Monday, January 28, 2008

Drama Eksistensi

Apakah ada di dunia ini kebenaran mutlak? Atau yang seharusnya dipertanyakan tidak demikian bunyinya. Apakah kita, manusia yang telah dianugerahi dengan akal, dapat menemukan kebenaran mutlak di dunia ini?

Dua pertanyaan di atas sepertinya tidak ada perbedaan. Keduanya sama-sama ingin mengatakan bahwa di dunia ini manusia bisa menemukan kebenaran mutlak. Saya jadi teringat Aristoteles dan Hegel dengan filsafat Idealismenya. Filasafat yang ingin mengatakan bahwa sesungguhnya kebenaran mutlak itu dapat diformulasikan secara sistematis melalui pencarian yang sungguh-sungguh. Aliran ini tidak ubahnya dengan apa yang diusung oleh Socrates secara umum, namun Hegel lebih kepada eksistensialis idealis. Pemikiran yang terkonsentrasi dengan eksistensi. Hegel pernah mengatakan bahwa ada roh semesta yang mendampingi para subjek atau manusia dikehidupan ini. Roh semesta yang, mungkin, ingin disampaikan olehnya adalah sebentuk kebenaran mutlak. Dan manusia atau subjek-subjek dengan akalnya suatu saat nanti, seharusnya, dapat menemukan dan memformulasikan secara sistematis kebenaran mutlak itu. Wajarlah jika akhirnya Hegel dikatakan sebagai pembawa aliran filsafat Idealis. Karena hal itu menunjukkan bahwa ia menginginkan adanya idealisasi pada manusia dalam menjalani hidup.

Tapi sepertinya Hegel sedang bermimpi. Keinginan ia dengan idealismenya memang sangat brilian. Tetapi bagaimana jika ia ditanya dengan, bagaimana memformulasikan kesedihan, putus asa, patah hati, kebahagian, atau jatuh cinta? Apakah itu semua bisa diformulasikan secara sistematis atau didefinisikan? Apakah sama definisi jatuh cinta yang Dewi rasakan kepada Rudi dengan yang dirasakan Rani kepada Rudi? Saya yakin definisi mereka berbeda walaupun pada dasarnya jatuh cinta itu adalah suatu kebahagiaan. Namun tak jarang pula jatuh cinta itu menjadi sebuah racun bagi sang pencinta.

Saya mungkin lebih tertarik untuk mengatakan bahwa manusia menilai suatu kebenaran berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah ia dapatkan. Dalam kata lain, saya ingin mengatakan bahwa, kebenaran objektif atau kebenaran mutlak seperti yang dikatakan Hegel, itu tidak akan bisa diraih apalagi diformulasikan dengan sistematis di kehidupan dunia ini. Yang ada adalah kebenaran subjektif. Mungkin yang seharusnya dikatakan adalah bahwa manusia seharusnya, dengan akalnya, membuat komitmen dan menjaga konsistensi dengan kebenaran-menurutnya. Kebenaran-menurutnya di sini adalah suatu penilaian atas pengalaman-pengalaman atau budaya yang telah ia dapatkan atau mungkin sedang dijalani. Dan ini yang disebut dengan kebenaran subjektif.

Pada dasarnya yang diajarkan oleh Aristoteles maupun Hegel tidak seluruhnya keliru. Saya juga yakin bahwa ada Roh semesta, menurut istilah Hegel, atau Kebenaran mutlak yang mendampingi perjalanan kehidupan di dunia ini. Mereka mungkin lupa, atau mereka memang tidak tahu, bahwa ada kitab suci dalam agama-agama. Itu bukti adanya petunjuk tentang kebenaran mutlak. Namun ketika kitab suci itu berinteraksi dengan manusia, akhirnya pandangan tentang suatu kebenaran menjadi subjektif. Hal itu dikarenakan penafsiran yang berbeda atas ayat-ayat dalam kitab suci yang dilakukan oleh manusia.

Saya tertarik sekali dengan pendapat Kierkegaard, seorang filosof Kopenhagen, Denmark, bahwa manusia dalam tindakannya terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah manusia yang bertindak spontanitas (tindakan esteteis). Yang kedua adalah kelompok manusia yang betindak dengan menilai terlebih dahulu baik dan buruk (tindakan etis). Dan yang terakhir adalah manusia yang bertindak atas pertimbangan agama (tindakan relijius). Dari golongan-golongan manusia tersebut di atas, kita dapat menyimpukan bahwa penilaian atas kebenaran akan sangat berbeda adanya pada tiap subjek. Coba kita renungkan itu. Itulah drama eksistensi yang terjadi di dunia ini.

1 comment:

Anonymous said...

Kebenaran itu hanya persepsi, tetapi ada yg namanya sifat Positif dan Negatif. Kedua sifat itu adalah daya kreatif dan berjalan amat sangat teratur. Mengambil istilah anda, FORMULA SISTEMATIS, itu mutlak ada, hanya saja kita BELUM mengerti tentangnya. We called it Ghaib. Well, it's just my opinion.