Wednesday, April 4, 2007

Kang Aid (nyoba) Memandang Hidup

Kemarin malam di pelataran mushallah setelah pulang dari main bulu tangkis saya coba merebahkan badan saya yang terasa sangat lelah. Memang seperti biasa, untuk melepas lelah saya biasanya mencari sedikit ketenangan di pelataran mushallah dan berbaring menghadap langit yang seperti payung tanpa pondasi.

“Id, ada apa senyum-senyum sendiri?” Ivan datang dan langsung duduk disebelah saya berbaring. Kala itu sambil berbaring, saya memang tersenyum-senyum sendiri. Karena memang ada yang sedang saya pikirkan dan bisa dibilang menggelitik saya.

“Eh, sampeyan bang,” saya langsung mengambil posisi untuk duduk dan bersandar pada kubah masjid. Kebetulan pelataran mushallah yang saya maksud adalah pelataran di atas mushallah. Dan untuk sampai di atas adalah dengan menaiki anak tangga dari bambu yag ada di samping mushallah.

“Saya lihat kamu tersenyum sendirian. Kalau tidak ada yang dipikirkan, berarti kamu sudah stres pasti. Wah saya bakalan kehilangan satu teman nih”

“Enak aja sampeyan ngomong. Wong saya masih normal.”
“Kalau masih normal, berarti ada yang lagi di pikirin dong?”
“Iya, sampeyan bener, Bang. Ada yang sadang saya pikirin dan agak menggelitik saya.”
“Apa yang dipikirin memangnya?”

“Kenapa ada kesenangan dalam batin saya, ketika saya dipercundangi, baik langsung atau pun tidak langsung, oleh seseorang?” saya sedkit melirik ivan yang sedang membenarkan kain sarungnya yang melibat di lehernya. “Menurut saya, rasa itu kebalikan dari umumnya manusia. Yang apabila dipercundangi, maka akan merasa sedih dan tidak bahagia.”

“Memang apa yang membuat kamu senang disaat kamu dipercundangi?” Ivan bertanya dengan posisi yang sudah mulai agak nyaman.

“Saya merasa senang ketika melihat orang lain senang, meskipun saya yang menjadi ‘korban’ ataupun ‘sebab’ yang membuatnya menjadi senang,” Saya menjawab sambil tersenyum. “Nah, perbedaan dengan kebanyakan manusia itulah yang membuat saya tersenyum-senyum sedari tadi.”

“Cuma itu yang membuat kamu tersenyum, tidak ada yang lain?” Pertanyaan ivan kali ini sangat mengagetkan saya. Sepertinya ia tahu bahwa ada hal lain yang membuat saya tersenyum sendirian saat itu.

“Ada, Bang.”
“Penilaian orang terhadapmu?” Kali ini saya benar-benar dikagetkan dengan tebakan yang dilontarkan oleh Ivan.

“Iya, ko sampeyan bisa nebak, Bang?” Saya bertanya sambil tersenyum penasaran. Dan sempat meyakinkan saya bahwa sebenarnya Ivan adalah seorang indigo.
“Nah, sekarang pertanyaanya adalah apakah kamu tahu apa yang menyebabkan munculnya kesenangan kamu terhadap sesuatu yang, pada kebanyakan orang, sesuatu itu akan membuat ketidak-senangan?”
“Apa, Bang?”
“Cara pandangmu tentang hidup”
“Saya benar-benar tidak mengerti maksud sampeyan, Bang. Jujur, saya tidak pernah sampai berpikir sejauh itu, apalagi sampai berpikir tentang memandang hidup. Terlalu rumit bagi saya, Bang.”

“Id.. Id… payah kamu,” Ivan kali ini merebahkan tubuhnya di atas tikar. “Kamu tuh, menganggap kehidupan yang bersifat duniawi ini seperti main-main saja. Mbo ya, sekali-kali mikir serius untuk kehidupan di dunia.”

“Bener tuh, Bang, Ngga tahu yah. Tapi tepatnya bukan main-main tapi seperti permainan. Saya tuh berpikir kehidupan yang bersifat duniawi itu cuma permainan. Jadi tidak perlu ada yang harus ditanggapi dengan serius dan berlebih. Jadi kita akan selalu ikhlas dan ridho atas semua yang terjadi, meskipun hal itu bagi kebanyakan orang adalah suatu yang sangat tidak menyenangkan. Nah, kalau suatu yang berkaitan dengan akhirat baru harus kita tanggapi dengan serius.”

Aneh bin ajaib. Ivan mendengar tanggapan saya tidak dengan mengkritik, namun malah tersenyum senang, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan dari saya dan sepertinya ia berhasil mengelabui saya, sedangkan saya tidak mengetahuinya.

“Itu namanya kamu sudah pandai memandang hidup,” Ivan berkata demikian sambil menarik hidung saya. Lalu saya berusaha membalasnya namun ia suda menutupi wajahnya. Memang kami sudah sangat akrab sejak lama. Kebetulan ayahnya, Baba Hasan, adalah teman bapak saya.

Setelah keadaan sudah tenang kembali, Ivan langsung berkata, “Tadi main bulu tangkis kalah ya? Terus teman yang tadi ngalahin senang banget karena bisa mengalahkan kamu?
Terus kamu merasa biasa-biasa saja, malah ada kepuasan dalam hatimu karena dapat membuat temanmu itu senang bisa mengalahkanmu.”

Saya hanya bisa terrsenyum lebar karena semua tebakannya yang dia lontarkan. Semua dugaannya kembali menyadarkan saya bahwa teman saya ini sepertinya memang dapat membaca jalan pikiran seseorang.

Lalu ia kembali bicara, “Kamu tahu, Id, kenapa temanmu itu berlebih kesenangannya saat mengalahkan kamu?”

“Kenapa memangnya?”
“Berarti dia menganggap kamu itu, lebih hebat dari padanya”
“haahahaha….” Kami tertawa bersama.

No comments: