Thursday, November 8, 2007

PSSI: Sebuah Representasi Politik Negeri

“Saya tak habis pikir dengan PSSI, Bang!” saya memulai pembicaraan.

“Masalah ketuanya?” Ivan langsung menebak dengan sebuah pertanyaan.

“Iya! Saya masih tidak bisa mengerti dengan pengurusnya.”

“Kenapa memangnya?”

“Loh, bukannya ketuanya sudah di vonis bersalah? Kenapa masih dijadikan atau dipertahankan menjadi ketua?”

“Mungkin…, memang ia masih dipandang pantas untuk memimpin PSSI.”

“Pantas apanya? Wong kriminalis ko’ masih dipilih dan dipertahankan untuk menjadi pimpinan.”

“Apa salahnya seorang kriminalis diangkat menjadi pemimpin?”

“Ya salah dong! Seharusnya seorang pemimpin itu menjadi panutan yang baik. bukan memberi contoh yang buruk. Kriminalis itu kan suatu keburukan. Dan itu jelas, tak pantas untuk dijadikan panutan.”

“Mungkin memang itu wajah politik Indonesia, Id.”

“Maksud sampeyan apa, Bang?”

“Masih mengedepankan jiwa ‘teman atau lawan’ dalam berpolitik! Bukan mendahulukan jiwa ‘kepentingan masyarakat’ dalam tindakan politiknya.”

Sebuah Puisi Tentang Puisi

Kata-kata terangkai
Bagai gerbong-gerbong yang saling di kaitkan
Memberikan sebuah perwujudan
Kereta api yang memiliki arti

Kata-kata dirangkai
Seperti bunga-bunga yang terikat
Membuat rangkaian keindahan
Untuk sebuah arti kerinduan

Kata-kata tersusun
Mirip sebuah mata rantai kehidupan
Hewan, tumbuhan, dan manusia
Sehingga memberi sebuah kehidupan

Kata-kata disusun
Menyerupai permainan bongkar pasang yang dibentuk utuh
Sehingga membentuk sebuah wujud
Yang semula terserak terlepas

Kata-kata terangkai, tersusun
Ingin memberikan sebuah makna
Namun tak dibatasi
Oleh sebuah interpretasi
Kesenangan penafsiran, dapat berubah satir
Kesedihan interpretasi, berbuah arti prasangka
Namun seperti tadi
Puisi tak pernah dibatasi
Lebih-lebih oleh sebuah dikotomi

Sebuah kepastian
Hanyalah sekitar entitas puisi
Sebagai pencurahan niat,
Pergolakan pikiran yang dituliskan,
Pengilustrasian rasa di jiwa
Dengan kata-kata yang dirangkai dan disusun dengan kait keindahan

Aliran Sesat : haruskah ada campur tangan negara?

Mesjid mulai sepi dari jamaah Jumat-an. Jam menunjukkan sudah jam setengah dua lebih. Yang tersisa adalah saya, Ivan, dan Yomi. Seperti biasa, kami sengaja tidak langsung kembali ke rumah masing-masing. Sambil sekedar meregangkan otot-otot yang terasa kaku, kami mencoba mendiskusikan apa yang disampaikan khatib tadi.


“Memang sekarang ini banyak sekali ajaran-ajaran yang sesat,” Yomi membuka diskusi. “Tadi sayang aja khatib tidak menyebutkan nama-nama aliran tersebut. Padahal banyak sekali. Yang baru dan masih sangat ramai adalah aliran Al-qiyadah Al-islamiyah, lalu ada aliran Alquran Suci di Bandung, dan aliran yang pernah dipimpin oleh Lia Eden, dahulu.” Yomi menambahkan.


“Betul, Yom,” saya menimpali. “Ada juga aliran Wahidiyah yang katanya punya juru selamat atau yang mereka bilang Ghauts.” Gelengan kepala saya tak bisa tertahan karena begitu banyaknya aliran yang dianggap sesat.


“Gua setuju dengan khatib bahwa aliran-aliran seperti itu harus kita perangi karena mengganggu ketentraman dan menodai akidah.” Yomi berbicara dengan luapan semangat.


Keadaan Yomi yang sangat menggebu-gebu dalam menghakimi aliran-aliran sempalan itu, karena pernah ada Saudaranya yang hampir di baiat oleh aliran-aliran yang dianggap sesat.


“Atau seharusnya polisi langsung tangkap saja pimpinan dan konco-konconya. Toh, MUI sudah membarikan fatwa sesat.” Saya menambahkan.


“Gua setuju, Id. Polisi harusnya turun tangan. Karena peristiwa ini sudah sangat mengganggu ketentraman umat islam.” Yomi sekali lagi begitu bersemangat.


Ivan yang sejak tadi hanya memejamkan mata sambil menyandarkan tubuhnya, mulai mengeluarkan suaranya dengan sebuah pertanyaan, “Menurut kalian, apakah Negara seharusnya campur tangan dalam urusan beragama yang notabene bersifat privat atau pribadi?”


Saya sempat tergeragap mendengar pertanyaan dai Ivan. Begitu juga ketika saya melirik ke Yomi, dia juga sempat mengerutkan dahinya.


“Maksud kamu apa, Van?” Yomi balik bertanya.


“Tindakan polisi adalah tindakan negara” Ivan menjawab singkat.


“Kalau saya tangkap pertanyaan sampeyan, sepertinya sampeyan ingin mengatakan seharusnya negara atau polisi tidak ikut campur dalam masalah ini?” sama seperti Yomi, saya balik bertanya.


“Yup!” Ivan mulai mengeluarkan senyuman kemenangan.

“Loh, polisi itu kan tugasnya menjaga warga dari ketidaknyamanan, keonaran, serta pembuat keresahan. Dan bukannya kesesatan aliran itu sudah mengganggu ketentraman dan membuat resah warga. Muslim khususnya. Menurut saya sudah seharusnya negara campur tangan melalui polisi.” Yomi tak mau kalah dalam berpendapat.


“Tunggu, atau jangan-jangan kamu meragukan kesesatan aliran-aliran tersebut? Padahal MUI sendiri sudah memberikan fatwa.” Yomi mendesak Ivan.


“Kalau kamu tanya saya soal aliran itu sesat atau tidak, yah saya secara pribadi menganggap aliran itu sangat bertentangan dengan apa yang sudah menjadi keyakinan saya, mungkin juga kalian. Saya setuju mengatakan itu sesat. Berarti dalam hal ini saya setuju dengan MUI.” Ivan mulai mengangkat tubuhnya.


“Yang saya kurang setuju adalah tindak anarkis masyarakat dan anggapan kriminalisasi atas masalah yang sejatinya bersifat pribadi dan asasi. Beragama!” Ivan menambahkan.


“Tidak seharusnya, menurut saya, penangkapan langsung dilakukan oleh polisi setelah MUI mengatakan aliran itu adalah sesat. Dan, menurut saya pula, seharusnya polisi tidak perlu ikut campur dengan masalah ini.” Ivan terus bicara.


“Menurut saya, harus ada penelitian lebih lanjut dari para pemuka agama, islam khususnya, tentang maraknya aliran-aliran sempalan yang muncul. Diskusi saja tidak cukup tanpa ada penelitian yang kemprehensif tentang latar belakang sosial-psikologis dari pendirinya, misalnya. Dan sudah seharusnya para pemuka agama mulai berbenah diri tentang strategi dakwahnya dalam zaman ini.


“Oleh karena itu, menurut saya pengrusakan, pembakaran, atau penghancuran yang dilakukan oleh masyarakat dan penangkapan yang dilakukan oleh polisi yang menjadi tangan dari negara, tidak perlu terburu-buru dilakukan, atau barangkali memang tidak perlu dilakukan.


“Memang saya maklum terhadap kemarahan dan keresahan warga muslim, karena saya juga merasakan hal serupa. Namun seharusnya yang kita lakukan adalah bertanya lebih dahulu atau introspeksi terhadap diri kita sendiri, mengapa islam yang sangat kita yakini kebenarannya dan kita yakini akan membawa keselamatan hidup di dunia dan akhirat kurang memberi rasa aman dan nyaman bagi banyak pemeluknya sehingga muncul aliran sempalan, yang menurut saya timbul dari keadaan atau perasaan tertekan seseorang atau kelompok.

“Nah pertanyaan yang tepat untuk umat islam, baik itu para pemukanya ataupun kita sebagai individu, saat ini adalah ‘Sudahkah kita membuat Islam sebagai agama yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemeluknya?’” Ivan mengakhiri pembicaraannya kembali dengan pertanyaan.

Semuanya terdiam. Mungkin memikirkan pertanyaan yang sangat mengena dari Ivan. Pun begitu juga dengan Ivan sendiri. Terdiam.

Dokter Khitan

Baru beberapa lewat hari kembai kepada kesucian, Idul Fitri., yang seharusnya, atau tepatnya biasanya, dilalui dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, namun yang terjadi malah sebaliknya. Berita duka datang tadi pagi, 16 Oktober 2007 (4/5 Syawal 1428H), sekitar jam 10-an. Seorang yang pernah berjasa terhadap saya dan keluarga saya, dan mungkin terhadap banyak orang, harus merasakan sunnatullah, meningal dunia atau tepatnya kembali kepadaNya diusiannya yang ke-68 tahun.

INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI”UUN

Sesungguhnya kita adalah milkNya dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya.

Eddy Enggu adalah namanya, atau biasa disapa dengan ‘Panggu’ (Pak Enggu). Beliau adalah seorang dokter. Sebetulnya title ini juga tidak pernah terbuktikan oleh kertas yang ter-legalisir atau biasa di sebut ijazah, namun entah darimana kemampuannya serta izinnya ia bisa buka praktek di sekitar rumah. Tapi yang jelas orang-orang di kampung saya sudah sangat percaya dengan kepandaiannya. Sebetulnya beliau lebih dikenal sebagai “tukang sunat” di kampung saya, apalagi oleh kalangan anak-anak disekitar rumah. Karena beliau lebih sering didatangi oleh para orang tua yang anaknya ingin dikhitan.

Kenapa saya katakan ia sangat berjasa terhadap saya dan keluarga saya, karena beliaulah yang telah membantu menunaikan kewajiban saya, KHITAN. Khitan adalah salah satu kewajiban dalam agama Islam. Beliau adalah salah satu orang yang telah menyempurnakan keberagamaan saya. Beliau adalah salah satu orang yang telah menggugurkan salah satu kewajiban saya sebagai manusia beragama.

Terima kasih Panggu. Selamat jalan Panggu. Semoga engkau bersama amalmu dalam setiap pertanyaan akhiratmu tentang duniamu…