Thursday, June 14, 2007

Prinsip Etika si Jay

Malam selepas kuliah, di atas sepeda motor, teman saya, Jay, biasa saya menyapanya, tiba-tiba mengeluh sedang dilanda banyaknya polemik yang sedang dipikirkan. “Pikiranku lagi penuh kontroversi nih, Id”. Si Jay, teman saya itu, memang termasuk orang yang pandai dan idealis dalam memegang prinsip. Walaupun kadang-kadang ke-idealisan atas prinsip-prinsipnya itu tidak populer oleh masyarakat kebanyakan. Tapi itulah dia, seorang yang selalu punya alasan atas prinsip yang ia pegang dan berani berargumen membela apa yang menjadi prinsipnya, meskipun harus melawan masyarakat kebanyakan.

“Kamu, sok-sok banyak pikiran, Jay. Yah ga usah dipikirin.” Saya yang sebenarnya tidak pernah tahu tentang apa yang menjadi pikirannya sekarang ini, mecoba untuk tidak menanggapinya. Karena saya memperkirakan, akan banyak perbincangan yang akan kita lakukan, padahal saya harus konsentrasi dalam mengendarai sepeda motor. Apalagi saya sedang memboceng teman saya yang sudah mulai tambun pasca pernikahannya tahun lalu.


“Masalahnya, saya ga bisa ngilangin pikiran ini. Karena ini adalah masalah yang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Apalagi ini adalah suatu yang sangat bertolak belakang dengan prinsip yang saya pegang dan yang seharusnya mereka lakukan sebagai konsekwensi pernyataan janji yang pernah mereka buat.”


“Mereka? Maksdumu itu siapa? Dan memang apa masalahnya?”

“Para atasan di kantor, Id”

“Masalahnya?”

“Kode etik, yang seharusnya menjadi awal merubah sistem yang kotor dan jorok, nyatanya hampir tak pernah diindahkan oleh mereka.”


Mendengar jawaban darinya, saya langsung paham apa yang sebenarnya telah mengganggu pikirannya dan menjadi kegelisahannya.


Seperti menemukan sebuah emas yang hilang, dia sangat senang sekali dan bicara uneg-unegnya serta berbagi cerita tentang masalah yang selama ini tak pernah dia bicarakan dengan orang lain.


---------------------------

Mungkin pas sekali jika idiom merubah sesuatu itu tidak semudah membalikkan telapak tangan dijadikan bandrol dari konsep perubahan sistem yang memang sudah tidak layak lagi untuk dijalani, apalagi pada dewasa ini, walaupun sebenarnya sistem itu memang “kotor” adanya sejak dulu kala, namun hampir berhasil ditutup-tutupi.

Saya hargai dengan bandrol demikian, karena memang nyatanya demikian adanya. Merubah sistem yang sudah “mendarah daging” dalam sebuah badan atau organisasi nampaknya tak semudah dengan memberikan sebuah pernyataan dalam bentuk tanda tangan di atas kertas yang bermeterai saja. Memang di dalamnya sangat jelas sekali akibat dari perbuatan yang melanggar dari setiap pencorengan etika yang dilakukan. Namun hal itu tidak pernah dapat menjamin telapak tangan kita akan mudah terbalik.


Ini adalah suatu yang ironis, karena para punggawa pembuat aturan etika kerja yang dituntut untuk menghadapi modernisasi global, adalah para pelaku-pelaku yang telah berpengalaman dalam “premanisme sistem” yang selama ini dijalani. Akibatnya suatu yang kita, mungkin sebagian orang saja, idam-idamkan akan perubahan ke arah yang lebih positif akan sangat sulit terealisasi. Dan idiom di atas tadi akan sangat benar adanya, atau malah salah sama sekali, karena telapak tangannya sebenarnya sama sekali tidak ingin dibalikkan.


Menurut saya perubahan sistem itu harus mengikuti perubahan moral seseorang. Moral dulu ditanamkan, baru perubahan sistem akan berjalan seiring dengannya. Tanpa adanya perbaikan moral, perubahan yang telah dilakukan sampai sekarang ini, ibarat mengharapkan bulan bersinar di siang hari.


Lalu dengan cara apa melakukan perbaikan moral seseorang? Mungkin bisa dengan Shock Theraphy, melalui Law Enforcement. Menurut saya, penegakkan hukum adalah jalan terbaik untuk membina mental dan moral para pelaku kerja yang sudah terbiasa, bahkan telah menjadikannya sebagai budaya atau tradisi, dengan pelanggaran-pelanggaran etika yang selama ini mereka lakukan. Dengan hukum atau ancaman dari setiap pelanggaran itu ditegakkan secara sungguh-sungguh, saya yakin sistem baru yang diidam-idamkan oleh sebagian orang akan sangat mudah dilaksanakan. Di sini masalahnya adalah, kita mau atau tidak untuk melakukan perubahan yang selama ini telah menjadi jalan kita. Perubahan ke arah yang lebih positif tentunya.

----------------

Di atas motor saya, dia banyak bercerita tentang pelanggaran-pelanggaran etika yang, menurutnya, selama ini dilakukan oleh teman-temannya atau para atasan di kantornya. Tapi itu semua hanya penyaluran uneg-uneg dan sekedar berbagi cerita dan pendapat antara dia dan saya, karena pada dasarnya dia sadar, ke-idealisme-annya yang notabene hanyalah seorang pelaku kerja dengan golongan paling rendah di tempat kerja, tidak akan memberikan suatu perubahan yang signifikan.

“Saya memang hampir tidak memiliki kapasitas untuk menularkan idealisme saya terhadap mereka, Id. Namun jika saya diberi kesempatan untuk memberikan suara, saya akan suarakan pendapat saya sesuai prinsip yang saya pegang. Atau kalau memang memungkinkan, saya ingin pindah saja ke tempat lain.” Teman saya itu meledak-ledak memberikan opiniya.


“Pindah?”

“Yah, karena, mungkin hanya itu bentuk protes yang bisa saya lakukan, Id”

No comments: