Tuesday, October 23, 2007

Hammas-Fatah dan Israel, dimana Palestina?

Presiden Palestina, Mahmood Abbas, sedang berada di Indonesia saat ini. Niat kedatangan beliau ke Indonesia, dan ke negara lainnya di Asia, adalah ingin meminta dukungan kepada beberapa “Negara Islam” di kawasan Asia untuk membuat dokumen kerja perdamaian yang akan diajukan nanti saat konfrensi perdamaian konflik Palestina dan Israel beberapa waktu ke depan. Dan negara adikuasa Amerika Serikat, adalah sponsor dari sidang perdamaian itu.


Beragam wacana muncul. Wacana yang paling menarik adalah ketika timbul isu bahwa Palestina di bawah kepemimpinan Presiden Mahood Abbas menginginkan negara kita menjadi juru damai dalam konflik Palestina dan Israel. Mendengar isu ini, tentu kita mengerti alasan Abbas, kenapa negara kita, Indonesia, yang diharapkan untuk menjadi juru damai dalam konflik yang tengah terjadi tersebut. Karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Saya pikir kita semua setuju dengan, perkiraan, alasan itu. Atau memang ada alasan lain, bahwa Abbas sudah sangat putus asa dengan tidak adanya dukungan dari negara-negara arab lalu kemudian Indonesia menjadi pilihan alternatif yang terpaksa sifatnya.


Mungkin kita perlu berbangga dengan keinginan Abbas terhadap negara kita. Walaupun pada kenyataannya, sering kali, politik luar negeri kita masih sangat lemah. Terutama jika dihadapkan dengan Bapak Angkat negara kita, Amerika Serikat. Menyikapi pernukliran Iran, misalnya. Ketika kita hanya “manggut-manggut” dengan resolusi PBB, yang memang kita ketahui bersama bahwa organisasi dunia itu seperti “kendaraan”-nya Negeri Paman Sam.


Wacana ini banyak menimbulkan pertanyaan. Ketika Indonesia diharapkan bisa menjadi juru damai konflik Palestina-Israel, padahal Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan israel, lalu bagaimana caranya, pertanyaan selanjutnya. Memang hubungan diplomatik, menurut saya, bukan berarti tidak bisa menjalin hubungan. Toh kalau ada istilah ‘hubungan diplomatik’, seharusnya juga ada istilah ‘hubungan non-diplomatik’. Menurut saya menjalin hubungan dengan negara lain, tidak harus punya ikatan yang bersifat diplomatis, apalagi masalah yang akan diangkat adalah masalah perdamaian. Tapi itu adalah menurut saya, tentunya pasti berbeda jika dilihat dari pandangan hukum.


Kalau memang hukum memandang berbeda, apakah kita harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel? Ini adalah pertanyaan yang menarik selanjutnya. Menurut saya membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara di dunia adalah suatu yang baik, termasuk Israel. Toh, tidak berarti dengan terbukanya hubungan diplomatik, suatu negeri harus tunduk degan nagara lainnya. Tapi pasti pendapat ini akan banyak ditentang. Saya yakin itu. Karena memang sebenarnya wacana ini bukan wacana baru. Masih banyak orang indonesia menganggap sangat berisiko jika membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sebenarnya pertanyaan yang sangat relevan dimunculkan adalah masalah dana. Indonesia dapat dana dari mana untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain? Apalagi yang meminta Indonesia menjadi mediator perdamaian adalah negara lain, dalam konteks ini adalah Palestina. Apakah Palestina mau membiayai hal tersebut? Atau Indonesia akan membiayai sendiri? Suatu kesalahan menurut saya. Karena kita ketahui, banyak sekali orang yang tidak setuju terbukanya hubungan diplomatik dengan Israel. Dan kita juga ketahui masih sangat banyak masalah besar yang dihadapi oleh Indonesia sendiri. Apakah pemerintah kita mau mengorbankan masalah besar yang tengah dihadapi dengan suatu masalah yang tidak bersifat urgent bagi negara kita. Pastinya akan terjadi keos dan dema-demo di sana-sini.


Yang menarik pula berkenaan dengan wacana ini adalah Palestina menginginkan Indonesia menjadi juru damai konlik Palestina dan Israel, padahal sama-sama kita sudah ketahui, masalah Palestina bukan hanya dengan Israel, namun ada masalah internal Palestina. Masalah yang sebenarnya, menurut saya, memegang kunci dari keinginan untuk berdamai dengan Israel. Yaitu perang saudara antara Fatah dan Hammas. Kenapa ini saya katakan sebagai kunci, karena berdamainya kedua pergerakan tersebut merupakan barometer kepercayaan dari Israel dan negara-negara lainnya. Kita ketahui Israel, dan Amerika, tidak meyukai visi dari Hammas yang terkesan sangat ekstrim. Berbeda dengan Fatah yang moderat. Oleh karena itu menurut saya, terlebih dahulu harus ada rekonsiliasi antara dua pergerakan tersebut sehingga dapat memberikan nilai baik dari negeri-negeri lain. Apakah Indonesia seharusnya menjadi mediator terlebih dahulu untuk rekonsiliasi Fatah-Hammas? Mengingat, pemerintah kita punya pengalaman dalam memediasi rakyat di Aceh.


Sebenarnya pertanyaan yang sangat substansial adalah apakah Indonesia seharusnya memenuhi keinginan tersebut atau lebih baik mengurus rumah tangga sendiri, toh gunung kelud, lumpur lapindo, pengangguran, kemiskinan, pemboman, konflik agama, dan masalah pelik lainnya. Bagaimana menurut anda?