Thursday, April 26, 2007

Baba Hasan Meninggal Dunia

Malam ini, tepat tanggal 25 April 2007, saya menerima kabar yang sangat tidak menyenangkan. Sekitar pukul 22.30 Hand phone saya berdering tanda adanya panggilan masuk. Segera saja saya jawab. Dan ternyata, “Id….., dapat salam dari Ivan. Baba Hasan meninggal.” Ternyata Ubay yang mengabarkan berita tak menggembirakan itu, tentu saja dengan nada sedih.

Mendengar kabar itu, saya tak bisa menahan kesedihan. Kesedihan akibat kehilangan seorang lagi yang saya kenal. Baba Hasan, orang tua yang penuh dengan semangat hidup. Seorang yang mengajarkan sebuah arti kehidupan dengan pentingnya sebuah silaturrahmi dengan manusia lainnya.

Setelah mendegar berita itu, pikiran saya langsung tertuju kepada Ivan, Teman sekaligus sahabat terdekat saya. Saya terus bertanya-tanya dalam hati tentang bagaiana perasaan Ivan dengan kejadian ini. Dengan tidak ingin banyak bertanya dalam hati, saya langsung mencoba menghubunginya.

“Assalamu ‘alaikum…” saya memulai pembicaraan.
“Wa ‘alaikum salam…..”

“Bang, saya baru dengar kabar dari Ubay.”

“Iya, Id. Baba duluan yang pergi…..” Ivan bicara dengan nada agak serak. Mungkin ia merasa sedih. Karena ia sangat sayang sekali dan sangat mengidolakan Ayahandanya itu.

“Jam berapa, Bang?”

“Tadi, Id, Jam setengah sepuluh.”

“Sabar ya, Bang….” Saya mencoba menjadi teman saat dirinya sedih.

“Iya, Id. Maafin Baba yah……,” Ivan berhenti sejenak. “Maafin Baba kalau punya salah ya, Id.” Ivan bicara dengan sangat tenang. Walaupun saya tahu dia pasti sangat sedih sekali. Terdengar juga dari suaranya yang memang tak bisa menutupi kesedihannya.

“Di mata saya, baba tuh ga pernah salah ko, Bang. Jadi ga perlu ada yang dimaafin.”
“Ga ada manusia yang ga pernah berbuat salah, Id.”

Saya terdiam sejenak mendengar perkataannya. “Sampeyan bener, Bang.”

“Insya Allah, kalau besok pagi saya bisa keluar kantor, saya ke sana, Bang. Mudah-mudahan Kepala Seksi saya ngijinin untuk melihat Baba untuk yang terakhir kali.” Saya yang memang sedang di Bekasi tak bisa malam itu langsung ke sana. Pikir saya besok pagi saya akan ke sana, insya allah.

“Kalo kamu sibuk banget, ga usah dipaksain untuk datang. Minggu juga bisa ke sini kan.” Ivan seperti berusaha untuk tidak membuat saya repot karena jarak yang jauh dan akan mengganggu pekerjaan saya.”

“Iya, Bang. Tapi Insya Alloh, kalau mendapat ijin saya dateng. Tapi kalau memang tidak bisa, Minggu pasti saya akan datang.” Saya berusaha untuk tidak membuat janji. Walaupun saya ingi sekali datang ke sana dan melihat Baba Hasan untuk yang terakhir kali. Dan tentunya menemani Ivan yang pasti merasa sedih.”

“Makasih ya, Id.”
“Sama-sama, Bang.”
“Ya udah, Assalamu ‘alaikum……”
“Wa ‘alaikum salam…”

Innalillahi wainnailaihi raaji’uun. Sesungguhya kita semua memang milik Gusi Alloh dan akan kembali kepadanya. Semua, yah, semua akan kembali kepadanya tanpa terkecuali. Karena memang seperti itu settingan takdir sebuah eksistensi kita sebagai tercipta sebagai manusia. (dicatat pada Kamis dini hari, 00.30.)

Wednesday, April 25, 2007

Syariat Ayo, Hakikat Monggo...

Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Saya yang merasa panas di dalam rumah, mencoba mencari kesejukan angin malam. Malam itu saya keluar untuk sekedar berjalan-jalan. Seperti biasa memang kalau saya tak bisa tidur, entah itu karena merasa kepanasan di dalam rumah atau memang karena ada masalah yang dipikirkan. Saya pergi keluar rumah.

Kali ini saya mencoba berjalan lewat pintu belakang rumah saya. Karena memang saya ingin menuju jalan raya untuk sekedar melihat kendaraan lalu lalang di bawah terang lampu jalan. Namun ketika melewati suatu warung saya menemukan Ivan dan Yomi sedang asyik di dalamnya. Mereka sedang ngopi kelihatannya. Tanpa menunggu waktu lama, saya langsung masuk ke warung itu untuk menegur mereka.

Dan ternyata ketika saya tegur mereka tak begitu terkejut. Ketidak-terkejutan mereka, karena mereka sedang serius berdiskusi suatu masalah.

“elu, Id.” Yomi yang saya tegur hanya menjawab demikian. Lalu mereka kembali melanjutkan diskusi mereka.

“Tapi, menurut gue, syariat itu kepentingannya seperti pentingnya tanda-tanda lalu lintas di jalan raya.” Yomi bicara dengan sangat serius.

“Waw, ngomongin masalah syariat yah?” Saya sedikit tertarik dengan bahasan diskusi di lewat tengah malam itu.

“Iya.” Yomi yang sedang serius bicara dan terpotong oleh pertanyaan saya tadi langsung menjawab dengan agak sedikit kesal.

“Van, coba elu lihat di sana,” Yomi menunjukkan tangannya keluar warung. “Lihat lampu lalu lintas itu. Coba kalau elu pikirin ga ada itu, bagimana jadinya?”

“Mungkin akan terjadi kecelakaan.” Saya yang tidak ingin kelewatan pada diskusi ini langsung menjawab pertanyaan yang Yomi lontarkan, sebenarnya, untuk Ivan.

“Nah, elu bener, Id. Pasti akan terjadi kecelakaan di sana-sini.”

“Apakah tidak mungkin, kalau banyak orang yang telah sadar akan etika bagaimana hidup bersama, walaupun tanpa adanya marka atau lampu lalu lintas itu, tidak terjadi kecelakaan di sana-sini?” Ivan langsung melemparkan pertanyaan yang bersifat kemungkinan.

“Ngga bisa. Tetep harus ada, tuh, yang namanya marka jalan atau lampu lalu lintas. Saya yakin kita akan tidak aman berada di jalan kalau tidak ada aturan lalu lintas itu.” Saya kali ini memihak Yomi.

“Betul. Gua setuju, Id, ama apa yang elu omongin barusan. Kita ngga bakalan aman kalau tidak ada yag namanya aturan lalu lintas.” Yomi senang sepertinya karena mendapat belaan dari saya.

“Tunggu, kan saya bilang, kalau banyak orang yang sudah mengerti akan etika hidup bersama di jalan. Ingat, yang saya bicarakan adalah suatu yang ideal.” Ivan bicara sambil tersenyum dan terlihat sangat tenang. Memang itulah pembawaannya, tenang.

“Ah, ngga mungkin tuh, bakalan kaya gitu. Menurut gue, non-sense ama yang namanya kondisi yang ideal. Tetep perlu ada yang namanya tanda-tanda lalu lintas di jalan raya. Jadi kalo menurut gue, syariat itu yah seperti tanda di jalan itu. Penting dan kaga bisa di tawar-tawar.” Yomi bicara dengan sedikit emosi.

“Jika kita kembalikan masalahnya ke masalah syariat, berarti, menurut sampeyan syariat itu tidak perlu lagi digunakan ketika orang-orang sudah banyak yang mengerti bagaimana cara menuju Tuhan?” Saya bertanya kepada Ivan.

“Bukannya ada suluk atau jalan hakikat untuk menuju Tuhan?” Ivan balik bertanya.

“Menurut gue. Pokoknya ngga ada tuh ceritanya orang yang kaga sholat masuk surga. Orang yang kaga puasa di bulan ramadhan itu kaga masuk neraka. Biar dibilang dia itu penganut ajaran hakikat atau apalah.” Yomi emosi lagi.

“heh…,” Ivan tersenyum sebentar. Dan langsung segera menjawab argumen yang sedikit emosi dari si Yomi dengan ketenangannya. “Yom, pada dasarnya, saya pribadi, ingat kata-kata saya, saya pribadi, setuju dengan pendapatmu. Kenapa saya bilang saya pribadi, karena yang mengerti kadar ketakwaan dan kedekatan saya sama Gusti Alloh, adalah saya pribadi, bukan kamu, dan bukan Aid.”

“Tapi, mbo ya kita dewasa sedikit dengan tidak menyalahkan orang begitu saja karena ia berbeda dengan kita. Bahwa mereka tidak menjalankan syariat yang ada namun berjalan menuju Tuhannya dengan suluk hakikat. Toh, ya sama-sama menuju Gusti Alloh.”

“Terus tadi saya bilang, saya sebenarnya setuju dengan pendapat kamu. Karena saya tahu kadar kedekatan saya sama Gusti Alloh. Saya masih membutuhkan aturan yang bisa mengingatkan saya sama Gusti Alloh. Saya masih memerlukan panduan hukum untuk sekedar dekat dengan Gusti Alloh. Jelas, saya masih membutuhkan sebuah syariat. Mungkin juga kamu, mungkin juga Aid.”

“Tapi, banyak orang yang sudah bisa dekat bahkan merasa menyatu dengan Tuhan tanpa menjalankan sebuah syariat yang kita anut. Nah, orang-orang itulah yang saya bilang tadi sebagai orang-orang yang sudah mengerti etika hidup bersama ketika berada di jalan raya. Dengan ada atau tidak adanya tanda-tanda lalu lintas, mereka mengerti bahwa ketika ada yang sedang menyebrang harus mengurangi kecepatan, ketika mengendarai kendaraan di sekitar perumahan, tidak ngebut. Atau ia tahu bahwa pejalan kaki harus berjalan di sebelah kiri, karena akan membahayakan dirinya. Seperti itulah gambaranya.”

“Namun, saya lebih cenderung mengatakan bahwa kita sebagai manusia masih sangat membutuhkan aturan, masih sangat membutuhkan sebuah syariat yang akan mengatur dan memberikan sebuah perdamaian yang berdampak pada sebuah ketenangan. Kenapa demikian? Karena kita ketahui bahwa sifat kebanyakan manusia, apalagi sekarang ini, adalah cenderung lebih mudah membuat keonaran dari pada melakukan kebaikan. Lebih mudah berbuat dosa dari pada melakukan kebajikan. Dengan keadaan seperti ini, bagaimana mungkin, jika tanpa aturan, akan terjadi keseimbangan dan perdamaian. Pasti yang ada saling gontok-gontokan. Saling bunuh-bunuhan. Saling tuduh-tuduhan. Dan saling-saling lainnya. Bayangkan, sekarang aja, dengan banyak aturan di sana-sini, manusia masih saja tidak mematuhinya. Apalagi tidak ada tuh yang namanya konsekwensi sebuah ketidak-taatan pada hukum atau, syariat dalam hal ini.”

“Jadi menurut saya, untuk saya pribadi masih sangat memerlukan sebuah syariat untuk ingat kepada Gusti Alloh. Terlepas dari ketidak-tahuan saya tentang apakah kebanyakan manusia memang harus menggunakan syariat karena suatu keadaan atau kondisi sifat kemanusiaan yang memang telah ditakdirkan seperti adanya oleh Gusti Alloh. Tapi, tetap. Saya pribadi tidak punya ke-otoritasan untuk mengatakan bahwa seorang yang berjalan menuju Tuhan tanpa menjalankan sebuah syariat adalah sebuah kesalahan. Jadi menurut saya, SYARIAT AYO, HAKIKAT MONNGO....”

Lama saya dan Yomi terdiam. Kami hanya mendengarkan Ivan yang bicara dengan nada tidak menggurui. Dan tidak memaksakan kehendaknya untuk diikuti dan disetujui. Karena ia selalu saja mengatakan menurut pribadi saya… menurut pribadi saya…..

Dan tak terasa waktu sudah mendekati pukul 2 pagi. Dan tanpa adanya keputusan bahwa saya atau Yomi setuju dengan penjelasan panjang lebar Ivan, kami semua memutuskan untuk pulang.

Monday, April 23, 2007

Wallhu a'lam : Sebuah Bukti Kelemahan Manusia

Kemarin malam, kami, Saya, Ivan, Yomi, dan Ubay, menghadiri undangan muludan Kanjeng Nabi di RW 5. Kami merupakan perwakilan dari remaja mushallah Assyatiriyah, yang ada persis di sebelah rumah saya. Seperti biasa pada hari-hari besar Islam, remaja mushalah atau masjid di sekitar kelurahan kami, selalu mengadakan sebuah “perayaan”. Dan tidak lupa, saling mengundang antara remaja mushalah atau mesjid di sekitar Kelurahan.

Kemarin malam, saatnya kami bertandang ke RW 5, tempatnya remaja mushalah Darul Arqam. Dalam undagannya tertulis bahwa pengisi ceramahnya adalah Habib terkenal di sekitar kelurahan kami. Oleh karena itu, Yomi dan Ubay sangat interest dan memaksa ikut untuk menghadiri undangn tersebut. Padahal kami telah memiliki sebuah konvesi bahwa pada undangan kali ini, yang datang adalah saya dan Ivan. Karena Ubay dan Yomi juga harus menghadiri undangn acara muludan di daerah Kebayoran Lama, yang kebetulan berbarengan. Namun karena mereka memaksa untuk ikut mengikuti acara di Mushallah Darul Arqam di RW 5, maka dengan berat hati formasi dirubah. Kami berempat ke RW 5 sedangan Ade, Roni, dan Dimas pergi menunaikan undangan di Kebayoran Lama.

Setelah bebrapa saat kemudian.

“…….., Inilah dia al mukarom wal muhtarom Habiibina, Habib Rojik al indonisiy….. Kepadanya kami persilahkan” begitu lantang sang MC memperkenalkan penceramah yang memang telah kondang di kelurhan kami, bahkan namanya telah dikenal sampai di luar puau Jawa. Beliau sering kali mendapat “orderan” ke luar Pulau Jawa, terutama sering ke Sumatera. Memang, gosipnya, ada paman beliau yang hidup dan tinggal di sana.

Akhirnya naiklah sang habib itu. Terlihat para undangan begitu antusias. Banyak suara-suara takbir menggema saling bersahutan, “Allahu akbar……Alahu akbar……..”. Malah saya lihat ada yang sampai tidak dapt menahan deraian air matanya. Padahal beliau belum berceramah. Dalam hati saya hanya bergumam begitu besar dan muliakah dia, sehingga patut untuk ditangisi???

Habib yang satu ini tekenal dengan ceramahnya yang sangat lantang. Sehingga ia dikenal dengan Habib Jenggot Pedang. Kebetulan memang ia berjenggot lebat dan sangat lancip mirip kelancipan pedang. Namun sebenarnya, menurut saya, di sebut demikian karena dari mulutnya yang berkumis, saat ia bicara, selalu mengeluarkan kata-kata yang sangat tajam bagaikan pedang. Apalagi tehadap, yang ia anggap, orang-orang sesat.

Cermahnya, pertama-tama, masih sangat relevan dengan acaranya, yaitu mencari makna di balik peristiwa-peristiwa kelahiran Kanjeng Nabi. Namun setelah beberapa lama, dan ketika suasana sudah mulai hangat dengan suara-suaranya yang semakin malam semakin keras dan menggetarkan, mulailah kata-kata tajamnya keluar dari mulutnya.

“…….mereka itulah orang-orang yang selalu berpikir dengan rasional, mereka adalah orang-orang yang bodoh karena ke-liberalannya dalam membuat suatu hukum. Orang-orang yang hanya bisa mendekonstruksi hukum Tuhan, Mereka-mereka adalah orang-orang sesat….. maka kita harus memerangi orang-orang seperti ini. Darah mereka halal untuk dikucurkan, karena mereka sesat dan telah murtad.” Lalu tiba-tiba banyak sekali orang-orang yang saling bertakbir, “Allahu Akbar…..Allahu Akbar……..”

Setelah beberapa saat, sang Habib menutup ceramahnya……

“……….. kurang lebihnya saya meminta maaf, karena kesalahan adalah milik manusia dan kebenaran hanyalah milik tuhan. Wallahu a’lam Bishshawab. Wal ‘afwu minku, Wassalamu ‘alaikum wa rahatullahi wabarakatuh.” Dan acara akhirya berakhir.

Dalam perjalanan pulang saya bertanya kepada Ivan, “Bang, habib Rojik itu keras banget yah pendapatnya? Menurut sampeyan gimana, Bang?”

“Kontradiksi” Ivan menjawab dengan sangat santai.
“Hah? Maksud sampeyan dengan kontradiksi itu apa, Bang?
“Padahal dia tahu kekurangan dia sebagai manusia dan bahwa cuma Gusti Alloh yang tahu segalanya. Namun tetap saja dia seenaknya menilai orang lain sesat dan murtad.”

Saya sedkit mengernyitkan dahi tanda berpikir. Berpikir untuk mengerti maksud dari perkataan Ivan tadi. Dan akhirnya, “oh…….., iya yah.” Dan ahirnya kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah kami masing-masing.

Tuesday, April 10, 2007

Mengemis (tidak lagi) Dilarang

Hari itu di Bilangan Senayan, ada sebuah pergelaran pameran di sana, tepatnya di JHCC. Dari segala macam komputer sampai telepon seluler di pamerkan di sana. Saya sengaja datang mengunjungi pameran itu sendirian karena ingin berlama-lama di sana. Kalau saya mengajak teman, agak khawatir dia akan cepat bosen berlama-lama di sana.

Hari itu waktu sudah beranjak sore. Terlihat warna langit sudah mulai memerah. Saya yang sejak siang tadi berada di dalam gedung JHCC, mulai agak keletihan. Kaki saya sudah mulai terasa agak pegal, perut saya menjerit ingin meminta jatahnya yang sejak siang belum diberikan, dan kerongkongan saya seperti sudah kering tak ada setitik air pun mengaliri.

Dengan keadaan seperti itu saya langsung memutuskan untuk pulang. Namun sebelum itu saya harus memenuhi hak perut dan kerongkongan saya. Akhirnya saya mampir di salah satu warung tenda persis di depan gerbang JHCC dekat dengan parkir timur senayan. Kebetulan memang di parkir timur senayan saat itu disesaki dengan kendaraan, maklum, karena memang hari itu hari terakhir pameran.

Saat saya makan siang yang tertunda, ada seorang ibu tua bersama anaknya yang duduk tanpa alas persis di samping saya dengan hiasan satu gelas plastik air mineral kosong di hadapannya. Ibu tua itu sepertinya adalah seorang pengemis. Kelihatan sekali dengan penampilannya yang agak kotor. Ibu tua itu berusia sekitar 50 tahun-an. Terlihat nampak tapak tangannya yang sebelah kanan sudah tak bisa di kontrolnya, terus saja bergerak. Mungkin ibu tua itu sudah mengalami struk. Ia membawa seorang anak dengan masih menggunakan seragam putih-merah. Anaknya itu berumur sekitar 6-7 tahun. Namun saya yang sambil makan, melihatnya agak terharu namun tetap ada perasaan senang karena anak itu sangat ceria dan bermanja-manja dengan ibunya.

Lalu saya coba mendekati anak ibu itu, “De, lagi main apa?” saya bertanya demikian sambil menaruh sedikit duit recehan ke dalam gelas plastik air mineral kosong yang tepat berada di depan ibu tua itu yang sedang mengajak anaknya bermain-main dengan sebuah kelereng.

“Eh, makasih, Mas. Hayo jawab, tuh kamu di tanya sama om-nya tuh. Bilang makasih dulu hayo!” ibu tua itu menagajak bicara anaknya dan menyuruhya untuk menjawab pertanyaan saya sambil membetulkan posisi duduk dan mulai memangku anaknya itu.

Namun anak kecil itu tidak menjawab apa-apa hanya sedikit menahan rasa malu dan mulai memeluk ibu tua itu. Yang terdengar hanyalah suara ringisan dari anak itu, pertanda bahwa anak itu sangat malu untuk bicara dan menjawab pertanyaan saya.

“Maaf, Mas, memang anaknya sangat pemalu.” Ibunya seperti tidak enak dan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ananya.

“Tak apa-apa, Bu, namanya juga masih kecil”
“Iya, Mas.”
“Usia berapa, Bu, anaknya?
“Enam tahun, Mas.”
“Pulang sekolah?”
“Iya, tadi pulang sekolah langsung saya bawa ke sini.”
“Kelas berapa, Bu?”
“Baru kelas satu, Mas.”

Setelah sedikit banyak bicar dan bertanya, ada yang membuat saya sangat peasaran ingin menanyakan. Yaitu dari mana biaya sekolah anaknya itu. Apakah dia masih punya suami yang bekerja atau kah….??? Sebelum hati saya menjawab yag bukan-bukan, akhirnya saya coba beranikan untuk bertanya kepada ibu tua itu. Namun dengan sedikit strategi bertanya.

“Bapaknya kerja apa, Bu?””
“Oh, sudah lama meninggal, Mas. Saat dia umur tiga bulan.”
“Oh, maaf, Bu. Saya tidak tahu.”
“Tak apa-apa toh, Mas. Wong memang kenyataannya sudah meniggal. Tapi ngalhamdulillah, walaupun Bapaknya sudah meninggal, anak ini tetap bisa sekolah.”
“Alhamdlillah ya, Bu.”
“Iya, Mas. Meskipun cuma ngemis-ngemis kaya gini masih bisa nyekolahin anak.”
“Cuma ngemis?”
“Ya iya toh, Mas. Memang saya harus cari uang bagaimana lagi, wong tangan kanan saya ini aja udah ga bisa diam,” Ibu itu bicara sambil mengangkat sedikit tangan kanannya yang sudah struk. “Dulu sebelum tangan saya seperti ini, kerjaan saya yah, jadi pembantu di rumah orang kaya, Mas. Dapat kerjaan sekalian dapat tempat tinggal. Sekarang karena tangan saya sudah ga bisa saya pakai untuk bekerja, ya akhirnya saya ngemis aja untuk biayain hidup anak.”

Akhirya saya disedikit tersentil dengan pembicaraan kami tadi. Setelah saya menggoda kembali anaknya ibu tua itu. Saya mencoba mencubit pipi anak itu yang memang terlihat tembam. Namun di saat menggoda anak itu hati saya terus bertanya-tanya.

“Mengemis. Mengemis bukannya suatu yang tidak baik, bahkan dilarang dalam pandangan agama, dan sepertinya juga pandangan sosial-budaya? Bukannya ustadz-ustadz di majlis-majlis ta’lim selalu mengatakan bahwa ‘tangan yang di atas adalah lebih baik dari tangan-tangan yang di bawah’?”

“Namun bagaimana dengan kejadian ibu tua pengemis ini? Mengemis dengan sebuah tujuan mulia, mempertahankan hidupnya dan memperjuangkan kehidupan anaknya sehingga dapat suatu yang bisa dikatakan ‘layak’. Apakah tidak lebih baik Ibu pengemis tua ini dibanding dengan orang-orang kaya yang selalu memberikan sumbangan namun tetap juga melakukan korupsi?”

“Lalu apakah mengemis terlarang bagi ibu tua ini yang sudah tidak punya daya apa-apa lagi untuk mencari sebuah nafkah kehidupan, kecuali hanya dengan mengemis, demi sebuah tujuan mulia memberikan kehidupan bagi anaknya? Apakah agama masih tega melarang ibu tua itu menjadi seorang pengemis, ditengah-tengah orang-orang kaya yang borjuis dan egois dan negara yang tidak mempunyai rasa simpati dan empati?”

Akhirnya waktu seakan-akan menyuruh saya untuk segera pulang. Dan akhirnya dengan meminta ijin terlebih dahulu kepada ibu tua itu, saya beranjak ke tempat parkir motor dan segera meninggalkan senayan.

Monday, April 9, 2007

Ulang Tahun di Warung Nasi Uduk

Perbincangan di warung nasi uduknya Mpo Lilis. Saat saya, Ivan, Ubay, dan Yomi sedang makan nasi uduk lalu datanglah Om Kur.

Om Kur : Assalamu’alikum….
Kami : Wa’alikum Salam…
Saya : Eh, Om Kur.
Om Kur : Ap kabarnya nih anak-anak muda?
Ivan : Om Kur, kaya sudah tua aja. Wong masih kelihatan muda ko.
Om Kur : Iya, nih. Hari ini jadi semakin tua karena tambah umur.
Ubay : Lho, hari ini Om Kur ualng tahun?
Om Kur : Ya gitu deh.
Ubay : Wah, kalau gitu selamat ulang tahun Om. Mudah-mudahan selalu bahagia dan hidup senang serta dijauhkan dari bala bencana.
Om Kur : Doa sampeyan panjang banget, Bay?! Makasih deh.
Saya : Selamat juga Om. Mudah-mudahan dipanjangkan umurnya.
Ivan : Selamat yah Om, semoga selalu berada dalam lindungan Gusti Alloh.
Yomi : Iya saya juga ucapin selamat yah Om. Semoga-moga tambah kaya. Biar bisa traktir kita-kita di sini. Hehehe…..
Om Kur : Makasih yah anak-anak muda. Ya udah sekarang makan aja nasi uduknya Mpo’ Lilis gratis. Saya traktir lah.
Ubay : Wah jadi ga enak nih, Om. Harusnya ga usah didengerin omongannya Yomi. Tapi kalau emang Om Kur maunya traktir kita-kita ya ga apa-apa lah.
Saya & Yomi : Yeh…………. (sambil menempeleng kepalanya Ubay).
Om Kur : Ya udah. Tapi saya harus segera kembali ke rumah. Lagi ada mertua.
Saya : Oke Om, Makasih banyak yah….
Om Kur : Yah, sama-sama. Makasih juga doanya.

(Selagi kami makan, tiba-tiba Ubay nyeletuk bertanya kepada Ivan)

Ubay : Van, kenapa ente tadi doanya untuk Om Kur simpel banget?
Ivan : Masa simpel?
Ubay : Iya. Semoga selalu berada dalam lindungan Gusti Alloh.
Ivan : Menurut saya itu ga simpel ko.
Ubay : Memangnya apa maksud doanya itu?
Ivan : Saya cuma ngucapin suatu yang wajar dan, menurut saya, semestinya.
Ubay : Wajar? Jadi menurutmu doa-doa kita tadi tidak wajar?

Ivan : Menurut saya, hidup tidak akan selalu mudah dan hidup tidak akan selalu bahagia. Karena bukannya hidup namanya kalau tidak ada kesedihan, tidak ada kesulitan. Gambaran kehidupan yang benar ada dalam surah Al-Insyirah, bahwsanya ada sulit dan juga ada mudah, ada senang dan juga ada sedih. Saya pikir mendoakan supaya selalu hidup bahagia, selalu dimudahkan, dijauhkan dari bala bencana adalah suatu gambaran kehidupan imajiner. Dalam arti, menyalahi definisi kehidupan yang diberikan oleh Tuhan. Karena tidak mungkin hidup itu akan bahagia terus, tidak mungkin hidup itu akan mudah selalu. Oleh karena itu saya cuma mendoakan Om Kur, semoga selalu berada dalam lindungan Gusti Alloh. Jadi sedih-senang, mudah-sulit-nya yang beliau rasakan tetap berada dalam lindungan Gusti Alloh. Tidak lupa sama Gusti Alloh.

Yomi : Menurut lu, bagaimana kita menyikapi ulang tahun, Van?
Ivan : Senang..
Yomi : Iyah, gue setujuh banget tuh. Emang kita harus senang.
Ubay : Lho, bukannya seharusnya kita sedih bahwa umur kita malah berkurang satu tahun? Berarti ajal kita semakin dekat.
Saya : Betul. Sejatinya kan bukan umur kita bertambah, namun berkurang.
Ivan : Memang sejatinya umur kita berkurang, tapi bukan berarti kita harus bersedih. Namun seharusnya kita menyikapi dengan penuh kegembiraan bahwasanya sebentar lagi kita akan bertemu dengan Gusti Alloh.

Wida Bicara Maulid Nabi dan Wafatnya Isa Al-Masih

Hari telah mulai senja hari itu. Jam telah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Saya kedatangan tamu, teman lama waktu SD. Seorang wanita dewasa nan ayu dan berpenampilan menarik. Sangat berbeda sekali saat waktu SD dulu.

Beliau datang untuk sekedar mampir dan ngobrol mengingat-ingat kejadian di waktu SD dulu. Akhirnya kita banyak saling bicara. Tentang inilah, tentang itulah. Sampai akhirya tanpa disadari kita bicara soal yang sangat sensitif, yaitu agama.

“Oh iya. Minggu kemarin kamu merayakan Maulid Nabi Muhammad yah? Selamat deh.” Disamping smart, Wida nampaknya adalah seorang wanita yang sangat toleran terhadap perbedaan.

“Eh, iya,” saya menjawab dengan ragu. “Oh iya, Setahu saya hari ini adalah hari peringatan wafatnya isa al-masih yah?” saya balik bertanya.
“Benar.”
“Ko, kamu ngga ge gereja?”
“Sudah tadi,” dia menjawab dengan sangat dingin, seperti ada yang sedang dia pikirkan. Lalu ia melanjutkan bicaranya, “Entah mengapa saya sangat sedih dengan kehidupan sekarang ini.”

“Kenapa memangnya, Wid.” Saya bertanya.
“Padahal ada dua hari yang sangat besar dan bersejarah dalam satu minggu ini. Yang apabila kita semua sadar dan dapat memaknainya, maka saya yakin dapat merubah kehidupan kita di dunia ini, khususnya di negara kita ini, yang sekarang terasa carut-marut, menjadi suatu yang penuh damai dan kasih serta penuh rahmat.”

Saya agak kaget dengan ucapanya. Ternyata kedewasaannya dalam berpenampilan juga berdampak pada kedewasaanya dalam beragama.

“Maksudmu dengan dua hari besar dan bersejarah adalah Hari Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hari Wafatya Isa Al-Masih?”

“Betul.”
“Kalau begitu, memang apa makna dua hari besar itu yang seharusnya bisa kita ambil sebagai penawar kehidupan yang sekarang ini sudah agak keblinger?”

“Tentang Maulid Nabi Muhammad SAW, katakan kalau saya salah. Adalah kejadian kelahiran seorang suci di tengah-tengah zaman yang dahulu dibilang dengan sebutan zaman jahiliyah. Jahiliyah sesuai bahasa adalah bodoh, jadi dapat dikatakan bahwa Muhammad lahir pada masa dimana orang-orang disekelilingnya adalah bodoh. Bodoh di sini mempunyai arti yang tidak sempit. Bisa dikatakan sikap-sikap yang arogan, menistakan wanita, mengurangi takaran, menyebah berhala, saling membunuh, tindak asusila, sampai tindakan korupsi. Nah, ketika kebiasaan jahil itu berlangsung, Tuhan dengan skemanya yang suci melahirkan seorang Muhammad sebagai tangannya dalam merubah semua macam tindakan bodoh yang ada ditengah-tengah kehidupan masyarakat arab saat itu.”

“Jadi menurutmu sekarang ini kita, sepertinya, kembali ke masa-masa jahiliyah?” Saya bertanya.

“Tidak secara waktu, namun, ini menurut saya, sikap hidup kebanyakan kita sekarang sepertinya menggambarkan sikap jahiliyah yang dulu pernah ada. Ya sikap-sikap yang saya sebutkan tadi seperti arogan, menistakan wanita, mengurangi takaran, saling membunuh, tindak asusila, sampai tindakan korupsi sekarang ini telah menjadi suatu budaya wajar yang bahkan sepertinya sudah mendarah daging.”

“Nah, sejatinya usaha Muhammad untuk mengubah masyarakatnya kearah masyarakat madani adalah sebuah simbol. Bahwasanya kita yang sadar akan keberadaan kita di tengah-tengah kebodohan massal, seharusnya bisa meniru Muhammad untuk berusaha merubahnya ke arah yang madani dan selaras. Paling tidak merubah diri sendiri ke arah yang baik. Sadar akan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dan warga beragama, beserta batasan-batasannya. Saya rasa kesadaran itu sudah sangat cukup untuk menjadikan masyarakat kita sekarang menuju masyarakat madani yang pernah dicapai Muhammad dahulu.”

“Lalu, sekarang adalah peringatan Hari Wafatnya Isa Al-Masih. Pertanyaannya, apa yang harus kita maknai dengan hari yang bersejarah ini?” Saya kembali bertanya.

“Sepertinya kamu sudah tidak sabar lagi ya, Id. Begini, sebelum kita mengambil maknanya, kita harus tahu kejadiannya. Kamu pernah nonton filmnya Mel gibson?”

“Hm……,” saya mencoba mengingat. “Oh, Passion of The Christ! Cerita ketika Yesus disiksa dan kemudian di salib.”

“Yup, betul. Saat itu kejadian di mana Yesus Kristus mengalami penderitaan luar biasa akibat dari sikapnya, yang bagi kerajaan saat itu sangat meresahkan. Sehingga Yesus harus di hukum dan di salib. Memang pada film itu kita tidak tahu, apakah berlebihan atau tidak siksaan yang dilakukan. Namun yang pasti saat penyiksaan itu berlangsung kita dapat melihat betapa kuatnya dan tegarnya Yesus. Ketika menuju bukit penyaliban, Yesus sempat terjatuh beberapa kali, namun ia tetap berdiri kembali meskipun menahan penderitaan luar biasa yang dia alami dan beliau terus saja menyebut ‘Tuhan Bapa’ sebagai daya menambah kekuatan untuk melawan rasa sakit yang sangat.”

“Oh, saya tahu apa makna yang harus kita ambil pada kejadian itu, Wid. Menurut saya, kejadian itu adalah simbol bahwasanya kehidupan tidak akan pernah terhindarkan dari apa yang namanaya cobaan. Oleh karena itu kita seharusnya bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.” Saya coba mendahului Wida untuk menjelaskan makna dibalik peristiwa penyaliban Yesus.

“Saya setuju dengan pendapatmu, namun menurut saya, tidak sesimpel itu, Id. Lagi-lagi ini menurut saya, bahwasanya perjuangan untuk merubah suatu yang tidak baik menjadi suatu yag baik, seperti tugas yang pernah diemban Yesus Kristus dahulu, pasti tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasti ada yang namanya sandungan, entah itu berupa cobaan atau apapun namanya. Namun kita harus yakin bahwasanya kebaikan adalah tetap kebaikan yang tidak akan pernah kalah. Karena Tuhan yang menuliskan semua kejadian hidup adalah wujud kebaikan itu sendiri. Buktinya sampai sekarang ajaran Yesus Kristus masih saja eksis walaupun Yesusnya telah lama disalib dan dibunuh.”

Kami sempat terdiam sejenak. Saya lihat dia agak haus akibat bicaranya yang sangat semangat. Namun tetap tidak menghilangkan kecantikannya. Jujur, ketika dia berbicara dengan semangat tadi, dia kelihatan semakin cantik.

“Minum dulu, Wid.” Saya menyilahkannya minum.
“Terima kasih, Id. Memang agak haus nih.” Dia langsung meminum air sirup rasa jeruk yang tepat dihadapanya.
“Sekalian makanannya dicicipi, Wid”
“Nanti aja, pebicaraan kita kan belum selesai.” Dia meletakkan gelas yang dipegangnya tadi.

“Oke kita teruskan, Wid. Kalau begitu apakah menurutmu kejadian-kejadian itu, yang notabene diperingati oleh agama yang berbeda, mempuyai korelasi untuk merubah kehidupan sekarang ini?”

“Pertanyaan bagus, Id. Saya pikir ini anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita sebagai manusia beragama diberikan waktu untuk melakukan pertaubatan dan kesadaran secara berbarengan. Tinggal kita manusianya, ingin berubah atau tidak. Ingin mengambil makna atau tidak. Nama agama kita memang berbeda, namun esensi dari keberagamaan kita sama, yaitu MENJADI BAIK, PRIBADI MAUPUN MASYARAKATNYA.”

Akhirnya pembicaraan kami benar-benar dihentikan oleh adzan maghrib.

Wednesday, April 4, 2007

Kang Aid (nyoba) Memandang Hidup

Kemarin malam di pelataran mushallah setelah pulang dari main bulu tangkis saya coba merebahkan badan saya yang terasa sangat lelah. Memang seperti biasa, untuk melepas lelah saya biasanya mencari sedikit ketenangan di pelataran mushallah dan berbaring menghadap langit yang seperti payung tanpa pondasi.

“Id, ada apa senyum-senyum sendiri?” Ivan datang dan langsung duduk disebelah saya berbaring. Kala itu sambil berbaring, saya memang tersenyum-senyum sendiri. Karena memang ada yang sedang saya pikirkan dan bisa dibilang menggelitik saya.

“Eh, sampeyan bang,” saya langsung mengambil posisi untuk duduk dan bersandar pada kubah masjid. Kebetulan pelataran mushallah yang saya maksud adalah pelataran di atas mushallah. Dan untuk sampai di atas adalah dengan menaiki anak tangga dari bambu yag ada di samping mushallah.

“Saya lihat kamu tersenyum sendirian. Kalau tidak ada yang dipikirkan, berarti kamu sudah stres pasti. Wah saya bakalan kehilangan satu teman nih”

“Enak aja sampeyan ngomong. Wong saya masih normal.”
“Kalau masih normal, berarti ada yang lagi di pikirin dong?”
“Iya, sampeyan bener, Bang. Ada yang sadang saya pikirin dan agak menggelitik saya.”
“Apa yang dipikirin memangnya?”

“Kenapa ada kesenangan dalam batin saya, ketika saya dipercundangi, baik langsung atau pun tidak langsung, oleh seseorang?” saya sedkit melirik ivan yang sedang membenarkan kain sarungnya yang melibat di lehernya. “Menurut saya, rasa itu kebalikan dari umumnya manusia. Yang apabila dipercundangi, maka akan merasa sedih dan tidak bahagia.”

“Memang apa yang membuat kamu senang disaat kamu dipercundangi?” Ivan bertanya dengan posisi yang sudah mulai agak nyaman.

“Saya merasa senang ketika melihat orang lain senang, meskipun saya yang menjadi ‘korban’ ataupun ‘sebab’ yang membuatnya menjadi senang,” Saya menjawab sambil tersenyum. “Nah, perbedaan dengan kebanyakan manusia itulah yang membuat saya tersenyum-senyum sedari tadi.”

“Cuma itu yang membuat kamu tersenyum, tidak ada yang lain?” Pertanyaan ivan kali ini sangat mengagetkan saya. Sepertinya ia tahu bahwa ada hal lain yang membuat saya tersenyum sendirian saat itu.

“Ada, Bang.”
“Penilaian orang terhadapmu?” Kali ini saya benar-benar dikagetkan dengan tebakan yang dilontarkan oleh Ivan.

“Iya, ko sampeyan bisa nebak, Bang?” Saya bertanya sambil tersenyum penasaran. Dan sempat meyakinkan saya bahwa sebenarnya Ivan adalah seorang indigo.
“Nah, sekarang pertanyaanya adalah apakah kamu tahu apa yang menyebabkan munculnya kesenangan kamu terhadap sesuatu yang, pada kebanyakan orang, sesuatu itu akan membuat ketidak-senangan?”
“Apa, Bang?”
“Cara pandangmu tentang hidup”
“Saya benar-benar tidak mengerti maksud sampeyan, Bang. Jujur, saya tidak pernah sampai berpikir sejauh itu, apalagi sampai berpikir tentang memandang hidup. Terlalu rumit bagi saya, Bang.”

“Id.. Id… payah kamu,” Ivan kali ini merebahkan tubuhnya di atas tikar. “Kamu tuh, menganggap kehidupan yang bersifat duniawi ini seperti main-main saja. Mbo ya, sekali-kali mikir serius untuk kehidupan di dunia.”

“Bener tuh, Bang, Ngga tahu yah. Tapi tepatnya bukan main-main tapi seperti permainan. Saya tuh berpikir kehidupan yang bersifat duniawi itu cuma permainan. Jadi tidak perlu ada yang harus ditanggapi dengan serius dan berlebih. Jadi kita akan selalu ikhlas dan ridho atas semua yang terjadi, meskipun hal itu bagi kebanyakan orang adalah suatu yang sangat tidak menyenangkan. Nah, kalau suatu yang berkaitan dengan akhirat baru harus kita tanggapi dengan serius.”

Aneh bin ajaib. Ivan mendengar tanggapan saya tidak dengan mengkritik, namun malah tersenyum senang, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan dari saya dan sepertinya ia berhasil mengelabui saya, sedangkan saya tidak mengetahuinya.

“Itu namanya kamu sudah pandai memandang hidup,” Ivan berkata demikian sambil menarik hidung saya. Lalu saya berusaha membalasnya namun ia suda menutupi wajahnya. Memang kami sudah sangat akrab sejak lama. Kebetulan ayahnya, Baba Hasan, adalah teman bapak saya.

Setelah keadaan sudah tenang kembali, Ivan langsung berkata, “Tadi main bulu tangkis kalah ya? Terus teman yang tadi ngalahin senang banget karena bisa mengalahkan kamu?
Terus kamu merasa biasa-biasa saja, malah ada kepuasan dalam hatimu karena dapat membuat temanmu itu senang bisa mengalahkanmu.”

Saya hanya bisa terrsenyum lebar karena semua tebakannya yang dia lontarkan. Semua dugaannya kembali menyadarkan saya bahwa teman saya ini sepertinya memang dapat membaca jalan pikiran seseorang.

Lalu ia kembali bicara, “Kamu tahu, Id, kenapa temanmu itu berlebih kesenangannya saat mengalahkan kamu?”

“Kenapa memangnya?”
“Berarti dia menganggap kamu itu, lebih hebat dari padanya”
“haahahaha….” Kami tertawa bersama.

Syariat NIKAH : Apakah masih diperlukan ?

Siang itu di warung sederhananya Mbo’ Darmi, saya yang kebetulan sedang makan siang kedatangan Hendra yang memang terkenal dengan sebutan pemuda yang pandai, sampai-sampai karena kepandaiannya sering kali pemikirannya bersebrangan dengan para tokoh agama di kampung kami, termasuk ayahnya yang juga kiyai terpandang di kampung kami.

Dengan keramahannya, dia langsung menegur saya. Memang Hendra, walaupun sering tidak sependapat dengan kebanyaka kiyai di kampung, dia adalah seorang yang penuh senyum dan ramah.

“Makan, Id?”

“Eh, sampeyan Hen. Iya nih kebetulan perut lapar banget. Sampeyan ga makan?” sambil mengunyah makanan yang sudah terlanjur berada di dalam mulut, saya mencoba menjawab sapaannya.

“Saya ga lapar, cuma mau ngopi aja. Kebetulan lagi suntuk banget.”
“Oh, saya tahu kenapa sampeyan suntuk, Hen.”
”Sok tahu kamu. Memangnya kenapa?”
“Hen, Hen…, wong teman-teman di sini tuh, udah pada tahu kisah perdebatan anak yang santri dengan ayah sang kiyai.”
“hm…..,” Hendra tersenyum dengan tebakan sok tahu saya yang ternyata memang benar dan langsung dibenarkan olehnya. “benar kamu, Id. Saya memang habis berdebat dengan ayah saya.”
“Tentang apa kali ini, Hen?”
“Nikah”
“Kamu dijodohkan?”
“Yeh… bukan begitu”
“Terus…?” tanya saya dengan penuh penasaran.
“Masalah pandangan tentang nikah”
“Maksudnya?”
“Sekarang saya tanya ke kamu. Apa sebenarnya tujuan diberlakukannya syariat nikah?”

Saya sempat berpikir bahwa pertanyaannya sangat sederhana namun untuk menjawabnya saya butuhwaktu banyak untuk berpikir. Sedang saya termasuk orang yang awam bukan yag alim lagi santri seperti si Hendra.

“hm….. mungkin untuk menghalalkan penyaluran nafsu, juga untuk memperbanyak keturunan.”
“Oke, itu kita simpan. Tapi menurut saya tujuannya yang tepat adalah agar supaya mengikat kesetiaan seseorang pada seseorang sehingga menghidarkan dari segala macam bentuk pengkhianatan,” Hendra bicara sambil menenggak kopinya yang masih hangat. Lalu meneruskan kembali “Pada dasarnya pengkhianatan adalah suatu yang alergi jika disandingkan dengan kedamaian. Oleh karena itu syariat nikah dimunculkan untuk menjaga perdamaian dan menghindarkan pengkhianatan.”

Saya sedikit mengeryitkan dahi, dan dengan berjalannya waktu, tiba-tiba dalam pemikiran saya, apa yang telah diutarkan oleh Hendra adalah benar.

“Saya cenderung setuju dengan pendapat sampeyan, Hen”
“Nah, sekarang saya tanya sama kamu. Dengan prinsip dasar yang telah kita sepakati tadi. Pertama, sepasang kekasih yang saling menyintai dan berkeyainan bahwa mereka akan setia sehidup-semati dan mereka saling menyanggupi bahwa mereka tidak akan saling mengkhianati, apakah tanpa melalui jalur syariat nikah adalah suatu kesalahan? Kedua, apakah menurutmu seseorang yang hidup bersama tanpa menikah, namun mereka tetap pada kesetiaanya untuk selalu hidup bersama, tidak lebih baik dengan seseorang yang nikah-cerai-nikah-cerai?

Sebelum saya berpikir untuk mejawab, tiba-tiba dari depan warung Mbo’ Darmi terdengar suara memanggil si Hendra. Dan ternyata itu adalah adiknya Hendra yang kebetulan santri juga, namun sedang menjalani libur panjang setelah ujian akhir semester. Adiknya memanggil si Hendra karena ia di panggil oleh ibunya untuk mengantarkan keundangan tetangganya.

“Id saya dipanggil. Nanti, kapan-kapan, kita teruskan lagi perbincangan kita. Soalnya saya sudah janji dengan ibu saya untuk mengantarkanya keundangan H.Dulloh yang sedang mengadakan resepsi pernikahan putrinya.”

“Ya udah, sana”
“Oke, sampai jumpa yah…”
“Oke”

Seperginya Hedra dari warungnya Mbo Darmi saya agak terganggu dengan pertanyaannya Hendra. Lalu tiba-tiba banyak sekali pertanyaan yang muncul begitu saja dalam benak saya.

Bukannya hidup bersama tanpa menikah lalu melakukan persetubuhan apalagi sampai punya anak adalah perbuatan zina? Bukannya zina itu, tidak hanya islam saja, namun juga semua agama mengharamkannya? Kalau begitu kenapa kita harus menilai bahwa yang hidup bersama tanpa menikah lebih baik dengan yang nikah-cerai-nikah-cerai? Padahal bercerai itu hanya dibenci bukan diharamkan, namun zina mutlak diharamkan. Kalau memang hanya itu pilihannya, kenapa kita harus mengunguli yang diharamkan, bukan yang hanya sekedar dibenci?

Makan saya siang itu sangat terganggu dengan sederet pertanyaan yang tiba-tiba muncul tadi. Namun saya sedikit menyangsikan kesimpulan saya tadi. Karena Hendra adalah seorang yang berpikir agak liberal tidak literal seperi saya. Saya yakin jika saya menjawab pertanyaannya dengan kesimpulan saya tadi pasti ia akan tertawa dan meledek bahwa saya sangat literal dalam menilai dan memandang suatu yang harusnya terus berkembang cara mengartikannya sesuai dengan zaman dan budaya yang ada.

Terus saja makan siang saya saat itu disibukkan dengan pemikiran-pemikiran yang terus muncul. Saya lalu coba berpikir seperti cara berpikirnya Hendra. Lalu tiba-tiba banyak sekali ide-ide muncul.

Tapi, kalau memang Hendra hanya ingin fokus dengan pembahasan tentang di angkatnya syariat nikah pada agama-agama bukannya suatu yang terkait dengannya seperti zina, menurut saya pasti ada filosofinya yang lebih tepat dari apa yang disampaikan olehnya atau paling tidak ada pengaruh dari luar yang menyebabkan syariat nikah menjadi suatu yang wajib dilalui untuk membentuk suatu keluarga.

Misalnya pengaruh watak manusia. Bukannya manusia itu mempunyai nafsu yang jika terlepas atau tak terkendali melebihi nafsunya binatang bahkan lebih darinya? Tanpa sebuah ikatan, nafsu manusia yag ada bahkan punya potensi melebihi nafsunya binatang itu, manusia mungkin dapat dipastikan tidak akan dapat menjaga sebuah hubungan karena memang tidak ada yang mengikat dan ia merasa masih terbebas. Oleh karena itu perlu adanya syariat nikah.

Misalnya yang lain adalah, mungkin saja, budaya, atau lebih tepatnya hukum yang terbiasa disepakati dan dijadikan sebuah panduan hidup dalam suatu masyarakat. Saya merasa yakin bahwa semua hukum yang ada dalam kitab suci agama-agama disyariatkan akibat suatu budaya dalam masyarakat dan juga saya yakin hukum pada kitab suci agama-agama tersebut adalah suatu solusi panduan terbaik dalam menjaga budaya yang baik. Hidup bersama tanpa adanya ikatan nikah, pada budaya kita paling tidak, adalah suatu bentuk pencideraan budaya yang ada. Dan juga mungkin pada kebudayaan yang lain, seperti barat misalnya, syariat nikah merupakan solusi budaya yang baik.

Akhirya terakhir dalam benak saya muncul sebuah pertanyaan “mengapa kita tidak berani memilih suatu yang terbaik dari yang baik?”

Lalu tiba-tiba saya dikagetkan oleh kedatangan ivan yang langsung duduk disamping kursi saya dan langsung memesan makanan kepada Mbo’Darmi.