Wednesday, June 6, 2007

Interpelasi, Gus Dur, Akang Becak, Veteran Perang, Iwan Fals, dan Atasan Saya

Seperti anak-anak di Taman Kanak-Kanak (TK) saja. Untuk Gus Dur yang terhormat, sorry kata-katanya saya pinjam untuk sekedar merefleksikan sebuah lelucon konyol para punggawa pemegang kuasa di negeri endonesah ini. Eh, Endonesah atau Indonesia yah? Waduh saya sudah lupa sama nama negeri saya sendiri. Benar kata-kata sang veteran, di acaranya Kick Andy, anak muda sekarang memang banyak yang kurang ajar, wong sama nama negeri sendiri saja lupa. Ah, berarti saya harus banyak-banyak minta maaf sama para veteran nih, “maklumin kami ya Ki” (panggilan untuk para veteran yang memang sudah aki-aki – Tua, tapi perjuangannya pasti tak pernah menjadi aki-aki).

Tapi saya sedikit yakin kalau para veteran itu juga bisa maklum dengan kekurang-ajaran saya. Apalagi kalau dia melihat berita-berita di teve tentang pola tingkah laku para opotunis kekuasaan (dibilang oportunis yah karena tidak pernah merasakan perjuangan merebut kekuasaan dari para penjajah seperti para veteran perang, bisanya cuma berkoar-koar dengan alasan meneruskan kemerdekaan sambil uncang-uncang kaki dengan sedikit menguap). Tapi tentu tidak banyak, karena saya juga yakin kalau di rumah para veteran itu tidak ada teve, paling bagus juga teve hitam-putih yang di atasnya tergantung sebuah medali lusuh dan piagam berpigura kayu di sampingnya.

Seperti anak-anak di Taman Kanak-Kanak (TK) saja. Sorry lagi Gus diulang. Yah, tapi kayaknya itu yang pantas disandang para pemegang kuasa, entah sang eksekusi atau sang legislasi, di negeri ini. Gara-gara sebuah istilah yang kini sudah mulai populer, INTERPELASI. Dibilang populer karena istilah itu memang ada dalam kamus istilah populer kepunyaan saya di kosan, “sorry guyon”. Tapi, coba aja tanya tukang becak yang mangkal di pinggir perempatan jalan dekat rumah saya, wah interpelasi itu sudah sangat dikenal oleh mereka. Jawaban mereka sih agak ngawur, “interpelasi itu kan alat perekat yah??” Malah ada yang jawab lebih ngawur, “wah enak tuh kalau dibuat sambal, terus pake lalapan tambah ketimun, waduh pasti nikmat bener tuh…”

Tapi paling tidak mereka berani menjawab dengan santai, ngga’ pakai diwakilkan sama orang lain untuk sekedar menjawab pertanyaan saya. Tapi saya senang ko’ dengan jawaban mereka walaupun jelas saya sangat-sangat tidak puas. Wong intinya tuh mereka mau jawab pertanyaan saya, soalnya kan pasti kesal kalau pertanyaan kita ngga dijawab, kalau bahasa gaulnya sih, dikacangin (dicuekin). Tapi, sebenarnya itu cuma basa-basi saya sama akang becak biar lebih akrab aja. Bener ko’ ngga ada maksud apa-apa, apalagi demi kepentingan atau jebakan.

Namun kalau saya pikir-pikir lagi, kelewat bener saya menuntut jawaban dari mereka. Padahal saya yakin masih banyak masalah yang dihadapi keluarganya si akang becak yang kelaparan menunggu ayahnya pulang membawa paling tidak 5000 perak untuk ngebulin asap dapur.

Ups, maaf saya ngelantur. Balik lagi ke lap….top, itu sih kata si tukul. Maksud saya kita kembali lagi ke inti permasalahan. Tapi inti permasalahannya apa yah? waduh saya lupa. Memang anak muda sekarang banyak lupanya, mungkin terlalu banyak masalahnya kali yah? betul juga sih kata teman saya kemarin, yang juga pemuda, kalau memang negeri kita ini pantas disebut dengan negeri 1001 masalah.

Tapi menurut saya, sebenarnya sih cuma satu masalahnya, tapi yang seribu sengaja dibesar-besarkan. Kan orang-orang di negeri kita, kebanyakan, suka sama yang besar-besar, apalagi kalau sudah ngomongin dadanya cewek, ups sorry, wah harus ada batasan umur nih kayaknya untuk yang ingin membaca tulisan ini. PERHATIAN : tulisan ini untuk merasa yang sudah dewasa saja. Tuh, peraturannya saja ngga jelas, katanya batasan umur, ko malah dewasa atau tidak.

Balik lagi ke Interpelasi atau hak bertanya. Sebenarnya inti tulisan saya ini cuma mau sedikit kasih masukan. Tapi saya ngga mau to the point langsung. Kan anak-anak TK sekarang sudah pintar-pintar.

Saya ingin kasih sepenggal lirik syair Iwan Fals yang berjudul Jangan Bicara, penyanyi kesukaan atasan saya, tapi kayaknya saya sudah mulai terpengaruh olehnya untuk sekedar mendengar lagu-lagunya yang marjinalis-kritis-sosialis-politis-proletaris, tapi tidak semuanya saya suka sih lagu-lagunya, apalagi sepertinya dengan kemapanannya sekarang, lagu-lagunya sudah hampir, sudah hampir loh saya bilang, kehilangan “keikhlasannya”. Tapi mudah-mudahan ini cuma prasangka kosong. Ups saya lupa sama atasan saya. Maafin saya ya Pak. Loh, sorry, ko saya jadi ngomongin Iwan Falsnya.

Anak-anak TK, eh maaf, tulisan ini kan untuk kalangan dewasa aja yah, tapi kalau masih kecil tapi sudah merasa dewasa juga ngga apa-apa deh, nih penggalan liriknya :

Lihat di sana, si Urip meratap di teras marmer direktur murtad,
Lihat di sana, si Icih sedih diranjang empuk waktu majikannya menindih,
Lihat di sana, parade penganggur yang nampak murung di tepi kubur,
Lihat di sana, antrian pencuri yang timbul sebab nasinya dicuri….

Untuk yang ngoceh-ngoceh masalah Interpelasi. Kalau mau denger lagunya silahkan hubungi saya, bukan bajakan ko’, cuma meng-convert dengan maksud mengecilkan ukuran besar lagunya yang semula extentionnya .cda punya teman saya menjadi .MP3.

Tapi saya yakin kalau lagu “bajakan”nya ini sampai pada para penguasa negeri ini, dan alasan ga penting sih : semakin mempopulerkan nama Iwan Fals sendiri, pasti Iwan Falsnya senang dan ikhlas. Bukannya kita harus husnuzhan sama orang? Dan yang pasti Iwan Fals itu bernyanyi membela wong cilik. Masa lagu untuk kepentingan wong cilik dikapitalize dengan bandrol seharga beras 3 liter? Ah ngawur lagi saya, maklum anak muda.

Sebelum menutup tulisan ini, saya terlebih dahulu mau minta maaf kepada Gus Dur, yang kata-katanya sudah saya pinjam tanpa izin. Juga maaf sama Kang Becak di perempatan jalan dekat kosan saya, yang secara tidak sopan telah bertanya istilah yang ga jelas. Lalu maaf juga sama para veteran perang pembela sesungguhnya kemerdekaan namun tak pernah dihargai perjuangannya. Dan tak lupa pula permintaan maaf kepada atasan saya sebagai OI dan juga Iwan Falsnya yang sudah saya bajak lagunya. Tapi mas Iwan, saya ikut mendoakan, semoga para pembajak lagu sampeyan ikut semakin moralis-kritis menjalani dan menghadapi kehidupan di negeri yang telah berumur kepala enam ini sesuai dengan tujuan lagunya.

Terakhir, untuk para penguasa yang sedang menjadi korban istilah populer yang ada dalam kamus dengan cover warna biru di kosan saya, INTERPELASI, cobalah, lihat di sana………

No comments: