-sekolah yang ambruk atau sudah tak layak lagi, seperti di Depok, Bogor, bahkan di Jakarta, katanya ada ratusan bangunan sekolah yang sudah tak layak lagi digunakan. Lalu masalah yang lain adalah kurangnya guru. Bayangin, ada beberapa sekolah yang hanya memiliki guru dua orang. Apakah namanya ini kalau bukan sebuah kebobrokan sistem pendidikan kita.”

“Lalu, Penyelenggaraan Ujian Nasional kemaren. Banyak benget mafia-mafia kunci jawaban. Mafia-mafia itu berada pada sistem. Bayangin aja, mafia-mafianya itu dari tingkatan sub-rayon sampai ke guru-gurunya sendiri. Entah apa alasannya, tapi yang pasti mereka punya alasan. Kejadian ini bukannya tanpa saksi loh, ada suatu kelompok yang menamakan dirinya dengan nama AIR MATA GURU menjadi saksi dan mereka berani membeberkan semua kesaksian mereka.”

“Lalu juga tentang UN itu sendiri masih menjadi kontroversi. Apakah layak untuk dijadikan sebuah indikator kelulusan tunggal atau tidak. Terus juga, dari dana bantuan APBN yang katanya tidak pernah menembus angka 20 persen. Serta ketidak-merataan guru-guru yang ada, yang masih kebanyakan ingin mengajar di kota-kota,entah itu karena sebuah prestise atau memang, lagi-lagi, masalah uang atau gaji yang memang pasti lebih besar gaji guru di kota-kota dari pada menjadi guru di desa. Semua hal ini, apakah bukan sebuah dilema. Disaat kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, namun kita malah diberitakan dengan sebuah kenyataan yang sangat pahit seperti ini? Nah, sekarang apa yang harus kita banggakan dengan sistem pendidikan kita?”

“Mungkin akan menjadi wajar jika banyak mafia-mafia UN. Toh sistemnya yang memaksa mereka untuk melakukan kecurangan. Dengan indikasi bahwa UN adalah sebagai satu-satunya pintu gerbang kelulusan dengan batasan nilai rata-ratanya. Lalu mungkin juga guru-guru yang mengajar di kota karena sebuah gaji yang lebih besar dibanding dengan bayaran menjadi guru di desa-desa, dapat dikatakan wajar. Karena memang gaji guru itu masih sangat rendah.”

Saya ingin sekali mencari suatu yang bisa dibanggakan dalam sistem pendidikan kita. Tapi tetap saja saya tidak bisa untuk tidak sepakat dengan semua yang dikatakan Yomi. Saya hanya bisa berkata, “Iya juga yah..” Tapi saya tetap berpikir keras untuk menemukan kebaikan sistem pendidikan kita atau paling tidak berpikir bahwa tidak seharusnya kita terus berpikir mengkritik dan hanya mengkritik saja. Seperti debat kusir.

Tiba-tiba Ivan bicara dan memotong pikiran saya, “Tapi menurut saya, yang harus diubah adalah pola pikir kita dalam menyikapi kebobrokan sistem pendidikan kita yang memang telah kita sepakati bersama. Saya sepakat dengan kamu, Yom. Tapi cara kamu berpikir itu yang menurut saya akan sangat membahayakan.”

“Maksud lu?” Yomi menanyakan ketidak-setujuan Ivan.

“Bagini, saya sepakat bahwa sistem pendidikan negeri kita masih sangat tidak bagus. Seperti, masih banyaknya bangunan sekolah yang tak layak, Masalah UN yang masih saja menjadi sebuah kontroversi, lalu guru-guru yang masih belum merata. Namun bukan berarti kita harus memaklumi apalagi sampai memaafkan tindakan-tindakan yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri atau menguntungkan dirinya sendiri. Kesalahan, tetap kesalahan. Keegoisan tetap keegoisan, dan ketidak-ikhlasan tetap ketidak-ikhlasan. Tidak bisa diwajarkan. Pemerintah saya yakin terus memikirkan masalah ini. Dan berusaha menerapkan sistem pendidikan yang terbaik untuk negeri kita. Walaupun sampai sekarang kita masih sangat sedikit sekali, atau bahkan banyak yang tidak, merasa adanya sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.”

“Sekarang kita kembali ke masalah UN. Menurut saya kecurangan yang sekarang ini sangat ramai adalah akibat sebuah prestise atau gengsi yang ada pada tiap-tiap sekolah. Sekarang begini, Yom. Apakah kamu yakin jika UN ditiadakan maka guru-guru di sekolah tersebut akan jujur memutuskan muridnya lulus atau tidak? ”

Sebuah pertanyaan kecil yang harus dijawab dan dibuktikan oleh para praktisi pendidikan di negeri tercinta kita ini. Bukan oleh Yomi. Yah, bukan oleh teman saya itu.