Monday, January 28, 2008

Haji: Gelar dan Amanah

Suasana mendadak berubah. Sepi tak lagi terlihat. Semua dikejutkan oleh dentuman. Dentuman petasan berantai. Dar, dar, dar. Semuanya menyunggingkan senyum. Tidak ada rasa takut. Dentuman petasan itu tidak membuat masyarakat khawatir, namun sebaliknya. Semua merasa senang dan bahagia. Dentuman petasan itu memang tidak berbahaya. Petasan itu hanya sebuah tanda. Sebuah pertanda kebahagiaan. Suatu sambutan atas datangnya seorang yang istimewa. Seorang tokoh masyarakat, seorang ayah dari anak-anaknya dan juga seorang paman dari para keponakannya baru saja kembali dari tanah suci.

Keluarga saling menebar senyum. Semuanya merasakan kebahagian. Tak terkecuali saya. Semua terasa menyatu. Menyatu dalam sebuah ekstasi. Kebahagian yang teramat sangat karena terpenuhinya nafsu rindu. Peluk mesra menjadi tontonan biasa dengan dibubuhi ciuman rasa sayang. Ciuman pipi kanan dan kiri. Bahkan air mata yang menjadi identitas kesedihan bercampur baur mengiringi kebahagiaan yang teramat sangat.

Senda gurau dan tawa mesra yang sempat hilang kembali lahir. Cerita-cerita mulai diorasikan dengan balutan canda. Semuanya dahaga akan cerita-cerita yang akan keluar. Semuanya mengharapkan keberkahan. Semuanya ingin berbaur dan merasakan kebahagian. Semuanya tak ingin hanya melihat. Mereka ingin memegang. Mereka ingin memeluk. Bahkan mereka ingin mencium. Semuanya ingin merasakan kebahagiaan dalam sebuah pesta penyambutan seorang ulama kampung, seorang ayah, dan juga seorang paman yang kembali ke tanah kelahiran dari tanah haram dengan raga sehat dan telah lama mereka rindukan.

Sekarang namanya telah berubah. Bertambah, tepatnya. Ada satu kata yang mulai disematkan pada setiap penulisan namanya. Gelar “HAJI”. Paling tidak itu yang membuat perbedaan setelah ia pulang dari tanah haram. Semuanya hampir terlihat tidak berubah. Wajahnya masih seperti dahulu. Senyumnya tak kehilangan manisnya. Perawakannya yang kecil juga tidak bertambah tinggi. Suaranya masih saja berat dan merdu. Matanya tidak kehilangan cahaya kasih sayang. Hanya ada sedikit yang berbeda ketika memandang rambutnya dan jenggotnya yang hampir habis terpangkas. Selain itu semuanya sama. Tidak berubah.

Namun semua itu hanya sebuah perayaan. Itu baru permulaan. Ada yang terpenting dari itu semua. Dan itu tidak semudah penyematan gelar haji yang kini akan terus mendampingi namanya. Haji, bukan saja sebuah gelar, ia adalah sebuah amanah yang harus diemban dan dipertanggungjawabkan. Haji, bukan saja bagai sebuah mesin cuci yang ketika telah selesai kita merasa suci dan bersih seperti bayi, namun ia adalah sebuah awal untuk menyucikan diri dari kotoran-kotoran yang dulu pernah ada.

Selamat atas hajinya*. Semoga ibadah hajinya tidak hanya diterima (mabrur) oleh Allah, namun lebih dari itu. Yaitu menjadi seorang yang mampu peduli terhadap orang lain. Menjadi orang yang peka terhadap kesusahan tetangganya dan lingkungannya. Senantiasa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Karena haji adalah penyempurna keislaman, maka secara tidak langsung ibadah itu juga menginginkan kedewasaan dan kebajikan kita menjadi sempurna. Sekarang ini yang dibutuhkan negeri ini adalah orang-orang kecil yang berlaku baik.

*Selamat untuk paman saya dan semua jemaah haji indonesia yang telah kembali.

No comments: