Monday, April 9, 2007

Wida Bicara Maulid Nabi dan Wafatnya Isa Al-Masih

Hari telah mulai senja hari itu. Jam telah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Saya kedatangan tamu, teman lama waktu SD. Seorang wanita dewasa nan ayu dan berpenampilan menarik. Sangat berbeda sekali saat waktu SD dulu.

Beliau datang untuk sekedar mampir dan ngobrol mengingat-ingat kejadian di waktu SD dulu. Akhirnya kita banyak saling bicara. Tentang inilah, tentang itulah. Sampai akhirya tanpa disadari kita bicara soal yang sangat sensitif, yaitu agama.

“Oh iya. Minggu kemarin kamu merayakan Maulid Nabi Muhammad yah? Selamat deh.” Disamping smart, Wida nampaknya adalah seorang wanita yang sangat toleran terhadap perbedaan.

“Eh, iya,” saya menjawab dengan ragu. “Oh iya, Setahu saya hari ini adalah hari peringatan wafatnya isa al-masih yah?” saya balik bertanya.
“Benar.”
“Ko, kamu ngga ge gereja?”
“Sudah tadi,” dia menjawab dengan sangat dingin, seperti ada yang sedang dia pikirkan. Lalu ia melanjutkan bicaranya, “Entah mengapa saya sangat sedih dengan kehidupan sekarang ini.”

“Kenapa memangnya, Wid.” Saya bertanya.
“Padahal ada dua hari yang sangat besar dan bersejarah dalam satu minggu ini. Yang apabila kita semua sadar dan dapat memaknainya, maka saya yakin dapat merubah kehidupan kita di dunia ini, khususnya di negara kita ini, yang sekarang terasa carut-marut, menjadi suatu yang penuh damai dan kasih serta penuh rahmat.”

Saya agak kaget dengan ucapanya. Ternyata kedewasaannya dalam berpenampilan juga berdampak pada kedewasaanya dalam beragama.

“Maksudmu dengan dua hari besar dan bersejarah adalah Hari Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hari Wafatya Isa Al-Masih?”

“Betul.”
“Kalau begitu, memang apa makna dua hari besar itu yang seharusnya bisa kita ambil sebagai penawar kehidupan yang sekarang ini sudah agak keblinger?”

“Tentang Maulid Nabi Muhammad SAW, katakan kalau saya salah. Adalah kejadian kelahiran seorang suci di tengah-tengah zaman yang dahulu dibilang dengan sebutan zaman jahiliyah. Jahiliyah sesuai bahasa adalah bodoh, jadi dapat dikatakan bahwa Muhammad lahir pada masa dimana orang-orang disekelilingnya adalah bodoh. Bodoh di sini mempunyai arti yang tidak sempit. Bisa dikatakan sikap-sikap yang arogan, menistakan wanita, mengurangi takaran, menyebah berhala, saling membunuh, tindak asusila, sampai tindakan korupsi. Nah, ketika kebiasaan jahil itu berlangsung, Tuhan dengan skemanya yang suci melahirkan seorang Muhammad sebagai tangannya dalam merubah semua macam tindakan bodoh yang ada ditengah-tengah kehidupan masyarakat arab saat itu.”

“Jadi menurutmu sekarang ini kita, sepertinya, kembali ke masa-masa jahiliyah?” Saya bertanya.

“Tidak secara waktu, namun, ini menurut saya, sikap hidup kebanyakan kita sekarang sepertinya menggambarkan sikap jahiliyah yang dulu pernah ada. Ya sikap-sikap yang saya sebutkan tadi seperti arogan, menistakan wanita, mengurangi takaran, saling membunuh, tindak asusila, sampai tindakan korupsi sekarang ini telah menjadi suatu budaya wajar yang bahkan sepertinya sudah mendarah daging.”

“Nah, sejatinya usaha Muhammad untuk mengubah masyarakatnya kearah masyarakat madani adalah sebuah simbol. Bahwasanya kita yang sadar akan keberadaan kita di tengah-tengah kebodohan massal, seharusnya bisa meniru Muhammad untuk berusaha merubahnya ke arah yang madani dan selaras. Paling tidak merubah diri sendiri ke arah yang baik. Sadar akan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dan warga beragama, beserta batasan-batasannya. Saya rasa kesadaran itu sudah sangat cukup untuk menjadikan masyarakat kita sekarang menuju masyarakat madani yang pernah dicapai Muhammad dahulu.”

“Lalu, sekarang adalah peringatan Hari Wafatnya Isa Al-Masih. Pertanyaannya, apa yang harus kita maknai dengan hari yang bersejarah ini?” Saya kembali bertanya.

“Sepertinya kamu sudah tidak sabar lagi ya, Id. Begini, sebelum kita mengambil maknanya, kita harus tahu kejadiannya. Kamu pernah nonton filmnya Mel gibson?”

“Hm……,” saya mencoba mengingat. “Oh, Passion of The Christ! Cerita ketika Yesus disiksa dan kemudian di salib.”

“Yup, betul. Saat itu kejadian di mana Yesus Kristus mengalami penderitaan luar biasa akibat dari sikapnya, yang bagi kerajaan saat itu sangat meresahkan. Sehingga Yesus harus di hukum dan di salib. Memang pada film itu kita tidak tahu, apakah berlebihan atau tidak siksaan yang dilakukan. Namun yang pasti saat penyiksaan itu berlangsung kita dapat melihat betapa kuatnya dan tegarnya Yesus. Ketika menuju bukit penyaliban, Yesus sempat terjatuh beberapa kali, namun ia tetap berdiri kembali meskipun menahan penderitaan luar biasa yang dia alami dan beliau terus saja menyebut ‘Tuhan Bapa’ sebagai daya menambah kekuatan untuk melawan rasa sakit yang sangat.”

“Oh, saya tahu apa makna yang harus kita ambil pada kejadian itu, Wid. Menurut saya, kejadian itu adalah simbol bahwasanya kehidupan tidak akan pernah terhindarkan dari apa yang namanaya cobaan. Oleh karena itu kita seharusnya bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.” Saya coba mendahului Wida untuk menjelaskan makna dibalik peristiwa penyaliban Yesus.

“Saya setuju dengan pendapatmu, namun menurut saya, tidak sesimpel itu, Id. Lagi-lagi ini menurut saya, bahwasanya perjuangan untuk merubah suatu yang tidak baik menjadi suatu yag baik, seperti tugas yang pernah diemban Yesus Kristus dahulu, pasti tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasti ada yang namanya sandungan, entah itu berupa cobaan atau apapun namanya. Namun kita harus yakin bahwasanya kebaikan adalah tetap kebaikan yang tidak akan pernah kalah. Karena Tuhan yang menuliskan semua kejadian hidup adalah wujud kebaikan itu sendiri. Buktinya sampai sekarang ajaran Yesus Kristus masih saja eksis walaupun Yesusnya telah lama disalib dan dibunuh.”

Kami sempat terdiam sejenak. Saya lihat dia agak haus akibat bicaranya yang sangat semangat. Namun tetap tidak menghilangkan kecantikannya. Jujur, ketika dia berbicara dengan semangat tadi, dia kelihatan semakin cantik.

“Minum dulu, Wid.” Saya menyilahkannya minum.
“Terima kasih, Id. Memang agak haus nih.” Dia langsung meminum air sirup rasa jeruk yang tepat dihadapanya.
“Sekalian makanannya dicicipi, Wid”
“Nanti aja, pebicaraan kita kan belum selesai.” Dia meletakkan gelas yang dipegangnya tadi.

“Oke kita teruskan, Wid. Kalau begitu apakah menurutmu kejadian-kejadian itu, yang notabene diperingati oleh agama yang berbeda, mempuyai korelasi untuk merubah kehidupan sekarang ini?”

“Pertanyaan bagus, Id. Saya pikir ini anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita sebagai manusia beragama diberikan waktu untuk melakukan pertaubatan dan kesadaran secara berbarengan. Tinggal kita manusianya, ingin berubah atau tidak. Ingin mengambil makna atau tidak. Nama agama kita memang berbeda, namun esensi dari keberagamaan kita sama, yaitu MENJADI BAIK, PRIBADI MAUPUN MASYARAKATNYA.”

Akhirnya pembicaraan kami benar-benar dihentikan oleh adzan maghrib.

No comments: