Monday, January 28, 2008

Selamat Jalan Pak Harto…

Akhirnya kita, rakyat Indonesia, berkabung – bagi yang merasa berkabung. Innalillahi Wa Innailaihi Raaji’uun. Tanggal 27 Januari 2008, tepat pukul 13.10 WIB, menjadi hari yang sangat bersejarah. Mudah-mudahan semua amal kebaikannya menjadi pengawal bagi kehidupannya yang abadi kelak. Amin.

Saat menulis, saya sengaja sambil mendengar radio yang sedang membahas tentang kematian mantan presiden Soeharto, dan saya sedikit terenyuh. Bagaimana saya tidak merasa terenyuh, ketika penyiar radio tersebut membacakan beberapa pesan singkat dari para pendengarnya. Banyak yang ikut berduka, tetapi lebih banyak lagi yang menyatakan kebenciannya. Lalu muncul pertanyaan dalam benak saya, Bagaimanakah seharusnya kita menyikapinya?


Sebagai manusia memang kita mesti mempunyai pandangan subyektif. Ketika saya bertanya kepada hati saya, ada jawaban subyektif yang menjawabya. Saya lebih memilih memaafkannya. Jawaban subyektif itu muncul tentunya tidak begitu saja muncul. Ada beberapa pandangan yang bersifat moral-religi-humanis sebagai nafasnya. Ketika saya memandang hukum, yang sejatinya hanya menjadi perangkat dalam menegakkan kebenaran, tidak bisa ditegakkan, saya lebih memilih perangkat lain. Perangkat itu adalah kemanusiaan.

Walau dikesempatan lain saya setuju dengan pendapat Cak Nun yang menyatakan bahwa dalam menegakkan kebenaran, sejatinya, tidak bisa dengan Cinta, yang memiliki kesan subyektif. Namun penegakan kebenaran seharusnya dengan objektivitas, bukti-bukti, dan tentu saja perangkat hukum. Tapi, sayang sekali, sering kali hukum dikalahkan oleh Subyekivitas, lebih-lebih jika hukum itu tidak pernah ditegakkan.

Jawaban subjektif saya tentu saja didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman saya tentang kehidupan mantan presiden Soeharto. Apalagi dengan kenyataan sekarang ini yang saya rasakan tidak pernah se-sejahtera rakyat miskin di zaman Soeharto. Banyak prestasi yang ia dapatkan atas semua kebijakan dan keputusan beliau, walau sebagian masyarakat menganggap semua itu adalah suatu kebijakan dan keputusan diktatoris atau otoritatoris. Tapi tentu saja, sebagai manusia, beliau memiliki kesalahan dan kekurangan. Tentu yang paling kita sadari adalah kesalahan atau pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang sampai sekarang ini masih saja dituntut kejelasan hukumnya dari keluarga dan kerabat para korban, namun belum berhasil.

Terlepas dari keharusan kita untuk memaafkannya atau tidak memaafkannya, karena itu adalah hak masing-masing orang, Di sebuah stasiun TV ada sebuah wawancara dengan seorang ibu bernama “Bu Siti”. Ibu Siti adalah seorang yang berasal dari purwokerto. Ketika dia ditanya tujuannya datang ke Jakarta, ia menjawab, bahwa ia ingin sekali menjenguk Mantan Presiden Soeharto yang sedang dirawat di RSPP, walau setelah itu ia juga ingin kerumah saudaranya. Namun ketika ia datang ke RSPP untuk menjenguk atau melihat suasana di sana, dia hanya mendengar bahwa Pak Harto telah meninggal dan telah dipulangkan ke Cendana. Lalu dengan niat yang mantap, berbeda dengan niat semula yang hanya ingin menjenguk, beliau langsung pergi ke Cendana untuk melayat.

Ketika ia ditanya kesan-kesan masa kepemimpinan Pak Harto ia menjawab bahwa saat Pak Harto memimpin yang ia tahu adalah bahwa Pak Harto itu sangat peduli dengan rakyat miskin. Wajar saja jawaban dari Ibu Siti yang memang dari kalangan orang kecil juga. Lalu ia lanjutkan jawabannya dengan menyatakan bahwa sebagai orang kecil yang ia tahu adalah murah beli beras, beli tempe tidak mahal, atau beli minyak tidak mengantri. Dia menambahkan bahwa hal itu berbeda sekali dengan sekarang yang tempe sudah sangat mahal, beras banyak yang oplosan dan mahal, serta minyak sudah jarang sekali sehingga seringkali untuk mendapatkannya harus antri beberapa jam. Tapi itu hanya sebuah dialog kecil dengan salah satu orang kecil.

Tapi saya juga tidak akan pernah mengenyampingkan orang-orang yang pernah menjadi korban atau salah satu keluarganya atau saudaranya yang pernah jadi korban rezim Orde Baru. Saya yakin pendapat mereka sangat bertolak belakang dari pendapat Ibu Siti.

Saat ini yang saya yakini adalah bahwa kesalahan ini bersifat kolektif. Kesalahan tidak semata-mata milik Pak Harto. Kesalahan adalah milik bersama, milik bangasa Indonesia yang selama 32 tahun tidak berani menentang dan membiarkan setiap kebijakan dan tindakan negatif Pak Harto. Walau saya tahu bahwa sangat berat tantangannya saat itu jika kita berani bersuara dan bilang “tidak” atas tindakan Soeharto.

Saya memaafkan beliau, tapi saya tidak memaksakan yang lain untuk memaafkannya. Kalau memang harus diselesaikan secara hukum, ya monggo. Karena saya tahu pengalaman dan pengetahuan kita berbeda. Wajar saja kalau tindakan kita berbeda. Yang penting kita bisa ambil pelajaran dari peristiwa ini. Itu yang penting.

Tapi sudahlah. Soeharto telah tutup usia. Sekarang marilah kita mengambil pelajaran dari kejadian ini. Bahwa kita seharusnya tidak mencintai seseorang dengan sangat mencintai, bahkan sampai mengkultuskan, dan juga tidak membenci seseorang dengan sangat membencinya. Kesalahan ini terbukti dengan menjabatnya Soeharto selama 32 tahun menjadi Presiden Ri dan ketika ia diturunkan dari singgasana kepemimpinan hingga wafatnya.

Sekarang, Kita harus berubah. Karena zaman akan terus berubah. Dan semua pendapat juga akan terus berubah. Karena yang tidak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.

Aliran (sesat)

Seorang yang sudah saya anggap seperi orang tua saya sendiri suatu saat datang menghampiri saya. Dari mulutnya saya mendengar sebuah pertanyaan yang sangat tidak terduga. Dia menanyakan tentang bagaimana menyikapi terhadap banyaknya aliran-aliran yang muncul saat ini. Dia merasa tidak nyaman dengan peristiwa ini. Pertanyaan yang sebenarnya juga pernah mengusik ketenangan dalam diri saya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sekarang ini banyak sekali aliran-aliran yang bermunculan. Dari alilran yang menganggap suci kalangannya sendiri sampai aliran yang mengatakan ada nabi terakhir setelah nabi Muhammad. Dan aliran-airan itu masih menganggap bahwa aliran-aliran mereka masih dalam koridor agama Islam..

Pertanyaan dari orang tua saya itu memang sangat diwajarkan. Namun saya mengerti bahwa orang tua saya itu merasa tidak nyaman bukan dengan munculnya aliran-aliran itu -walaupun munculnya aliran-aliran itu juga harus menjadi koreksi bagi keberagamaan kita-, tetapi dengan banyaknya reaktif yang berlebihan dari masyarakat islam. Beliau tidak merasa nyaman dengan adaya kekerasan dan pertengkaran antar muslim akibat terciptanya perbedaan.

Pertanyaan itu memang harus kita pikirkan. Dan memang seharusnya membuat kita tidak merasa nyaman. Kalau saja yang bertengkar itu pernah menghayati sebuah hadis yang memiliki isi bahwa sayangilah saudaramu sepeti kamu menyayangi dirimu sendiri, pertengkaran dan keonaran seharusnya tidak pernah terjadi. Namun sayang yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka masih sangat menyayangi diri dan golongan mereka sendiri dari pada harus berbagi kasih sayang dengan yang lain. Dalam kaitannya di sini, kita jangan mengartikan Saudara itu hanya teman seliran atau seagama, namun lebih dari itu. Kita hidup di dunia ini semuanya bersaudara.

Apakah ibadah vertikal atau ibadah horizontal kita menjadi terganggu dengan adanya alliran-alliran itu. Disaat dia tidak mengganggu kegiatan shalat kita, puasa kita, atau malah ikut bergotong royong membangun sebuah rumah ibadah atau jembatan, apa yang dapat membuat kita merasa tidak nyaman dengan munculnya aliran-aliran itu. Rasa tidak nyaman itu yang menurut saya adalah reaktif yang berlebihan.

Allah saja pernah berkata bahwa Dia memang menghendaki adanya perbedaan di dunia ini. Mengapa kita tidak ridho, dan malah melawan, atas kehendak Allah. Seharusnya kita yakin bahwa perbedaan itu adalah semata-mata untuk fastabiqul khoiraat atau suatu ajang lomba dalam memperbanyak kebaikan-kebaikan. Sikap inilah yang seharusnya ditonjolkan, bukan sikap fastabiqul sayyiat (istilah penulis sendiri) atau berlomba-lomba untuk saling mengkasari dan saling memfatwakan sesat atas aliran yang lain.

Saya sempat menjawab pada orang tua saya bahwa yang penting itu Quu Anfusakum Wa Ahliikum Naaro atau menjaga diri kita dan keluarga kita untuk selalu berada dalam jalan yang kita anggap adalah yang terbaik dan benar. Maksudnya adalah seharusnya kita rajin-rajn membentengi aqidah dan keyakinan kita serta anak-anak dan saudara kita dengan ajaran-ajaran quran dan hadis yang kita anggap terbaik dan benar. Kita tidak perlu merasa tidak nyaman dengan adanya aliran diluar kepercayaan kita.

Yang penting itu adalah penanaman aqidah dan kepercayaan dari internal pribadi dan internal lingkungan terdekat. Dengan bekal itu, banyaknya aliran yang muncul dengan berbagai cara “merketing”-nya tidak akan membuat kita merasa terganggu karena aqidah kita dan keluarga kita telah terbentengi. Bahkan kita bisa lebih bijak lagi dalam menyikapi perbedan yang ada.

Tapi saya tidak memungkiri dan melarang orang lain, juga kepada orang tua saya, untuk merasa tidak nyaman dengan banyaknya aliran-aliran yang muncul atau dengan sikap kasar antar muslim sendiri. Hidup itu adalah pilihan. Tergantung mana atau apa yang kita pilih. Yang pasti atau seharusnya adalah kita selalu merasa tenang dalam beragama. Karena tenang dalam beragama akan membawa kita pada pengenalan arti hidup yang sejati.

Haji: Gelar dan Amanah

Suasana mendadak berubah. Sepi tak lagi terlihat. Semua dikejutkan oleh dentuman. Dentuman petasan berantai. Dar, dar, dar. Semuanya menyunggingkan senyum. Tidak ada rasa takut. Dentuman petasan itu tidak membuat masyarakat khawatir, namun sebaliknya. Semua merasa senang dan bahagia. Dentuman petasan itu memang tidak berbahaya. Petasan itu hanya sebuah tanda. Sebuah pertanda kebahagiaan. Suatu sambutan atas datangnya seorang yang istimewa. Seorang tokoh masyarakat, seorang ayah dari anak-anaknya dan juga seorang paman dari para keponakannya baru saja kembali dari tanah suci.

Keluarga saling menebar senyum. Semuanya merasakan kebahagian. Tak terkecuali saya. Semua terasa menyatu. Menyatu dalam sebuah ekstasi. Kebahagian yang teramat sangat karena terpenuhinya nafsu rindu. Peluk mesra menjadi tontonan biasa dengan dibubuhi ciuman rasa sayang. Ciuman pipi kanan dan kiri. Bahkan air mata yang menjadi identitas kesedihan bercampur baur mengiringi kebahagiaan yang teramat sangat.

Senda gurau dan tawa mesra yang sempat hilang kembali lahir. Cerita-cerita mulai diorasikan dengan balutan canda. Semuanya dahaga akan cerita-cerita yang akan keluar. Semuanya mengharapkan keberkahan. Semuanya ingin berbaur dan merasakan kebahagian. Semuanya tak ingin hanya melihat. Mereka ingin memegang. Mereka ingin memeluk. Bahkan mereka ingin mencium. Semuanya ingin merasakan kebahagiaan dalam sebuah pesta penyambutan seorang ulama kampung, seorang ayah, dan juga seorang paman yang kembali ke tanah kelahiran dari tanah haram dengan raga sehat dan telah lama mereka rindukan.

Sekarang namanya telah berubah. Bertambah, tepatnya. Ada satu kata yang mulai disematkan pada setiap penulisan namanya. Gelar “HAJI”. Paling tidak itu yang membuat perbedaan setelah ia pulang dari tanah haram. Semuanya hampir terlihat tidak berubah. Wajahnya masih seperti dahulu. Senyumnya tak kehilangan manisnya. Perawakannya yang kecil juga tidak bertambah tinggi. Suaranya masih saja berat dan merdu. Matanya tidak kehilangan cahaya kasih sayang. Hanya ada sedikit yang berbeda ketika memandang rambutnya dan jenggotnya yang hampir habis terpangkas. Selain itu semuanya sama. Tidak berubah.

Namun semua itu hanya sebuah perayaan. Itu baru permulaan. Ada yang terpenting dari itu semua. Dan itu tidak semudah penyematan gelar haji yang kini akan terus mendampingi namanya. Haji, bukan saja sebuah gelar, ia adalah sebuah amanah yang harus diemban dan dipertanggungjawabkan. Haji, bukan saja bagai sebuah mesin cuci yang ketika telah selesai kita merasa suci dan bersih seperti bayi, namun ia adalah sebuah awal untuk menyucikan diri dari kotoran-kotoran yang dulu pernah ada.

Selamat atas hajinya*. Semoga ibadah hajinya tidak hanya diterima (mabrur) oleh Allah, namun lebih dari itu. Yaitu menjadi seorang yang mampu peduli terhadap orang lain. Menjadi orang yang peka terhadap kesusahan tetangganya dan lingkungannya. Senantiasa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Karena haji adalah penyempurna keislaman, maka secara tidak langsung ibadah itu juga menginginkan kedewasaan dan kebajikan kita menjadi sempurna. Sekarang ini yang dibutuhkan negeri ini adalah orang-orang kecil yang berlaku baik.

*Selamat untuk paman saya dan semua jemaah haji indonesia yang telah kembali.

Drama Eksistensi

Apakah ada di dunia ini kebenaran mutlak? Atau yang seharusnya dipertanyakan tidak demikian bunyinya. Apakah kita, manusia yang telah dianugerahi dengan akal, dapat menemukan kebenaran mutlak di dunia ini?

Dua pertanyaan di atas sepertinya tidak ada perbedaan. Keduanya sama-sama ingin mengatakan bahwa di dunia ini manusia bisa menemukan kebenaran mutlak. Saya jadi teringat Aristoteles dan Hegel dengan filsafat Idealismenya. Filasafat yang ingin mengatakan bahwa sesungguhnya kebenaran mutlak itu dapat diformulasikan secara sistematis melalui pencarian yang sungguh-sungguh. Aliran ini tidak ubahnya dengan apa yang diusung oleh Socrates secara umum, namun Hegel lebih kepada eksistensialis idealis. Pemikiran yang terkonsentrasi dengan eksistensi. Hegel pernah mengatakan bahwa ada roh semesta yang mendampingi para subjek atau manusia dikehidupan ini. Roh semesta yang, mungkin, ingin disampaikan olehnya adalah sebentuk kebenaran mutlak. Dan manusia atau subjek-subjek dengan akalnya suatu saat nanti, seharusnya, dapat menemukan dan memformulasikan secara sistematis kebenaran mutlak itu. Wajarlah jika akhirnya Hegel dikatakan sebagai pembawa aliran filsafat Idealis. Karena hal itu menunjukkan bahwa ia menginginkan adanya idealisasi pada manusia dalam menjalani hidup.

Tapi sepertinya Hegel sedang bermimpi. Keinginan ia dengan idealismenya memang sangat brilian. Tetapi bagaimana jika ia ditanya dengan, bagaimana memformulasikan kesedihan, putus asa, patah hati, kebahagian, atau jatuh cinta? Apakah itu semua bisa diformulasikan secara sistematis atau didefinisikan? Apakah sama definisi jatuh cinta yang Dewi rasakan kepada Rudi dengan yang dirasakan Rani kepada Rudi? Saya yakin definisi mereka berbeda walaupun pada dasarnya jatuh cinta itu adalah suatu kebahagiaan. Namun tak jarang pula jatuh cinta itu menjadi sebuah racun bagi sang pencinta.

Saya mungkin lebih tertarik untuk mengatakan bahwa manusia menilai suatu kebenaran berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah ia dapatkan. Dalam kata lain, saya ingin mengatakan bahwa, kebenaran objektif atau kebenaran mutlak seperti yang dikatakan Hegel, itu tidak akan bisa diraih apalagi diformulasikan dengan sistematis di kehidupan dunia ini. Yang ada adalah kebenaran subjektif. Mungkin yang seharusnya dikatakan adalah bahwa manusia seharusnya, dengan akalnya, membuat komitmen dan menjaga konsistensi dengan kebenaran-menurutnya. Kebenaran-menurutnya di sini adalah suatu penilaian atas pengalaman-pengalaman atau budaya yang telah ia dapatkan atau mungkin sedang dijalani. Dan ini yang disebut dengan kebenaran subjektif.

Pada dasarnya yang diajarkan oleh Aristoteles maupun Hegel tidak seluruhnya keliru. Saya juga yakin bahwa ada Roh semesta, menurut istilah Hegel, atau Kebenaran mutlak yang mendampingi perjalanan kehidupan di dunia ini. Mereka mungkin lupa, atau mereka memang tidak tahu, bahwa ada kitab suci dalam agama-agama. Itu bukti adanya petunjuk tentang kebenaran mutlak. Namun ketika kitab suci itu berinteraksi dengan manusia, akhirnya pandangan tentang suatu kebenaran menjadi subjektif. Hal itu dikarenakan penafsiran yang berbeda atas ayat-ayat dalam kitab suci yang dilakukan oleh manusia.

Saya tertarik sekali dengan pendapat Kierkegaard, seorang filosof Kopenhagen, Denmark, bahwa manusia dalam tindakannya terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah manusia yang bertindak spontanitas (tindakan esteteis). Yang kedua adalah kelompok manusia yang betindak dengan menilai terlebih dahulu baik dan buruk (tindakan etis). Dan yang terakhir adalah manusia yang bertindak atas pertimbangan agama (tindakan relijius). Dari golongan-golongan manusia tersebut di atas, kita dapat menyimpukan bahwa penilaian atas kebenaran akan sangat berbeda adanya pada tiap subjek. Coba kita renungkan itu. Itulah drama eksistensi yang terjadi di dunia ini.

Pesta Kesombongan

Kemarin saya ikut sebuah pesta pernikahan seorang *teman masa sekolah dulu. Sebuah perayaan sederhana dengan menu ketupat sayur dan sate ayam. Namun yang hadir di sana tidak sesederhana pergelaran pestanya. Pakaian bermerek asing, kendaraan-kendaraan keluaran terbaru, kilauan-kilauan emas yang sengaja menempel dan menggantung, serta yang tak kalah pentingnya adalah ucapan-ucapan penuh kesombongan dan pamer kepintaran. Mungkin, secara tak sadar saat itu, tidak terkecuali dengan saya.


Pesta itu secara tidak langsung memang mengumpulkan teman-teman lama saya yang telah lama sekali tidak saling bertemu. Pertemuan, kata banyak orang, adalah suatu yang sangat menyenangkan. Namun tidak dengan saya. Saya begitu terbebani dengan pertemuan. Karena kita memang sudah lama tidak saling bertemu -dan ini yang sangat saya tidak suka- tanya jawab tentang segala hal, seperti pacar, pernikahan, karier, atau pekerjaan.


Ketidaksukaan saya, mungkin, karena saya sejatinya adalah orang yang tidak suka banyak bicara. Tapi, juga, saya adalah seorang yang tidak ingin membuat orang lain tidak nyaman karena saya. Akhirnya saya pun, sama dengan yang lain, menjawab atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan saya. Cerita-cerita akhirnya keluar dari mulut saya. Sampai akhirnya saya merasa seperti yang terhebat saat itu. Mungkin sama dengan teman-teman yang lain ketika bercerita. Aroma saling pamer dan kesombongan mulai tampak.


Setelah selesai pesta, saya tak kuasa mengingat-ingat apa yang telah saya ceritakan kepada teman-teman. Ingatan itu hadir karena memang pada dasarnya saya tidak suka banyak bicara dan banyak cerita. Ingatan yang pada akhirnya saya sadari seperti suatu kesombongan. Ternyata saya termasuk orang yang sombong. Kalau pamer materi mungkin kesombongan yang bisa dipahami, namun jika kesombongan dalam bentuk ucapan-ucapan membanggakan diri, atau seolah-olah membanggakan diri, adalah tingkah laku yang konyol dan tidak baik. Mungkin saat pesta itu teman-teman saya mengira bahwa saya hebat, sukses, atau luar biasa. Namun sejatinya saya adalah sebaliknya. Yang saya tahu, malam ini saya sadar dan menyadari bahwa saya tidak sehebat yang mereka kira. Saya bukan orang yang sukses seperti yang mereka kira. Atau saya bukan orang yang luar biasa seperti yang mereka lihat.


Ah, kalau saja mereka mengartikan hebat, sukses, atau luar biasa tidak dengan banyaknya materi atau tingginya jabatan, tetapi dengan sebuah keberhasilan meraih kedewasaan ruhiyah atau batin. Mereka pasti setuju dengan pendapat saya, bahwa saya masih sangat jauh dari itu semua. Dan mungkin juga mereka. Namun sangat manusiawi jika penilaian seseorang terhadap orang lain adalah karena apa yang telah ia lihat atau dengar. Terakhir, saya mau minta maaf pada Allah, kalau menurutnya pula saya adalah orang yang sombong.


*Selamat untuk Jazuli dan istri