Thursday, June 14, 2007

Sajadah Berdzikir

Harus kuakui bahwa perasaan cintaku pada Sarah tidak seperti rasa cintaku pada Nia. Tapi aku bingung, apa yang harus aku perbuat sekarang ini ditengah hubunganku dan Sarah yang sudah terjalin hampir satu tahun.

Malam ini semuanya sangat sulit. Perasaanku yang dulu sudah mulai berada dalam trayek aman-aman saja dalam sebuah hubungan dengan Sarah, harus terganggu dengan suatu yang sangat sederhana dan singkat.

Yah, kebetulan kemarin aku bertemu dengan Nia, mantanku. Aku dan Nia dulu memang pernah menjalin sebuah hubungan dekat. Hubungan kami terjalin sekitar dua tahun lebih. Namun karena aku selalu dikecewakan dengannya, akhirnya aku memutuskan untuk segera mengakhiri hubungan dengannya. Nia, selain cantik, adalah seorang yang supel jika bergaul. Sehingga tidak heran kalau banyak lelaki yang sangat menyukainya dan menginginkannya untuk menjadikan kekasih. Tapi justru yang membuat aku sering kecewa adalah karena kesupelannya dalam bergaul itu. Dia sangat terbuka disetiap hubungannya dengan lelaki lain. Dan pastinya aku sangat cemburu dibuatnya.

Namun entah mengapa pertemuan kemarin sangat membekas dalam perjalanan cintaku. Kegairahanku dalam mengarungi hidup seakan kembali terisi dengan energi positif, sepertinya rasa cinta, yang terjadi akibat pertemuan singkat itu. Pertemuan yang sangat luar biasa. Naluriku selalu ingin menyentuhnya, memeluknya, bahkan menciumnya. Saat itu aku bagaikan wajan yang kosong dan sangat mengidam-idamkan diisikan dan dipenuhi oleh air cintanya. Saat menatap matanya, aku merasa masih memilikinya. Yah, dia adalah miliku yang tidak akan pernah tergantikan. Saat tangannya mulai menyentuh tanganku, aku merasa dia tak akan pernah, benar-benar, menyakiti dan mengecewakanku. Saat kami mulai berbicara dan sedikit bercanda, didunia ini sepertinya tak ada orang lain selain kami berdua.

Entah mengapa malam ini aku memiliki kesimpulan bahwa aku ternyata masih sangat mencintai Nia. Lalu bagaimana dengan hubunganku dengan Sarah? Apa yang harus aku perbuat?

Lalu tiba-tiba Hp-ku bergetar. Ketika aku lihat ternyata ada SMS yang masuk. Dan itu adalah SMS dari Sarah. Bang, tolong jaga perasaan Ade yah? Ade sangat sayang sama abang. Membaca sms darinya, entah mengapa, bukannya senang karena ada orang yang masih sangat mencintaiku dan selalu setia terhadapku, malah membuat aku semakin bingung. Karena malam ini hatiku hampir sepenuhnya dikuasai oleh memori indah yang dibumbui cinta kepada Nia. Selebihnya adalah perasaan kasihanku kepada Sarah yang sudah sangat baik kepadaku dan sangat mencintaiku. Haruskah ia kukorbankan? Hatiku sudah mulai ikut campur.

Sarah memang telah mengetahui pertemuan singkatku dengan Nia. Itu karena komitmenku untuk selalu jujur terhadapnya. Jadi pertemuan singkat itu dengan sangat berat harus aku ceritakan kepadanya. Mungkin aku memang bukan lelaki yang sensitif dalam menjaga perasaan seorang wanita. Kontan saja, mendengar cerita pertemuan itu, Sarah sangat geram dan mengutukinya. Sampai-sampai, saat aku menceritakannya, air matanya tak tertahankan mengalir keluar. Dia sangat shock mendengar cerita pertemuan itu.

Setelah polosnya aku menceritakan pertemuanku dengan Nia, hubunganku dengan Sarah terasa sekali perubahannya. Sarah seperti berusaha menjauh dari diriku. Namun, Aku terus mencoba menghubunginya dalam usaha memperbaiki tali kasih kami berdua.

SMS tadi adalah saat pertamakalinya dia mulai ingin berkomunikasi denganku lagi setelah kekecewaannya, atau lebih tepatnya jika dikatakan kecemburuannya, terhadap diriku. Terus saja pesan itu aku baca berulang-ulang, namun tetap saja bukan kesenangan yang aku rasakan, malah aku semakin dibuatnya menjadi bimbang. Itu karena keyakinanku malam ini, bahwa aku ternyata punya rasa cinta yang sejati, namun bukan Sarah orangnya.

Sebenarnya sebelum pesannya sampai ke HP-ku, aku sedikit mengamini dengan situasi hubunganku yang bermasalah ini. Dengan kondisi ini, sepertinya tepat untuk sedikit menjauhkan hubunganku dengan Sarah. Aku merasa inilah waktunya aku mengakhiri hubungan yang sebenarnya timbul bukan karena semata-mata rasa tertarikku kepadanya, namun sedikit terpaksa atau lebih tepatnya dipaksakan.

Jujur, malam ini, semua rahasia-rahasia perasaanku mulai berani untuk aku simpulkan kedalam teori-teori. Bahwa Sarah adalah bentuk pelarianku akibat kekecewaanku terhadap Nia. Dan juga ada unsur ego kelelakianku di sini. Aku merasa bisa hidup tanpa Nia, dan bisa mendapatkan penggantinya dengan cepat. Karena, seringkali, aku merasa bangga mengatakan pada Nia bahwa akau telah punya seorang kekasih penggantinya dan aku bisa hidup bahagia tanpa dia.

Namun seiring perjalanan hubunganku dengan Sarah yang kadung sudah diketahui oleh masing-masing orang tua kami. Perasaanku, yang memang masih milik Nia, terasa sangat mengambang dalam perjalanan hubungan kami. Sarah adalah seorang yang sangat baik dan, bisa dikatakan, lebih dewasa dibanding dengan Nia, namun dengan kelebihan yang dimilikinya, tidak dapat membuat hatiku yakin bahwa Sarah adalah cintaku. Yah, mungkin itu karena sebenarnya aku memang tidak pernah benar-benar mencintainya. Sekarang yang ada hanya, ternyata aku, karena perbuatanku yang membabi-buta tanpa pernah benar-benar memikirkan secara masak tentang akibatnya, seperti terkurung dengan hubungan kami. Namun aku malu untuk mengakuinya. Karena aku masih memiliki gengsi sebagai lelaki. Aku pantang untuk merusak komitmen yang aku buat, walau kenyataannya itu sangat membuat aku sakit.

Lalu tiba-tiba HP-ku kembali bergetar. Ada pesan baru yang masuk. Masih tetap dari Sarah. Ade mau maafin abang. Tapi Ade minta tolong, abang sedikit hargai perasaan Ade. Jujur, Ade tidak bisa tahan jika selalu dikecewakan. Tapi jujur pula, Ade tidak bisa memungkiri, bahwa Ade masih sangat sayang sama abang.

Membaca pesannya yang kedua. Aku semakin mengutuki semua perbuatanku selama ini. Ada rasa simpatik dan empatik ketika membaca pesannya. Sampai aku sendiri tidak mampu menahan jatuhnya genangan air di mata. Namun, aku tidak ingin langsung menyimpulkan perasaan ini. Aku masih saja bingung dan tidak membalas pesannya. Apa yang harus kuperbuat Tuhan?. Hatiku, malam ini, selalu saja menanyakan hal itu.

Akhirnya aku putuskan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu untuk shalat Isya. Yah, nampaknya shalat akan dapat membuat aku lebih tenang dan akhirnya aku dapat berpikir secara jernih. Dalam shalat aku sengaja meminta kepada Tuhan jalan keluar dari semua masalah ini.

Tuhan Yang Maha Pencinta, berilah hambamu ini petunjuk jalan akan apa yang harus hamba perbuat di tengah masalah yang hamba hadapi ini. Hamba lemah, selemah-lemahnya makhluk. Oleh karena itu hamba mohon tuntunanmu dalam setiap tindakan hamba…. Aku sedikit terisak dan memikirkan apa lagi yang harus aku pinta, Tuhan, Apa dan Siapa yang harus aku korbankan?

Isakan tangisku makin menjadi-jadi dengan doa terakhirku. Dan aku tiba-tiba tersungkur di atas sajadah. Aku terkulai lemah dalam lilitan masalah dan tentunya karena keagungan Tuhan Yang Maha Pencinta. Mungkinkah tersungkurnya aku karena sebenarnya Tuhan menyapaku dan berbicara kepadaku tentang apa yang seharusnya aku lakukan. Tapi yang pasti saat itu aku lemah sekali. Aku hanya bisa menekuk badanku dalam dekapan sajadah suci dan deraian air mata. Aku mencintaimu, Tuhan…… Dzikir cinta itu terucap begitu saja tanpa kupikirkan dan terus saja membasahi bibirku. Mungkin Tuhan memang tidak seharusnya dipikirkan, namun dirasakan. Dan akhirnya aku tertidur.

---------

Pagi datang menyapa dengan sinar matahari yang cerah memancarkan ke sebagian permukaan bumi. Sengaja aku tidak pergi kuliah hari ini. Karena aku harus bertemu dengan Sarah dan menyelesaikan semua masalah. Pagi itu aku baru menjawab dua pesan dari Sarah dengan kata-kata yang sedikit pelit dan terasa tidak menjawab pesannya semalam. Boleh ketemuan pagi ini? Dan tak lama kemudian datang jawaban dari Sarah, Lho, memangnya abang ngga ada kuliah hari ini? Maaf yah kalau kata-kata Ade semalam, buat abang bingung. Mudah-mudahan Ade ga salah yah? Itu karena Ade sangat sayang sama abang. Kalo mau ketemuan, boleh aja. Dimana, Bang?

Seperti biasa Sarah kalau sudah menulis pesan sangat panjang dan bertele-tele. Padahal aku jelas-jelas hanya mengharap jawaban iya atau tidak darinya. Namun di luar itu, membaca jawabannya justru sangat mempengaruhi niatku untuk bertemu dengannya. Tapi semalam aku seperti sudah dikuatkan oleh Tuhan untuk menyelesaikan semuanya pada hari ini. Semakin banyak waktu yang terbuang, akan malah membuat masalahnya semakin rumit. Pilihannya hanya, apakah aku harus mengorbankan cinta sejatiku atau aku harus korbankan seorang yang sudah sangat tulus sekali mencintaiku, walaupun jelas, aku belum bisa mencintainya setulus cinta sejatiku terhadap wanita lain.

Di tempat biasa, De. TIM. Jam 10, yah?! Taman Ismail Marzuki adalah tempat kami berdua pernah berkomitmen untuk menjalin hubungan kami. Dan aku memutuskan untuk menyelesaikan masalah aku dengannya di tempat yang dulu pernah menjadi saksi bisu saat kami berkomitmen untuk jalan bersama mengarungi suka-duka hidup dan selama kami merayakan kerinduan, kerinduan dia semata sebenarnya, selama berhubungan. Tidak lama kemudian jawaban darinya masuk ke dalam inbox HP-ku. Oh, TIM yah Bang? Okelah. Tapi sebenarnya ada apa sih, Bang? penting banget yah? oh iya, tadi pertanyaan Ade blm di jwb. Ko ngga kuliah?

Nanti aja di sana semuanya abang jelasin yah. Ditunggu! Aku langsung bersiap-siap untuk menuju ke Taman Ismail Marzuki. Karena jam telah menunjukkan angka delapan. Sedangkan perjalanan dari rumah ke sana sekitar satu jam. Bagus-bagus kalau tidak macet. Tapi, di Jakarta, berharap tidak macet adalah suatu yang hampir mustahil.

Aku sampai di sana sekitar jam 09.40 WIB. Masih ada sekitar 20 menitan untuk menunggu sampai jam 10. Akhirnya aku sengaja melihat buku-buku lama di toko buku yang ada di dalam pekarangan TIM. Setelah jam telah menunjukkan pukul 10 kurang 5 menit, aku langsung menuju café tempat biasa kami menghabiskan waktu melepas kerinduan, lagi-lagi hanya kerinduan dia sebenarnya.

Setelah sampai di sana , aku terkejut, karena ternyata ia telah berada di sana lebih dahulu. Dia telah duduk di kursi café sambil membaca buku, tepat kursi di mana pertama kali kami menyatakan sayang dan cinta. Dari jauh, aku sengaja berhenti untuk memandangnya sebentar. Dia sangat cantik sekali dan sangat berbeda sekali dari biasanya. Gaunnya berwarna biru muda. Dan yang membedakannya adalah dia memakai gamis dengan jilbabnya yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Itu pertama kalinya aku melihatnya menggunakan gaun itu. Biasanya ia hanya menggunakan jilbab yang hanya menutupi kepalanya saja. Dia sebenarnya baru dalam menggunakan hijab. Kita memang sering sharing tentang agama, budaya, sampai politik. Dan hijabnya itu, diakuinya, sebagai buah sharing kita selama ini. Tapi yang membuat aku agak terkejut saat ia akhirnya memutuskan ingin mengenakan hijab, adalah, padahal aku tidak pernah memaksakannya untuk mengunakan hijab. Tapi kalau memang menurutnya perubahan itu adalah suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Yah, itu memang semata-mata keputusan dia.

Dari jauh aku menatap terus dirinya, tanpa diketahuinya. aku ingin sekali memandang dia sekali saja dengan penuh kualitas. Tidak selama ini, yang hanya memandang dengan pandangan yang tidak berkualitas. Terus saja aku pandangi dia. Tapi hatiku menegur menanyakan komitmenku semalam saat tahajud dan istikharah. Yah, aku lupa, ada yang harus aku lakukan hari ini. Keputusan yang sudah aku bulat tekadkan dan telah aku istikharahkan harus aku eksekusikan pagi ini. Dan tidak boleh terpengaruh oleh perasaan lain. Tujuanku hanya menyampaikan jawaban Tuhan kepadaku, saat aku berbincang dengannya semalam dalam istikharahku.

Assalamu ‘alaikum….. Mendengar salamku, dia terkejut. Dan langsung sumringah wajahya lalu menjawab, Wa ‘alaikum Salam Warahmatullah…. Wajahnya terlihat sangat bercahaya dan sangat menyentuh sisi ketertarikanku. Tidak seperti biasanya. Jawabannya juga halus tidak seperti biasanya. Mungkin ia berusaha untuk menyesuaikan perubahannya sekarang ini. Tapi yang tidak kulihat perbedaannya adalah tatapan matanya yang sepertinya masih saja mengharapkanku. Yah, mata yang sedikit menanyakan kesetiaanku. Menagih komitmenku untuk selalu mencintainya.

“Duduk, Bang.”
“Terima kasih, De. Udah lama?”
“Belum ko, Bang.”
“Abang mau pesan makan atau minum?”
“Kamu sudah makan?”
“Belum, Bang,”“Abang mau makan apa?”
“Bubur ayam aja. Minumnya teh manis hangat, De.”

“Mas Joko, Bubur ayamnya dua yah. Terus minumnya satu teh manis hangat, dan satu jus mangga yah….”

“Abang kenapa ngga kuliah?”

“Maaf, De. Abang lagi malas. Lagian hari ini dosennya belum ngasih kepastian akan datang atau tidak. Soalnya minggu kemarin bilangnya sih mau menghadiri acara walimahan temannya.”

“Ade, kelihatan tambah cantik aja sekarang. Gaunnya baru ya?”

“Makasih, Bang. Iya, kemarin diantarkan kak Levi belinya.”

“Oh iya. Katanya ada yang ingin dijelaskan, Bang?” Mendengar pertayaannya, aku seperti dikejutkan oleh bongkahan es yang siap untuk ditabrak perahu pesiar yang aku tumpangi. Hatiku bergetar. Kakiku gemetar. Tanganku pun ikut gemetar. Tapi yang jelas, niatku untuk mengatakan sesuatu itu, hampir saja luntur dengan pertanyaannya yang sangat to the point tadi.

“Kita makan dulu yah. Abang sudah lapar banget nih. Nanti baru kita bicarakan”

“Ohh, maaf. Ade terlalu to the point yah, Bang? ya sudah kita makan dulu.”

Selama makan, kami diskusi macam-macam. Yah, memang jika bertemu kami senang sekali mendiskusikan suatu yang masih sangat hangat. Kali ini kita mendiskusikan banyak masalah, dari pemilihan gubernur DKI Jakarta, Dana DKP, nilai tukar rupiah, sengketa tanah, perda syariah islam dan kristen, dan masih banyak yang lainnya. Diselingi dengan sedikit humor, sarapan pagi kami makin berkualitas saja.

Akhirnya waktunya datang juga. Setelah ia selesai menghabiskan bubur ayamnya, aku seperti diperintahkan oleh hati nurani, inilah saatnya aku harus mengatakannya. Entah apapun reaksinya terhadap semua yang akan aku jelaskan.

“De, sekarang sepertinya waktu yang tepat untuk bicara. Ada dua hal yang Abang mau jelaskan. Tapi abang minta tolong, jangan pernah potong pembicaran Abang sebelum Abang menyelesaikannya,. meskipun itu menyenangkan atau malah sebaliknya. Bisa, De?”

“Ehm…., bisa Bang.” Dengan perasaan bingung, mungkin, ia menjawab dan menyanggupi permintanku.

“De, yang pertama, maafkan abang kemarin, dan selama ini, yang sudah menyakiti perasaan Ade. Jujur, kemarin Abang tidak pernah punya niatan untuk menyakiti Ade dengan ketemuan sama Nia. Abang tau, dari sms ade, bahwa Ade kecewa terhadap Abang. Tapi pertemuan itu sejujurnya tidak pernah direncanakan. Kita kebetulan saja bertemu. Akhirnya dia mengajak Abang untuk sekedar mengobrol. Dan, ya…, hanya mngobrol, tidak lebih. Inilah yang Abang mau luruskan ketika Abang selalu berusaha menelpon Ade, namun Ade tidak pernah mau memberi Abang kesempatan untuk menjelaskan. Sekarang Ade mau maafin Abang?”

Mendengar pertanyaanku, Sarah langsung menundukkan kepalanya dan sedikit mencubit hidungnya. Ia terlihat sangat tertekan, namun berusaha menghilangkan kesan itu dengan sedikit tersenyum, walaupun genangan air di matanya sudah mulai tampak, ketika ia mengangkat kembali kepalanya untuk menjawab pertanyaanku.

“Jujur, Ade sakit hati, Bang. Entah itu pertemuan sengaja atau pertemuan yang memang tidak sengaja seperti yang Abang jelaskan tadi, tapi tetap Ade merasakan hati ini sakit, Bang. Tapi sejujurnya, Ade tidak pernah marah sama Abang. Karena Ade memang tidak akan pernah bisa marah sama Abang. Karena Abang adalah segala-galanya bagi Ade. Tapi ada satu yang Ade tidak bisa ngerti. Ade ngerasa Abang belum bisa menerima dan menghargai sepenuhnya perasaan Ade. Itu aja Bang yang selalu mengganggu dan mengusik Ade selama ini.”

Mendegar jawabannya hatiku ingin menangis. Tapi tidak kutumpahkan. Karena aku telah melihat ada tetes air mata di pipi Sarah. Aku berusaha tegar, walaupun agak sulit untuk menahannya untuk tidak menangis. Dalam hati aku hanya berujar, aku harus tegar. Aku harus bisa menjadi seorang lelaki yang tidak cengeng.

Kami saling diam. Suasana sangat sunyi. Yang terdengar hanyalah suara hatiku yang menjawab keresahannya selama ini. De, ini semua karena Abang memang belum bisa mencintai Ade. Masih ada cinta orang lain dihati ini. Abang sangat takut sebenarnya jika harus kehilagan cinta ini. Karena ini adalah separuh hidup Abang. Cinta ini ada begitu saja tanpa Abang pesan sama Tuhan. Entah ini nafsu semata atau cinta sejati. Tapi yang pasti rasa ini sangat mengganggu seluruh ruang hidup Abang selama ini. Maafkan Abang, De. Namun semua kata-kata itu tak sampai terucap di bibirku. Karena kutahu pasti akan menghancurkan hatinya.

Dan akhirnya aku harus segera mengatakan pilihanku akan apa yang harus aku korbankan. Pilihan yang kusertakan Tuhan dalam memilihnya. Namun tetap saja ada keraguan, karena keinginanku adalah aku tak ingin mengorbankan apapun dan siapapun. Namun semuanya nyatanya memang telah terlambat. Harus ada yang menjadi korban dalam masalah ini. Dia atau Cinta Sejatiku.

“De, makasih sudah tidak pernah marah terhadap Abang.” Aku sedikit menahan nafas dan masih memandangnya. Dia mulai sesenggukan. Entah apa yang ia rasakan, karena aku memang tidak sensitif dan belum bisa mengerti perasaan seorang wanita. Aku masih mengumpulkan serpihan-serpihan keberanian yang masih berserakan untuk mengatakan suatu yang sangat penting bagi kehidupanku dan kehidupannya.

“De……..,” Ahirnya aku beranikan untuk mengatakannya. “Maukah Ade menikah dengan Abang?”

Prinsip Etika si Jay

Malam selepas kuliah, di atas sepeda motor, teman saya, Jay, biasa saya menyapanya, tiba-tiba mengeluh sedang dilanda banyaknya polemik yang sedang dipikirkan. “Pikiranku lagi penuh kontroversi nih, Id”. Si Jay, teman saya itu, memang termasuk orang yang pandai dan idealis dalam memegang prinsip. Walaupun kadang-kadang ke-idealisan atas prinsip-prinsipnya itu tidak populer oleh masyarakat kebanyakan. Tapi itulah dia, seorang yang selalu punya alasan atas prinsip yang ia pegang dan berani berargumen membela apa yang menjadi prinsipnya, meskipun harus melawan masyarakat kebanyakan.

“Kamu, sok-sok banyak pikiran, Jay. Yah ga usah dipikirin.” Saya yang sebenarnya tidak pernah tahu tentang apa yang menjadi pikirannya sekarang ini, mecoba untuk tidak menanggapinya. Karena saya memperkirakan, akan banyak perbincangan yang akan kita lakukan, padahal saya harus konsentrasi dalam mengendarai sepeda motor. Apalagi saya sedang memboceng teman saya yang sudah mulai tambun pasca pernikahannya tahun lalu.


“Masalahnya, saya ga bisa ngilangin pikiran ini. Karena ini adalah masalah yang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Apalagi ini adalah suatu yang sangat bertolak belakang dengan prinsip yang saya pegang dan yang seharusnya mereka lakukan sebagai konsekwensi pernyataan janji yang pernah mereka buat.”


“Mereka? Maksdumu itu siapa? Dan memang apa masalahnya?”

“Para atasan di kantor, Id”

“Masalahnya?”

“Kode etik, yang seharusnya menjadi awal merubah sistem yang kotor dan jorok, nyatanya hampir tak pernah diindahkan oleh mereka.”


Mendengar jawaban darinya, saya langsung paham apa yang sebenarnya telah mengganggu pikirannya dan menjadi kegelisahannya.


Seperti menemukan sebuah emas yang hilang, dia sangat senang sekali dan bicara uneg-unegnya serta berbagi cerita tentang masalah yang selama ini tak pernah dia bicarakan dengan orang lain.


---------------------------

Mungkin pas sekali jika idiom merubah sesuatu itu tidak semudah membalikkan telapak tangan dijadikan bandrol dari konsep perubahan sistem yang memang sudah tidak layak lagi untuk dijalani, apalagi pada dewasa ini, walaupun sebenarnya sistem itu memang “kotor” adanya sejak dulu kala, namun hampir berhasil ditutup-tutupi.

Saya hargai dengan bandrol demikian, karena memang nyatanya demikian adanya. Merubah sistem yang sudah “mendarah daging” dalam sebuah badan atau organisasi nampaknya tak semudah dengan memberikan sebuah pernyataan dalam bentuk tanda tangan di atas kertas yang bermeterai saja. Memang di dalamnya sangat jelas sekali akibat dari perbuatan yang melanggar dari setiap pencorengan etika yang dilakukan. Namun hal itu tidak pernah dapat menjamin telapak tangan kita akan mudah terbalik.


Ini adalah suatu yang ironis, karena para punggawa pembuat aturan etika kerja yang dituntut untuk menghadapi modernisasi global, adalah para pelaku-pelaku yang telah berpengalaman dalam “premanisme sistem” yang selama ini dijalani. Akibatnya suatu yang kita, mungkin sebagian orang saja, idam-idamkan akan perubahan ke arah yang lebih positif akan sangat sulit terealisasi. Dan idiom di atas tadi akan sangat benar adanya, atau malah salah sama sekali, karena telapak tangannya sebenarnya sama sekali tidak ingin dibalikkan.


Menurut saya perubahan sistem itu harus mengikuti perubahan moral seseorang. Moral dulu ditanamkan, baru perubahan sistem akan berjalan seiring dengannya. Tanpa adanya perbaikan moral, perubahan yang telah dilakukan sampai sekarang ini, ibarat mengharapkan bulan bersinar di siang hari.


Lalu dengan cara apa melakukan perbaikan moral seseorang? Mungkin bisa dengan Shock Theraphy, melalui Law Enforcement. Menurut saya, penegakkan hukum adalah jalan terbaik untuk membina mental dan moral para pelaku kerja yang sudah terbiasa, bahkan telah menjadikannya sebagai budaya atau tradisi, dengan pelanggaran-pelanggaran etika yang selama ini mereka lakukan. Dengan hukum atau ancaman dari setiap pelanggaran itu ditegakkan secara sungguh-sungguh, saya yakin sistem baru yang diidam-idamkan oleh sebagian orang akan sangat mudah dilaksanakan. Di sini masalahnya adalah, kita mau atau tidak untuk melakukan perubahan yang selama ini telah menjadi jalan kita. Perubahan ke arah yang lebih positif tentunya.

----------------

Di atas motor saya, dia banyak bercerita tentang pelanggaran-pelanggaran etika yang, menurutnya, selama ini dilakukan oleh teman-temannya atau para atasan di kantornya. Tapi itu semua hanya penyaluran uneg-uneg dan sekedar berbagi cerita dan pendapat antara dia dan saya, karena pada dasarnya dia sadar, ke-idealisme-annya yang notabene hanyalah seorang pelaku kerja dengan golongan paling rendah di tempat kerja, tidak akan memberikan suatu perubahan yang signifikan.

“Saya memang hampir tidak memiliki kapasitas untuk menularkan idealisme saya terhadap mereka, Id. Namun jika saya diberi kesempatan untuk memberikan suara, saya akan suarakan pendapat saya sesuai prinsip yang saya pegang. Atau kalau memang memungkinkan, saya ingin pindah saja ke tempat lain.” Teman saya itu meledak-ledak memberikan opiniya.


“Pindah?”

“Yah, karena, mungkin hanya itu bentuk protes yang bisa saya lakukan, Id”

Wednesday, June 6, 2007

Interpelasi, Gus Dur, Akang Becak, Veteran Perang, Iwan Fals, dan Atasan Saya

Seperti anak-anak di Taman Kanak-Kanak (TK) saja. Untuk Gus Dur yang terhormat, sorry kata-katanya saya pinjam untuk sekedar merefleksikan sebuah lelucon konyol para punggawa pemegang kuasa di negeri endonesah ini. Eh, Endonesah atau Indonesia yah? Waduh saya sudah lupa sama nama negeri saya sendiri. Benar kata-kata sang veteran, di acaranya Kick Andy, anak muda sekarang memang banyak yang kurang ajar, wong sama nama negeri sendiri saja lupa. Ah, berarti saya harus banyak-banyak minta maaf sama para veteran nih, “maklumin kami ya Ki” (panggilan untuk para veteran yang memang sudah aki-aki – Tua, tapi perjuangannya pasti tak pernah menjadi aki-aki).

Tapi saya sedikit yakin kalau para veteran itu juga bisa maklum dengan kekurang-ajaran saya. Apalagi kalau dia melihat berita-berita di teve tentang pola tingkah laku para opotunis kekuasaan (dibilang oportunis yah karena tidak pernah merasakan perjuangan merebut kekuasaan dari para penjajah seperti para veteran perang, bisanya cuma berkoar-koar dengan alasan meneruskan kemerdekaan sambil uncang-uncang kaki dengan sedikit menguap). Tapi tentu tidak banyak, karena saya juga yakin kalau di rumah para veteran itu tidak ada teve, paling bagus juga teve hitam-putih yang di atasnya tergantung sebuah medali lusuh dan piagam berpigura kayu di sampingnya.

Seperti anak-anak di Taman Kanak-Kanak (TK) saja. Sorry lagi Gus diulang. Yah, tapi kayaknya itu yang pantas disandang para pemegang kuasa, entah sang eksekusi atau sang legislasi, di negeri ini. Gara-gara sebuah istilah yang kini sudah mulai populer, INTERPELASI. Dibilang populer karena istilah itu memang ada dalam kamus istilah populer kepunyaan saya di kosan, “sorry guyon”. Tapi, coba aja tanya tukang becak yang mangkal di pinggir perempatan jalan dekat rumah saya, wah interpelasi itu sudah sangat dikenal oleh mereka. Jawaban mereka sih agak ngawur, “interpelasi itu kan alat perekat yah??” Malah ada yang jawab lebih ngawur, “wah enak tuh kalau dibuat sambal, terus pake lalapan tambah ketimun, waduh pasti nikmat bener tuh…”

Tapi paling tidak mereka berani menjawab dengan santai, ngga’ pakai diwakilkan sama orang lain untuk sekedar menjawab pertanyaan saya. Tapi saya senang ko’ dengan jawaban mereka walaupun jelas saya sangat-sangat tidak puas. Wong intinya tuh mereka mau jawab pertanyaan saya, soalnya kan pasti kesal kalau pertanyaan kita ngga dijawab, kalau bahasa gaulnya sih, dikacangin (dicuekin). Tapi, sebenarnya itu cuma basa-basi saya sama akang becak biar lebih akrab aja. Bener ko’ ngga ada maksud apa-apa, apalagi demi kepentingan atau jebakan.

Namun kalau saya pikir-pikir lagi, kelewat bener saya menuntut jawaban dari mereka. Padahal saya yakin masih banyak masalah yang dihadapi keluarganya si akang becak yang kelaparan menunggu ayahnya pulang membawa paling tidak 5000 perak untuk ngebulin asap dapur.

Ups, maaf saya ngelantur. Balik lagi ke lap….top, itu sih kata si tukul. Maksud saya kita kembali lagi ke inti permasalahan. Tapi inti permasalahannya apa yah? waduh saya lupa. Memang anak muda sekarang banyak lupanya, mungkin terlalu banyak masalahnya kali yah? betul juga sih kata teman saya kemarin, yang juga pemuda, kalau memang negeri kita ini pantas disebut dengan negeri 1001 masalah.

Tapi menurut saya, sebenarnya sih cuma satu masalahnya, tapi yang seribu sengaja dibesar-besarkan. Kan orang-orang di negeri kita, kebanyakan, suka sama yang besar-besar, apalagi kalau sudah ngomongin dadanya cewek, ups sorry, wah harus ada batasan umur nih kayaknya untuk yang ingin membaca tulisan ini. PERHATIAN : tulisan ini untuk merasa yang sudah dewasa saja. Tuh, peraturannya saja ngga jelas, katanya batasan umur, ko malah dewasa atau tidak.

Balik lagi ke Interpelasi atau hak bertanya. Sebenarnya inti tulisan saya ini cuma mau sedikit kasih masukan. Tapi saya ngga mau to the point langsung. Kan anak-anak TK sekarang sudah pintar-pintar.

Saya ingin kasih sepenggal lirik syair Iwan Fals yang berjudul Jangan Bicara, penyanyi kesukaan atasan saya, tapi kayaknya saya sudah mulai terpengaruh olehnya untuk sekedar mendengar lagu-lagunya yang marjinalis-kritis-sosialis-politis-proletaris, tapi tidak semuanya saya suka sih lagu-lagunya, apalagi sepertinya dengan kemapanannya sekarang, lagu-lagunya sudah hampir, sudah hampir loh saya bilang, kehilangan “keikhlasannya”. Tapi mudah-mudahan ini cuma prasangka kosong. Ups saya lupa sama atasan saya. Maafin saya ya Pak. Loh, sorry, ko saya jadi ngomongin Iwan Falsnya.

Anak-anak TK, eh maaf, tulisan ini kan untuk kalangan dewasa aja yah, tapi kalau masih kecil tapi sudah merasa dewasa juga ngga apa-apa deh, nih penggalan liriknya :

Lihat di sana, si Urip meratap di teras marmer direktur murtad,
Lihat di sana, si Icih sedih diranjang empuk waktu majikannya menindih,
Lihat di sana, parade penganggur yang nampak murung di tepi kubur,
Lihat di sana, antrian pencuri yang timbul sebab nasinya dicuri….

Untuk yang ngoceh-ngoceh masalah Interpelasi. Kalau mau denger lagunya silahkan hubungi saya, bukan bajakan ko’, cuma meng-convert dengan maksud mengecilkan ukuran besar lagunya yang semula extentionnya .cda punya teman saya menjadi .MP3.

Tapi saya yakin kalau lagu “bajakan”nya ini sampai pada para penguasa negeri ini, dan alasan ga penting sih : semakin mempopulerkan nama Iwan Fals sendiri, pasti Iwan Falsnya senang dan ikhlas. Bukannya kita harus husnuzhan sama orang? Dan yang pasti Iwan Fals itu bernyanyi membela wong cilik. Masa lagu untuk kepentingan wong cilik dikapitalize dengan bandrol seharga beras 3 liter? Ah ngawur lagi saya, maklum anak muda.

Sebelum menutup tulisan ini, saya terlebih dahulu mau minta maaf kepada Gus Dur, yang kata-katanya sudah saya pinjam tanpa izin. Juga maaf sama Kang Becak di perempatan jalan dekat kosan saya, yang secara tidak sopan telah bertanya istilah yang ga jelas. Lalu maaf juga sama para veteran perang pembela sesungguhnya kemerdekaan namun tak pernah dihargai perjuangannya. Dan tak lupa pula permintaan maaf kepada atasan saya sebagai OI dan juga Iwan Falsnya yang sudah saya bajak lagunya. Tapi mas Iwan, saya ikut mendoakan, semoga para pembajak lagu sampeyan ikut semakin moralis-kritis menjalani dan menghadapi kehidupan di negeri yang telah berumur kepala enam ini sesuai dengan tujuan lagunya.

Terakhir, untuk para penguasa yang sedang menjadi korban istilah populer yang ada dalam kamus dengan cover warna biru di kosan saya, INTERPELASI, cobalah, lihat di sana………

Betawi dan Sebuah Pencitraan

Ketika saya sedang membuka kotak pos elektronik saya, kemarin siang, saya mendapati satu e-mail dari teman masa kecil saya. Mohammad Anwar, namanya, yang ternyata lebih memilih hidup dan bekerja di Lampung dari pada mengadu nasib di Jakarta yang sangat keras persaingannya. Dia adalah jebolan Ekonomi Manajemen - Universitas Negeri Lampung. Isi e-mailnya cukup panjang.

Ini e-mailnya :

Assalamu’alaikum…..
Apa kabar, id? Terus juga, gimana kabar keluaga di rumah? Mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah SWT. yah.

Id, langsung aja yah. Ada apa dengan Jakarta sekarang ini, Id? Kemarin saya baca surat kabar, dan saya menemukan beberapa konflik. Konflik yang pertama adalah masalah perseteruan tanah di Meruya Selatan-Jakarta Barat. Itu kan dekat sekali dengan kampung kita, Id. Banyak juga teman-teman kita semasa Sekolah Dasar yang tingal di sana. Bagaimana nasib mereka, keluarga mereka, tetangga-tetangga mereka?

Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa PT Portanigra memiliki hak atas tanah seluas 43,9 hektar, saya cuma agak khawatir dengan rencana eksekusi yang mau dilakukan. Bukannya di sana ada beberapa Sekolah Dasar dan satu gedung SMP. Itu yang saya pikirkan, Id. Apakah tega pihak PT Portanigra mengeksekusi rumah-rumah pembentuk karakter anak bangsa, sekolah-sekolah itu, yang justru sekarang ini, di semua sudut negeri ini, hampir sudah tidak diperhatikan lagi bangunan-bangunannya oleh negara. Tapi, Id. Terlepas jadi atau tidaknya eksekusi di sana, tolong sampaikan salam saya, tentunya dengan doa saya dari sini, kepada teman-teman kita yang berada di sana.

Id, dalam Surat Kabar itu saya juga mendapat informasi tentang konflik, yang menurut saya sangat memalukan, sesama ormas betawi di Kebayoran Lama. Kenapa saya katakan sangat memalukan? Karena saya sebagai orang betawi sangat merasakan dampaknya secara tidak langsung di kota tempat saya tinggal. Id. Asal kamu tahu, masih banyak sekali orang-orang menilai sesuatu dengan cara men-generalisir sebuah masalah. Jadi citra betawi pasti jatuh akibat dari ketidak-becusan para pemipin ormas-ormas Betawi itu dalam memberikan sebuah pengertian kepada para anggotanya, yang tentunya adalah masyarakat Betawi sendiri.

Saya pernah membaca bukunya Alwi Shahab. Masyarakat Betawi yang membacaya pasti akan merasa bangga menjadi warga Betawi. Alwi Shahab mengatakan pada salah satu essai-nya, bahwa Orang Betawi itu bukannya preman tapi jagoan. Preman sama jagoan itu berbeda sekali, Id.

Jagoan lebih cenderung membela, yah membela, sebuah ketidak-mapanan, membantu segala macam kelemahan, dan menegakkan sesuatu yang salah atau ketidak adilan menjadi sebuah kebenaran atau keadilan. Namun preman penilaiannya sangat negatif. Preman adalah orang-orang, yang kata orang betawi sih, “semaunye gue aje”. Namun menurut saya, sebenarnya preman terbentuk dari yang namannya ketidak-becusan suatu negara dalam menata negaranya. Jiwa preman itu bisa muncul karena kemiskinan, karena terlalu jauhnya, malah terasa makin jauh sekarang ini, gap atau kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya, dan yang pasti preman dapat terjadi karena memang orangnya kurang terpelajar. Preman adalah orang-orang yang tidak dapat menerima kecacatan yang ada. Yah, karena pemerintah negara kita banyak cacatnya dalam menjalani tugasnya, jadinya muncul preman-preman.

Tapi itu bukan pembelaan saya terhadap orang Betawi yang suka berkonflik. Cuma, tulisan Alwi Shahab itu jadi salah dengan sendirinya. Ternyata tidak semua masyarakat Betawi mempunyai jiwa menjadi jagoan, malah sekarang cenderung banyak premannya.

Sekarang tinggal bagaimana masyarakat Betawi, terutama masyarakat Betawi yang lebih beruntung bisa mengecap bangku pendidikan yang tinggi untuk memberikan sebuah citra yang baik, kalau tidak untuk ditunjukan kepada masyarakat daerah lain, paling tidak kepada masyarakat Betawi sendiri yang kurang beruntung dalam hal pendidikan. Supaya mereka lebih semangat dalam meraih cita-cita. Dan akhirnya Alwi Shahab tersenyum kembali, karena memang tulisannya benar adanya bahwa masyarakat Betawi adalah Masyarakat jagoan yang selalu membela kebenaran dan menegakkan keadilan di setiap ketidak-adilan, bukannya menjadi preman yang selalu membuat konflik di sana-sini.

Mudah-mudahan kita juga dapat memberikan kontribusi untuk masyarkat Betawi, Id. Walaupun bukan sesuatu yang besar, yang kecil pun tidak apa-apa. Tetap santun, tetap baik, tetap mudah menolong, dan yang pasti tetap ingat Allah. Itu sebuah citra juga, Id!

Sudah dulu, Id.

Wassalam.

E-mail itu saya baca dengan nada berat. Waw! Pikiran saya langsung manyambutnya. Saya yang berada dekat sekali dengan Jakarta, hampir tidak pernah memikirkan tentang sebuah citra masyarakat Betawi. Sedangkan teman saya itu, walaupun berada jauh di seberang pulau, sangat peduli sekali dengan sebuah pencitraan Batawi. Dalam hati, saya cuma menjawab ajakanya, ”Insya Allah, Han!”