Thursday, March 8, 2007

Sejatinya Shalat Itu Hak Siapa?

Perbincangan saya, Ivan, Ubay, dan Yomi di warung "nasi uduk mpo Lilis", tentang KODIS (komunitas diskusi) yang diselenggarakan mingguan.

Ivan : Untuk menambah kuota anggota kita dalam KODIS. Bagaimana kalau kita ajak si Ujang, Hendra, dan Yanti?
Ubay : Jangan ajak si Hendra untuk jadi anggota komunitas diskusi. Soalnya setahu ane dia itu beraliran kiri
Saya : Maksudmu?
Ubay : Setahu ane, masih antek komunis.
Yomi : Bener tuh. Kemarin dulu pernah ada yang bilang sama gue katanya dia itu ngga percaya Tuhan
Saya : Maksud sampeyan atheis, Yom?
Yomi : Betul. si Ujang yang bilang.
Saya : Memangnya Ujang tahu dari mana?
Yomi : Katanya sih, si Ujang pernah diajak ke suatu komunitas kecil di Pesanggerahan, kalo ngga salah.
Ubay : Tuh kan. Apa kata ane? Dah kelihatan sebenarnya gelagatnya.
Saya : Huss. Kamu su'udzan aja sama Hendra.
Ubay : Yeh, dibilang ga percaya. Pernah ane ajak shalat. eh... dia kaga mau.
Saya : Masa sih?

Ubay : Dua hari yang lalu, pas adzan ashar, saat dia duduk-duduk di teras rumahnya, ane segaja samperin dia. Ane sempet ngobrol sedikit tanya ini-itu. Terus langsung ane ajak dia shalat. eh dia malah bilang maaf, Bay, Gue dah sholat. Kapan? ane penasaran dan langsung nanya ke dia. eh, dia jawab barusan. Barusan kapan? ane tanya lagi. terus dia jawab dengan enaknya tadi, dalam hati. Apa namanya kalo dia bukan komunis?

Saya : Berarti dia ngga pernah shalat dong.
Ubay : Ya iya. Kalo anak ga pernah shalat, ngapain kita ajak jadi anggota KODIS.
Saya : Iya juga yah
Ubay : Pokoknya, biar si Hendra itu pinter, ane ga setuju kalo dia kita ajak jadi anggota KODIS
Yomi : Betul tuh, gue juga ga setuju.
Ivan : Cuma gara-gara ga shalat aja kalian ga setuju?
Ubay : Ya iyalah, wong ga mau shalat ko diajak-ajak
Ivan : Loh, apa salahnya?
Ubay : Jelas salah. Mana mungkin bisa nyambung diskusinya? lagian ntar malah kita yang kebawa keblinger.
Yomi : Betul tuh, gue juga ga setuju.
Ubay : Tapi kalau dia udah mau shalat baru ga apa-apa kita ajak.
Yomi : Betul tuh kita paksa aja biar dia mau shalat. Lagian kan, kata ust. Hilal, itu namanya dakwah.
Saya : Kenapa sampeyan sepertinya ngga peduli sama Hendra yang ngga pernah shalat, Bang?

Ivan : Bukannya ngga peduli. Semua ulama dan semua ustad ataupun orang alim, semua mengajarkan pada setiap muridnya atau setiap orang bahwa yang namanya shalat itu wajib. Dan para kiyai juga mengajarkan bagaimana tata cara shalat yang baik, kapan waktu shalat yang benar, dan juga doa-doa dalam shalat. Namun disamping itu semua, ada yang paling penting, yaitu sejatinya shalat itu adalah urusan pribadi seorang dan Tuhannya. Apa hak saya memaksakan seorang untuk shalat. Toh yang memberi pahala bukan saya, yang mengganjar kebaikan bukan saya, dan yang akan menempatkannya di surga juga bukan saya.

Saya hanya bisa terdiam mendengar perkataan Ivan. Yomi dan Ubay pun tak bisa berkata apa-apa. Lalu kemudian Ivan dengan kebijaksanaan sifatnya berkata "Tapi saya pikir, dari pada gara-gara Hendra KODIS kita bubar. Ya sudah lebih baik kita tidak melibatkan dia."

Buktikan Kalau Gusti Alloh Tidak Membuat Kesalahan

Angin malam menghembus sangat kencang waktu itu, waktu saya “berjemur” di samping kubah mushalla yang beralaskan sehelai tikar. Waktu telah hampir menutup putarannya pada angka 24, namun pikiran saya melayang menembus segala macam batasan-batasan waktu.

Lalu tiba-tiba terdengar suara seseorang yang manaiki anak tangga yang terbuat dari bambu. Yah, ternyata benar ada orang yang tiba-tiba muncul dari lantai bawah. Ivan, dengan kain sarung yang dikalungkan pada lehernya, ternyata yang datang dan sepertinya sengaja ingin bermalam di mushalla. Ivan memang biasa bermalam di mushalla.

“ Ada kamu, Id”
“oh, sampeyan, Bang. Saya pikir siapa”
“Kenapa?” Ivan berjalan menuju saya tetapi tidak duduk di tikar. Dia terus berjalan menuju pagar dan mulai menarik nafas sambil mendongakkan kepalanya ke arah bentangan langit yang terasa indah karena terhiasi oleh gemerlap bintang. Lalu meneruskan pertanyaannya. “Lagi ada yang dipikirin?”

“ngga salah lagi. Persis!”
“ada apa?”
“sedang dibuat resah sama isu di kantor nih”
“Cuma isu?”
“iyah sih”
“ko bisa?”
“mengusik kenyamanan kerja jadinya”
“memang isu apa?”
“mutasi!”
“mutasi?”
“iyah”
“terus kalo cuma mutasi, kenapa gelisah banget?”
“udah coba ga mikirin sih, tapi susah. Tetap aja kepikiran”
“wong masih di bumi Alloh ko”
“iya sih, tapi tetap aja mengusik suatu yang terasa udah nyaman”

Kami sempat terdiam dan membeku. Saya tetap pada posisi membaringkan tubuh dan menghadap samudra langit yang begitu cerah. Sedangkan ivan tetap pada posisi berdiri memandang jauh seperti mencari batas langit di ujung bumi.

“Kamu pernah berpikir tentang eksistensi dirimu?”
“maksudnya?
“kenapa kamu dilahirkan di bumi indonesia ini. Bukan di China, Itali atau Mesir, misalnya?”
“memangnya kenapa?”
“yeh, mikir sedikit dong?”
“tapi saya lagi ga bisa mikir sejauh itu sekarang ini, Bang”
“kamu terlalu terbawa pikiranmu sih”
“habis gimana lagi, susah Bang untuk membuang pikiran ini”
“Kamu percaya ada rencana dibalik semua penciptaan dan takdir Gusti Alloh?”
“kalo itu kita harus percaya dong. Tidak bisa tidak”
“kalo begitu kenapa kamu jadi gelisah?” Ivan berbalik dan datang menuju saya lalu duduk di samping saya yang tetap berbaring.

Mendengar pertanyaan dan pernyataaan ivan membuat hati saya agak tersentak. Di dalam hati saya cuma ada kata benar juga.


“Kamu dilahirkan berada di Indonesia adalah rahasia Gusti Alloh atas kehidupanmu. Kamu dianggap mampu dan pantas untuk hidup di sini oleh Gusti Alloh. Sekarang tugasmu adalah menjalankan amanah Gusti Alloh yang telah dipercayakan kepadamu dengan penuh keikhlasan dan semangat juang yang tinggi. Yaitu merubah segala yang tidak baik menjadi suatu yang baik. Yah di negeri ini. Bukan di negeri yang lain. Wong kamu dipercayakan sama gusti Alloh di sini.” Ivan kut merebahkan tubuhnya.

“Kamu mutasi masih di Indonesia kan? Ngga keluar dari Indonesiakan? Untuk apa bingung untuk sebuah pembuktian diri bahwa gusti Alloh tidak salah dengan menakdirkan dan “malahirkan” kamu di negeri ini.”

Kami berdua terdiam. Namun kali ini agak lama dan sepertinya kami akan saling membungkam mulut-mulut kami untuk waktu yang lama. Sunyi dan tak ada suara. Sampai kami sadar bahwa sudah mulai terdengar ayam berkokok

Kejahatan Pemerintah dan Dukungan Ulama

Kemarin malam saya sengaja makan di warung Bu Sonah, kaerna saya sudah rindu ingin mencicipi sayur lodeh buatannya. Kerinduan saya itu karena sudah hampir seminggu saya tidak di Bekasi. Saya cuti selama satu minggu dan berada di ujung Jakarta sebelah selatan.

Seminggu waktu yang lama untuk tidak mencicipi sayur lodehnya Bu Sonah. Karena hampir setiap malam saya makan malam di warungnya. Disamping dekat dengan kost-an saya, warung Bu Sonah juga salah satu warung makan yang murah di sekitar Perumahan tempat saya ngekost.

Malam itu saya kebetulan pergi makan sendiri tanpa di temani Kang Iim, teman kost saya yang kadang juga ikut bersama saya makan malam di warungnya Bu Sonah. Namun seperti malam-malam biasanya, tempat duduk di warung Bu Sonah hampir saja tak tersisa. Selalu Ramai dan Laku Keras! Itulah kata yang tepat untuk mengilustrasikan warungnya Bu Sonah.

Kebetulan saya mendapatkan kursi persis di pinggiran jalan raya. Dan tepat menghadap base nya para penarik becak yang sebenarnya sangat mengganggu kelancaran para pengendara mobil dan sepeda motor di sekitar Perumnas II. Berada di hadapan saya tepat Bang Ipul dan Mas Karyo tengah mengobrol sambil menunggu para pelanggan yang ingin naik becaknya.

Samar-samar dari dalam warung saya mendengar pembicaraan mereka yang rupanya sedang membahas ceramahan Aa Bim, pemilik pesantren Darr Wahid, yang kemarin mengisi tabligh akbar di Perumnas II.

Sambil memainkan rokoknya Bang Ipul bicara, ”Ceramahnya Aa kemarin buat hati kita tenang yah. Apalagi saat doa terakhirnya, banyak membuat orang menangis. Termasuk gue.”

“Bener, Pul. Aku juga setelah mendengar ceramahnya jadi lupa sama kesusahan yang selama ini aku rasakan. Hebat juga Aa itu, bisa membuat banyak hati menjadi tenang dalam menghadapi susahnya hidup.” Mas Karyo menimpali dengan logat jawanya yang masih kental.

“Elo harusnya dengerin tuh, Yo. Jangan kerjaannya cuma ngeluh mulu. Dikit-dikit ngeluh, dikit-dikit ngeluh. Kaga bersyukur tuh namanya. Kan kata Aa kemarin kalo kita bersyukur atas nikmat yang telah Alloh beri kepada kita, maka Alloh bakalan tambah lagi nikmatnya.” Bang Ipul coba mengikuti kata-kata Aa kemarin, namun tetap saja logat betawinya tidak hilang.

“Lho, bukannya sampeyan yang mengeluh terus kalau sepi pelanggan, Pul,” Mas Karyo langsung menimpali dan nampaknya tidak mau disalahkan karena sering mengeluh. “Enak aja ceramah-ceramahin orang, wong sampeyan aja masih sering begitu.”

“Iya juga yah, Yo. Emang susah supaya hati ini bisa tenang ditengah kondisi kita yang memang susah. Tapi betul kata Aa, kita harus mulai dari sekarang, dari diri sendiri, dan dari hal yang kecil.” Bang Ipul berbicara sambil mengepulkan asap rokoknya yang sempat dia hisap tadi.

“Bener banget, Pul. Walaupun kita ini wong cilik. Kita harus jadi orang besar dengan sifat syukur dan sabar. Dan itu semua harus kita mulai sekarang. Dari pada kita selalu merasa kesusahan dan akhirnya kita meresa kesal sendiri dengan kondisi kita yang sepertinya tidak akan berubah, hehehe….”

“Hus…. Kalo lu ngomong begitu, namanya lu putus asa sama rahmatnya Alloh. Begitukan yang kemarin Aa bilang. Kalo Kita ga boleh putus asa dari rahmat Alloh karena jika kita putus asa akan rahmat Alloh, itu akan menyiksa jiwa kita aja. Wong udah tersiksa malah nambah nyiksa diri dengan berputus asa dari rahmat-Nya.”

Di belakang mereka, saya asyik mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Walau makanan saya sudah habis, tapi saya tetap saja duduk karena tidak mau ketinggalan apa yang mereka bicarakan. Setelah nampak selesai pembicaraan mereka baru saya bangun dari kursi saya dan menuju Bu Sonah yang sudah menunggu dengan kalkulator berasnya.

Setelah keluar dan menegur Bang Ipul dan Mas Karyo yang memang telah saya kenal, didalam perjalanan pulang saya coba merenungi apa yang mereka bicarakan. Dalam hati, saya berujar, walaupun kelihatan mereka sepertinya telah lepas dari “rasa” kesulitan yang mereka alami, namun kesulitan sebenarnya tak pernah hilang dari mereka. Pemerintah, dengan segala ketidakbijaksanaannya dan setiap ketidakbecusannya dalam mengelola negara, terutama wong cilik, sepertinya telah dibela dan didukung oleh para dai-dai yang selalu menyerukan syukur, sabar dan tawakal dalam dakwahnya kepada rakyat kecil seperti Bang Ipul dan Mas Karyo.

Pemerintah secara tidak langsung telah terlindungi dari segala macam kritik-kritik dan ketidakpuasan wong cilik terhadap kepemimpinannya yang sangat mementingkan perut dan nafsunya sendiri, karena para wong ciliknya sudah merasa tenang dengan ceramahan-ceramahan yang sangat menyentuh hati dan bisa menenangkan diri, walaupun ditengah kesusahan dan kesulitannya yang tak lain dan tak bukan memang disebabkan oleh pemerintah yang tidak becus mengurus negara. Kalau saya berpikikr buruk, mungkinkah para ulama kita telah bekerja sama dengan pemerintah kita yang sontoloyo???

Tapi…., biarlah kalau memang para wong cilik sudah bisa tenang, sabar, bersyukur dan tawakal sama Gusti Alloh. Bukankah hidup itu akan lebih hidup jika kita bisa tenang dalam menghadapi setiap kegalauan, sabar dalam setiap kesulitan, bersyukur dalam setiap kekurangan, dan tawakal atas apa yang sudah digariskan oleh Gusti Alloh. Semoga saja dengan ketenangan para wong cilik dalam menghadapi kesulitan hidupnya terbayarkan dengan suatu yang berharga. Yaitu surga bahagia di alam lain.

Saya cuma bisa bilang selamat kepada pemerintah kita yang sontoloyo, karena telah tertutupi keborokannya dan bisa hidup tenang dengan kebusukan-kebusukannya.

Lalu tiba-tiba terdengar suara dari belakang, “Kang…, KangAid….. HP-nya ketinggalan nih….” Mas Karyo lari mengejar saya dari belakang sambil berteriak dan mengangkat tangannya menunjukan HP saya yang ketinggalan.

Mitos Vs Sunnatullah

Kemarin, tepat diwaktu malam yang dingin yang langit-langitnya pelit dari cahaya bintang atau memang bintang-bintangnya yang memang enggan bertemu dengan awan hitam sehingga tidak memberikan gemerlap sinarnya, Saya pergi ke mushallah sebelah rumah untuk mencari udara segar dan ingin coba sedikit merenggangkan semua keletihan yang menimpaku selama beberapa hari ini. Keletihan itu sebenarnya bukan hanya pada persendian tubuh yang sudah mulai tambun ini, namun lebih dari itu. Yah, saya nampaknya sudah mulai mengalami kebosanan dalam rutinitas kerja. Tapi saya sempat berpikir apakah manusiawi rasa bosan yang saya derita? Ah, saya mencoba memahaminya seperti itu supaya keletihan itu tidak memunculkan keputusan-keputusan yang emosional.

Saya membuka pintu samping rumah saya dan mulai menaiki anak tangga yang menuju mushalla. Dan ketika saya sampai pada latar mushalla itu, saya terkaget melihat seorang yang sepertinya tidak asing bagi saya. “yah, itu… sepertinya itu Bang Ivan” saya mencoba meyakini dalam hati. Lalu saya melihat jam tangan saya yang sudah menunjukkan waktu hampir masuk tengah malam, “jam sebelas lebih dua puluh menit” gumam saya dalam hati. Lalu saya coba mendekatinya dan memang itu benar Ivan.

Kemudian saya menghampiri dan berdiri di sampingnya sambil ikut menatap hamparan langit tanpa bintang dan mulai bertanya, “lagi ada masalah, Bang?”

“eh, ngga ko”
“jangan bohong”
“ngga, cuma lagi merenungi mitos”
“Mitos?”
“yah”
“aneh”
“ko aneh?”
“aneh aja, soalnya bukannya sampeyan ngga percaya sama gitu-gituan, Bang?”
“Kamu percaya?”
“Bukannya sampeyan pernah bilang. Kalau yang harus kita percayai itu adalah sunnatullah saja. Titik. Tidak ada kompromi dengan semuanya, apalagi sama yang namanya mitos”
“Hem…..” Ivan tersenyum.
“Kalupun suatu yang buruk itu teradi, itu adalah semata-mata karena perilaku kita yang menyalahi sunnatullah. Sunnatullah itu kan suatu kebaikan tuhan yang dianugerahkan kepada kita. Tingggal kita mau memelihara sunnatullah itu apa tidak? Cuma itu kan pilihannya”

“ngga tahu nih. Saya lagi gundah sama yang namanya mitos. Padahal saya yakin ada takdir yang mengikuti manusia hidup di dunia ini”
“memang masalahnya apa sih, Bang?”
“mata sebelah kiri saya sudah seminggu ini berkedut-kedut. Dan kata banyak orang atau mitosnya bahwa akan terjadi suatu kedukaan yang akan menimpa”
“hehehehe…..” saya tertawa dengan sedikit ditahan karena hari memang sudah agak larut.
“kok kamu tawa?”
“ngga. Ternyata sampeyan bisa juga gundah. Dan yang saya ga habis pikir, gundahnya itu disebabkan sama yang namanya mitos. Ngga sampeyan banget sih.”

“Saya juga ga tahu perasaan takut ini begitu kuat akan kebenaran terjadinya mitos itu. Saya seperti dikuasai oleh yang namanya perasaan, itu memang saya tahu dan saya akui. Tapi untuk melepaskan kegundahan ini sulit sekali,” Ivan sedikit serak mengeluarkan suaranya. “Apalagi ibu saya sekarang sedang sakit. Ibu yang sedang sakit saja sudah merupakan duka buat saya, apalagi jika lebih dari itu,” ivan diam sebentar dan melanjutkan lagi, “Itu yang sangat saya takuti akan terbuktinya kebenaran mitos itu.”


“mbo ya coba tenangkan dulu perasaan sampeyan dan coba berpikir jernih, Bang,” saya coba menenangkan ivan yang sudah mulai serak suaranya. Ivan memang sangat sayang sama ibunya. Dan karena ibunya mungkin yang sepertinya telah menghilangkan logikanya. Karena seingat saya dia pernah bilang bahwa cinta pada ibu itu tak akan pernah bisa dilakukan dengan logika namun hanya dengan perasaan.

Saya kemudian melanjutkan berbicara, “Coba sampeyan ke dokter, periksa ada apa sama mata sebelah kiri sampeyan. Mungkin saja ada debu yang masuk yang dapat menyebabkan infeksi. Kalau masalah takdir hidup seseorang, bahagia, duka, sakit atau lebih dari itu, meninggal, misalnya, itu mah sudah terangkum dalam sunnatullah, kalau begini akan terjadi begini, kalau begitu akan terjadi begitu, namun tetap dapat terjangkau dengan nalar. Kan sampeyan pernah bilang kalau filosofi hidup manusia itu sangat sederhana, yaitu PERGI UNTUK KEMBALI. ‘Pergi’ disaat Tuhan menciptakan kita, ‘Untuk kembali’ disaat tuhan mencabut nyawa kita karena memang kita hanya miliknya bukan milik yang lain.”

“Benar kamu” Ivan sedikit mulai tenang dan mulai agak banyak senyumnya.

Lalu tiba-tiba dari arah bawah terdengar suara lelaki yang sedikit berteriak memanggil “Bang Ivan…, Bang.. Ibu.., Bang. Ibu….ibu…..” suara itu adalah suara adik laki-lakinya ivan.

“Kenapa dengan ibu?”
“Ibu….. udah lah bang cepat pulang dulu ke rumah…”

Lalu Ivan dengan tidak memperdulikan sandal yang ia pakai tadi segera berlari dan turun melalui anak tangga dan terus berlari dengan tergesa-gesa menuju rumahnya. Dan saya hanya bisa berdoa dalam hati sambil mengikutinya dari belakang sambil berjalan, karena saya tak bisa lari cepat akibat terjatuh kemarin lusa saat bermain sepak bola. “mudah-mudahan tak terjadi apa-apa pada ibu.”

Anak-anak dan Beban Pasif

Seperti biasa dihari Jumat, setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu Shalat Jumat di Masjid Al-Falah, anak-anak (begitu biasanya saya menyebut teman-teman saya) biasa mencari sandaran di luar altar masjid untuk sekedar ber-kongkow-an dalam rangka melepas lelah setelah letih melawan rasa kantuk pada saat khatib berkhutbah. Dan kebetulan saat itu memang khutbah terasa lama sekali. Memang Jamaah kampung kami sedikit maklum akan kebiasaan KH. Abdillah Isak yang jika sudah berkhutbah tidak pernah ingat waktu.

Jumat itu Yomi tidak biasanya absen dalam kongkow-Jumatan yang biasa digelar setelah memenuhi kewajiban jumatan. Dan sebagai gantinya saya yang hadir waktu itu. Karena memang saya hampir tidak pernah ikut riutal ini disebabkan saya biasa shalat ditempat saya bekerja. Dan kebetulan hari Jumat ini sedang libur.

“yomi kemana, Bay” ivan memulai ritual ini dengan menanyakan keberadaan yomi yang memang tidak kedengaran beritanya. “Katanya sih pergi ke Tangerang, ke rumah kakaknya yang perempuan” jawab ubay sambil mulai menyundutkan rokoknya yang baru saja diantarkan oleh Ujang, tukang warung yang di samping Masjid Al-Falah.

Lalu tiba-tiba Om Kur, tetangga depan saya, datang dan mengagetkan saya yang sedang merebahkan badan yang sudah agak sedikit kelebihan beban ini. “Woi.. Anak-anak muda, Jumat ini gelar diskusi apa nih?” om Kur tiba-tiba bertanya dan sepertinya telah mengetahui pergelaran ritual yang biasa kami lakukan setelah jumatan. Memang om Kur, yang juga pegawai pajak dan kebetulan sedang libur karena tanggal merah yang telah digeser dari hari kamis ke hari jumat dengan seenaknya (entah apa alasannya atau pertanyaannya sebenarnya adalah pentingkah alasannya?) oleh pemerintah, pernah bergabung sekali, kira-kira 3 jumatan yang lalu.

“eh, om Kur,” aku terkejut dan langsung merubah posisiku menjadi duduk bersandar di dinding masjid tepat disebelah ivan yang sudah lebih dulu bersandar, “ngga Om Kur, kebetulan dari tadi kita belum diskusi apa-apa, dan sebenarnya memang dah sepakat untuk tidak banyak omong jumat ini. Kita cuma lagi melihat anak-anak di tanah lapang itu yang sedang asyik menerbangkan layang-layangnya.”

“Bener, Om,” ivan melanjutkan dan nampak tak enak akan kehadiran om Kur namun tanpa ada diskusi atau pembicaraan, “kita Cuma lagi khidmat dan sedikit menikmati anak-anak itu yang sedang asyik bermain layang-layang. Dan nampaknya anak-anak itu malah seperti layang-layang itu sendiri.”

“Maksudnya seperti layang-layang itu apa Van?” tanya om Kur dengan sedikit penasaran dengan kata-kata yang digunakan ivan dalam menilai kejadian yang sama-sama kita saksikan. “Ane sepertinya tahu maksud perkataan ente van,” ubay langsung mencoba menafsirkan perkataan ivan tadi, “maksud ente anak-anak itu seperti layang-layang yang bebas terbang dan bermain seperti tiada beban. Seperti tidak terbebani atas setiap kebijakan pemerintah yang kadang agak ‘usil’, tidak terbebani atas kenaikan harga beras yang menjulang tinggi, dan juga tak terbebani atas carut-marut sistem pendidikan kita. betul, Kan?” ubay menjawab dengan penuh keyakinan. Dan memang saya kira cukup masuk akal apa yang diucapkan ubay dalam menafsirkan perkataan ivan tadi.

“hehehe… iya betul juga, Bay. Sepertinya memang anak-anak itu tak pernah ingin sibuk memikirkan hal-hal yang ‘tidak bermanfaat’ bagi mereka. Lagian juga memang seharusnya anak-anak itu seperti itu kan? Mereka harus dipelihara oleh negara untuk kemajuan negara sendiri” om Kur langsung menyetujui pendapat ubay yang memang sangat benar juga menurut saya. Lalu saya menambahkan perkataan om Kur, “Bener tuh om Kur. Seharusnya anak-anak itu dijadikan sebagai investasi negara dengan cara diberi kebebasan dalam setiap melangkah sehingga nantinya, paling tidak, sedikit ikut serta dalam membentuk budaya negara itu sendiri.”

“Menarik, dan ada benarnya. Tapi menurut saya layang-layang itu tidak terbang dengan bebas. Ia dikuasai oleh seseorang dengan perangkat yang namanya benang.” Ivan coba bermain-main lagi dengan kata-katanya. “Jika kita bicara seharusnya atau apa yang biasa disebut dengan suatu yang ideal, apa yang Om Kur ucapkan tadi dan apa yang sudah ditambahkan oleh Aid(panggilan saya) adalah benar. Tapi, mbo ya kita dalam melihat suatu itu jangan yang ideal terus, sekali-kali lihat suatu dengan pandangan yang riil.”

“Maksudnya yang riil?” tanya om Kur kepada ivan sambil meletakkan gelas berisi kopi yang telah lama berada di genggamannya.

“Riil menurut saya bahwasanya anak-anak itu sepertinya memang tak terbebani oleh masalah yang ada. Namun sejatinya anak-anak itu telah dilibatkan oleh penguasa bahkan mungkin telah dipertaruhkan kehidupannya dengan setiap kebijakan-kebijakan yang diambil. Bahkan anak-anak itu sepertinya telah menjadi korban zaman rusak, yaitu zaman salah urus yang menyebabkan anak-anak itu utnuk mendapatkan pendidikan yang cukup tak pernah terwujud. Zaman revitalisasi feodalisme yang hanya melahirkan priyai-priyai kemaruk, kagetan, dan gumunan.” Ivan sengaja tidak lagi menyandarkan tubuhnya dan mulai duduk bersila.

“Kebebasan mereka, yang seperti tiada beban dalam menjalani hidupnya, hakikatnya adalah kebebasan semu yang mungkin dapat merusak, jika tidak sekarang, kehidupan masa depannya. Keterbebanan anak-anak itu bersifat pasif, ya karena memang mereka hanyalah anak-anak yang hanya seperti layang-layang itu, terbang menembus udara namun tetap ‘dibebani’ oleh pemain layang-layang itu dengan menggunakan benang yang ditarik-ulur. Sama seperti pemerintah kita menguasai anak-anak itu, yang salah satunya, dengan perangkat hukum UUD’45. Pasal berapa, Id?” ivan bertanya kepada saya mengenai pasal yang mengatur anak-anak, terutama anak-anak terlantar.

“Pasal 34, Bang” saya jawab dengan seyakin-yakinnya karena memang pasal ini yang sangat saya hapal pada UUD45, selain pasal 29 tentang kebeasan beragama.

“Ya, itu! Pasal 34 itu merupakan perangkat hukum untuk menjaga keutuhan anak-anak, terutama yang terlantar. Namun perangkat itu telah ditarik-ulur oleh pemerintah dengan kasar. Yah dengan kasar.”

“Jadi bagaimana kita menghilangkan keterbebanan-pasif anak-anak diseluruh negeri ini, supaya bisa membentuk kebudayaan seperti yang dikatakan Aid tadi, Van?” Om Kur dengan sedikit menggebu menanyakan solusi apa yang harus dilakukan.

“hehm….., ivan sedikit tersenyum dan melanjutkan bicaranya. ”Mbo ya jangan muluk-muluk banget, Om, melepaskan keterbebanan-pasif seluruh anak di negeri ini,” seperti biasa ivan menjawab santai, “Mbo ya… anak sendiri dulu. Pendidikannya dijamin, makanannya yang halal, jangan terlalu dimanja, dan yang paling penting jangan lupa, yaitu kasih sayang supaya nanti besarnya selalu menebar kasih kepada sesama.”

“SETUJU…..!!!!” Saya dan ubay langsung bersama-sama mengucapkannya.

“Terus kita juga berharap dari orang-orang seperti Om Kur ini, yang punya kerjaan di tempat yang ‘basah’. Hehehehehe……, supaya memberi sedikit basah-basahnya sama anak-anakdi negeri ini.” saya langsung menyambungnya.

“Ah…, kalian bisa aja.” Om Kur merasa tersindir. Tapi kita semua tahu bahwa Om Kur adalah salah satu orang yang sangat dermawan di kampung ini. Walaupun kita semua tidak tahu status atas harta yang beliau infak-kan pada kebutuhan kampung ini. Maklum saja bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat kerja Om Kur syarat dengan maal-syubhat. Tetapi mudah-mudahan Om Kur tidak seperti ‘itu’ melainkan seperti yang biasa kita lihat bahwa dia sering datang ke masjid ini sebagai salah satu jamaahnya. (walaupun sebenarnya tingkat keshalehan seseorang tidak dapat dilihat hanya dengan rajinnya seorang ke Masjid).

Note: kata-kata yang bertulis tebal di ambil dari novelnya AHMAD TOHARI yang berjudul ORANG-ORANG PROYEK

(Seperti) Pedagang Buah

"Kemarin saya ke pasar, Bang" saya memulai berbicara kepada ivan. Ivan memang sudah saya anggap abang saya sendiri. Saya memanggilnya dengan sebutan Babang. Dari segi usia memang saya dan dia tidak berselisih terlalu jauh, hanya berbeda 2 tahun. Tapi karena kedewasaannya saya sangat me-nua-kan dia.

Malam itu, kebetulan ivan sedang menginap di rumah. Ivan memang teman yang paling sering bermalam di rumah saya. Seperti biasa kami menghabiskan malam, sebelum beranjak tidur, untuk ngobrol ngalor-ngidul yang sudah saya anggap seperti hal ritual. Masalah sepertinya banyak sekali dan tak pernah ada habisnya kalau kami sudah menjalani hal ritual tersebut. Malam itu kami mengobrol di teras rumah saya yang hanya diterangi oleh lampu redup.

"ngapain?"
"ya belanja lah"
"cuma belanja ko cerita-cerita"
"sebenarnya ada yang istimewa sih"
"apa?"
"ada tukang buah, Bang....."
"istimewanya?"
"saya cuma ga habis pikir aja sama dua tukang buah yang saling bersebelahan itu"
"ya jangan dipikirin, cape-capein aja"

Ivan memang senang sekali ngelucu. Ia adalah orang yang seperti tak ada masalah dalam hidupnya. Namun itulah yang membuat banyak orang betah berlama-lama ngobrol dengannya. Dan saya termasuk di dalamnya. Entah mengapa kami bisa dekat. Padahal saya pendiam dan tak punya banyak teman. Entah apa keuntungannya dekat dengan saya, karena setahu saya dia punya banyak teman yang "lebih" dari saya.

"maka-nya jangan dipotong dulu"
"ya wis, terusin"
"mereka saling menjelek-jelekan buah milik pesaingnya," saya bercerita dengan nada yang pelan karena memang hari telah malam, "dan menganggap buah-buah yang dijualnya sangat baik"
"kan wajar...?!"
"wajar gimana?"
"supaya buah mereka laku" ivan menjawab dengan sedikit tersenyum, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"tapi kan bukan berarti harus menjelek-jelekan buah pesaingnya"
"apa salahnya?"
"ya salah-lah"
"letak kesalahannya?"
"mbo ya jangan jelek-jelekin buah orang lain"
"kenapa memangnya?"
"karena kan belum tentu buah miliknya sendiri bagus"
"kalau memang terbukti lebih bagus?"
"tetap ga etis lah, kalau dia menjelek-jelekan buah orang lain"
"yang saya tanya, kalau memang terbukti bagus?"
"kan.....," saya sedikit berpikir keras, "BAGUS ITU RELATIF"
"hebat kamu.." ivan sedikit tersenyum.

Cerita ini terinspirasi dari kultum di masjid sebelah kantor tentang : Perbandingan Kitab Suci

Kapasitas Menilai Hati

Seperti biasa, di serambi mushalla, setelah shalat maghrib berjamaah, sambil menunggu datangnya waktu isya, ada beberapa teman yang sengaja duduk-duduk santai sambil ngobrol ngalor-ngidul dan ngeroko', kadang juga pake ngopi. Pekerjaan rutin yang kelihatan ga penting atau isengan. Dimalam itu yang hadir lengkap – saya, yomi, ivan dan ubay.

“Kemarin ane lihat artis-artis di Rawajati, Kalibata. Mereka seperti super hero di tengah-tengah musibah banjir” ubay membuka pembicaraan. ubay memang teman saya yang paling kritis namun kadang agak arogan menilai sesuatu.

“wah kamu lihat langsung artis-artis ibukota itu? Saya juga lihat, kemarin, tapi Cuma lewat tv” Yomi menanggapi dengan agak polos. Maklum yomi memang salah satu teman saya yang sebenarnya tak jago kalau masalah diskusi.

“Bener, Yom,” Ubay yang tadinya pada posisi merebahkan tubuhnya langsung berusaha duduk dan menyandar ke dinding mushalla, “ane lihat langsung, ada beberapa artis ibukota di sana ”

“Bay, bay… cuma lihat artis ibukota aja ko bangga” ivan sepertinya tidak begitu tertarik dengan sesuatu yang glamour, seperti kehidupan para artis di negeri ini dan belahan dunia lain. Memang dia adalah teman yang sangat berpenampilan dan berperilaku sederhana. Ivan juga teman yang paling dekat dengan saya, walaupun kami sering berpergian dan kumpul-kumpul berempat.

“Wong bangga itu di tempatkan pada posisi semestinya” Saya sedikit berkomentar dan mengamini pernyataan ivan kepada ubay, walaupun saya sebenarnya tidak begitu mengerti dengan pernyataan saya sendiri. Sebenarnya saya, diantara teman-teman saya, agak pendiam, tapi saya sangat senang kalau mendengar teman sedang berdiskusi.

“Bukan itu sebenarnya yang ane permasalahkan,” Ubay sepertinya agak emosi dengan pernyataan saya dan ivan tadi, “tapi menurut ane, para artis itu cuma ingin cari popularitas aja dengan cara membantu para korban banjir di Kalibata.”

“Iyah juga sih, soalnya ini memang salah satu situasi yang pas, aji mumpung lah, untuk menjadi populer.” Yomi mnyetujui pernyataan Ubay.

“Hush, ngawur kalian!” ivan langsung menimpali, “mbo ya jangan arogan nuduh-nuduh orang yang ngga-ngga. Sekarang begini, kalau memang benar mereka seperti itu, kan ngga ada ruginya bagi para korban banjir yang mereka bantu”

Saya pikir ivan ada benarnya. Buat apa kita sibuk mengurusi hati orang, yang mana hakikatnya cuma dia yang punya hati dan Tuhannya yang tahu. Lagi pula sepertinya bukan itu masalah yang terpenting. Ada yang lebih penting dari pada masalah hati seseorang dalam menolong.

“Yang paling penting, banyak para korban banjir yang tertolong atas setiap hajatnya. Urusan para artis ikhlas dan tulus atau dia pamrih karena kepopulerannya, mbo ya jangan dibahas, kan bukan kapasitas kita kalau masalah urusan hati. Tapi masalah dia sama Tuhannya.”

“ya…., tapi,…. E..e…. ane ga suka aja ama kelakuan artis-artis kita sekarang, walaupun ga semuanya sih”
“kenapa emang?” saya melemparkan pertanyaan kepada ubay.
“ya…. Karena, kadang mereka hidup glamour dengan segala ke-glamour-an duniawi yang ada, namun kadang bak super hero yang aji mumpung ngebantu korban bencana. Wajar kan kalau menurut ane mereka cuma cari popularitas doang dengan ngebantu para korban.”

“Mbo ya jangan begitu. Lebih baik kita ngedoain semuanya, para korban dan para artis yang menyumbang, supaya selalu dalam kebaikan dan selalu berada di jalan Tuhan” ivan dengan kesederhanaan dan kebijaksanaanya mencoba menasehati ubay.

“iya, lagian ngomong-ngomong kamu udah nyumbang belum, Bay?” Saya bertanya pada ubay.
“ehm….Belum sih”
“ha…ha…ha…ha…..” kita tertawa bersama.

Dan akhirnya masuk waktu isya. Dan saya langsung menuju kamar di salah satu sudut mushalla untuk adzan.

Banjir Jakarta : Lantai Kehidupan

Minggu pagi, saat itu, di daerah Rawajati, Kalibata, banjir sudah menutupi dada orang dewasa. Bahkan media telah mengklaim air sudah setinggi 4 m. pagi itu suasana di sana tidak begitu ramai. Saya yang sengaja datang ke sana karena ingin melihat dan membuktikan berita di media, tiba sekitar jam 7 pagi. Sampai di jalan Dewi Sartika saya melihat seorang perempuan tua kumuh, sepertinya seorang pemulung, nekad menceburkan diri ke sisi genangan air. Dia nampak memegang kantongan besar. Saya lalu mencoba mendekatinya.

“Sedang apa, Bu?” saya bertanya sedikit berteriak karena saya tidak barenai turun ke air. Saya agak khawatir sebenarnya melihat ibu tua itu. Namun nampaknya ibu tua itu begitu serius seperti mencari sesuatu.

“ngga, Nak” ibu itu nampaknya ingin kembali ke tempat yang tidak digenangi air.
“marih saya bantu, Bu..”
“makasih, Nak”
“Ibu sedang apa?” saya mencoba mencari jawaban yang belum saya dapatkan.
“cari sesuatu yang bisa buat makan, nak”
“lho, memangnya ada apa di sana , Bu”
“banyak barang-barang yang bisa diambil, nak” ibu itu sambil melihatkan kepada saya barang-barang yang telah ia dapati.

Saya sedikit terkejut ketika saya melihat isi dari kantongan yang ibu tua itu bawa. Barang-barang rumah tangga dan sedikit pakaian nampaknya sudah berhasil didapati oleh ibu tua itu.

“wah dapat banyak nih bu?”
“alhamdulillah, nak” ibu itu tersenyum lebar dan kemudian meneruskan bicaranya, “kalau terus banjir begini pasti banyak barang-barang yang hanyut”.

Saya sedikit terperanjat atas jawaban ibu tua itu. Suatu fenomena yang ironis memang. Tapi saya tidak tahu apakah suatu yang ironis itu sesuai dengan keadaan ini. Di dalam hati saya Cuma sedikit bergumam ibu itu sepertinya mensyukuri banjir yang terjadi di jakarta . Memang hidup itu seperti roda berputar. kesedihan seseorang belum tentu juga menjadi kesedihan pula bagi orang lain.

“O..gitu, selamat deh, Bu. Mudah-mudahan ini berkah buat ibu”
“makasih, Nak”
“saya permisi, Bu”

Lalu saya pergi ke arah sebaliknya menuju Kampung Melayu untuk melihat banjir di sana .

Paradoks Keridhoan (2)

Disaat sedang bekerja, atasan saya sengaja menghampiri saya. Sebetulnya ia hanya ingin meng-copy file musik Ebiet G. Ade di dokumen saya. Namun ditengah proses salinan dari perangkat komputer saya ke tempat penyimpanan atasan saya itu, tiba-tiba, tanpa ada suatu alasan memulai, ia berkata ‘dengan adanya asuransi, membuat orang tidak ridho, bener ga’?’. Dia nampak membuat pernyataan namun tetap bertanya, untuk meyakinkan mungkin. Tapi sepertinya ia mencoba mengajak saya berdiskusi tentang hal itu.

Sebenarnya saya tidak begitu paham akan maksud pernyataan atau pertanyaannya itu. Apakah ia ingin membahas suatu sistem asuransi dalam islam atau ingin membahas salah satu sikap bermoral di mata tuhan dan manusia, yaitu ridho. Dengan ketidak-tahuan saya akan maksudnya, saya lalu menjawab ‘sebenarnya paradigma kita harus tepat tentang makna ridho’.

Apakah ridho, semata-mata hanya menerima begitu saja. Terima apa saja yang sudah menjadi takdirnya. Sebuah sifat fatalistik yang menyerahkan semuanya dan menerimanya atas nama takdir atau nasib.

Saya cuma mau mengibaratkan asuransi itu seperti polisi. Jadi disaat barang kita dicuri, misalnya, apakah jika kita melapor ke polisi atas kehilangan akibat pencurian itu berarti kita tidak ridho.

Ah, wallahualam….

Paradoks Keridhoan

Kemarin sempat berbincang sama teman di tengah waktu bekerja. Dia sedikit bercerita tentang orang tuanya yang baru saja pulang dari ‘naik haji’. Ia sedikit menceritakan saat orang tuanya merasakan sendiri bagaimana perlakuan panitia haji terhadap para jamah, terutama ketika wukuf di padang arafah.

Kita ketahui bersama kejadian di sana hanya lewat televisi. Dan di sini, sebagian masyarakat kita terbilang sangat kecewa dengan kejadian ini. Setelah selalu tak pernah sepi dari kekecewaan pada pada setiap tahunnya, panitia penyelenggara haji nampaknya telah kembali membuat suatu kesalahan. Namun nampaknya kesalahan yang dibuatnya pada tahun ini amatlah sangat merisaukan sehingga kekecewaan masyarakat sudah pada taraf puncak. Sehingga membuat massa berbondong-bondong menyuarakan, mewakili, keperihatinan para jamaah.

Namun sebenarnya apa yang dirasakan sendiri oleh para jemaah haji. Itulah yang kemarin teman saya singgung. Ternyata orang tuanya tidak pernah merasakan kekecewaan sedikitpun, agak lapar memang, tapi orang tuanya hanya bilang takut keikhlasan atau keridhoan hajinya terkotori karena merasa kecewa terhadap panitia. Mereka terkesan ‘hanya’ menerima. Mereka RIDHO atas apa yang terjadi terhadap diri mereka. Tanpa sedikitpun menyiratkan kekecewaan. Mungkin karena orang jawa kali ya….? Begitu yang diceritakan teman saya yang asal Malang itu. Ridho memang, tapi apakah salah jika kita merasa kecewa terhadap panitia penyelenggara dengan sedikit menyuarakan pula kekecewaan itu. Apakah dengan begitu nilai haji kita menjadi berkurang?

Tapi, mbo ya panitia haji indonesia ngerti. Orang mau membersihkan dosa ko’ malah ‘dikerjain’ sama ‘coba-coba’.

Be a Simple! Patutkah Menjadi Sebuah Cita-cita?

Kemarin dulu, ada seorang teman wanita yang berbaik hati membelikan saya sebuah hadiah sebagai oleh-oleh dari kepergiannya ke Bandung. Jujur saya tak pernah memintanya apalagi memaksanya untuk membelikan saya sebuah oleh-oleh karena saya takut merepotkannya. Tapi mudah-mudahan ia ikhlas dan tulus atas sebuah hadiah istimewa yang ia berikan kepada saya. Apa hadiahnya? Sebuah kaos semi-oblong berwarna putih (sayang dia tak tahu warna favorit saya). Apa istimewanya? Sebuah tuluisan besar berwarna hijau. Apa Tulisannya?

"BE A SIMPLE!"

Sebuah tulisan yang sangat sederhana tapi sempat menghentak batin-jiwa saya. Cukup menggelitik kedirian saya. Bahkan sempat membuat bulu halus di tangan saya berani berdiri dan membuat tubuh agak sedikit merinding. Berlebihan? saya pikir tidak bagi orang-orang seperti saya. Tidak bagi orang-orang yang masih merasa sombong atas apa yang dimilikinya, yang masih merasa bangga atas setiap yang dilakukannya, yang masih terlalu fanatik sama golongannya. Namun bagaimana dengan diri merasa cuek-bebek, merasa minder, merasa tak punya kehormatan? Be a Simple-kah rasa itu?

Apa sebenarnya yang ingin di-DEMO-kan oleh pembuat kaos semi-oblong itu dengan tulisan yang biasa namun tak biasa. Ada apa dibalik tulisan "BE A SIMPLE!". 'Menjadi sederhana'! Apakah hanya sebatas itu? apakah cuma sesederhana itu?

'Be a Simple' nampaknya patut dijadikan sebuah cita-cita ditengah kefanatikkan atau ke-cuek-an orang akan sesuatu, terhadap perasaan besar seseorang atas orang lain atau perasaan orang yang tak punya kepercayaan akan dirinya, juga terhadap sebuah perasaan sombong akan kekayaan dan jabatannya atau sebuah sikap merasa miskin dengan meminta-minta harta pada orang lain.

Jangan terlalu fanatik atau terlalu cuek. Jangan merasa sombong atau merasa tak punya apa-apa. Jangan merasa bangga atau minder merasa tak mampu. Jadilah bijaksana dalam setiap langkah yang di ambil. Cukup bijaksana, ya... itu nampaknya cukup sederhana.

Tapi memiliki cita-cita 'Be a Simple' apakah semudah tulisannya, sederhana!?