Wednesday, June 6, 2007

Betawi dan Sebuah Pencitraan

Ketika saya sedang membuka kotak pos elektronik saya, kemarin siang, saya mendapati satu e-mail dari teman masa kecil saya. Mohammad Anwar, namanya, yang ternyata lebih memilih hidup dan bekerja di Lampung dari pada mengadu nasib di Jakarta yang sangat keras persaingannya. Dia adalah jebolan Ekonomi Manajemen - Universitas Negeri Lampung. Isi e-mailnya cukup panjang.

Ini e-mailnya :

Assalamu’alaikum…..
Apa kabar, id? Terus juga, gimana kabar keluaga di rumah? Mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah SWT. yah.

Id, langsung aja yah. Ada apa dengan Jakarta sekarang ini, Id? Kemarin saya baca surat kabar, dan saya menemukan beberapa konflik. Konflik yang pertama adalah masalah perseteruan tanah di Meruya Selatan-Jakarta Barat. Itu kan dekat sekali dengan kampung kita, Id. Banyak juga teman-teman kita semasa Sekolah Dasar yang tingal di sana. Bagaimana nasib mereka, keluarga mereka, tetangga-tetangga mereka?

Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa PT Portanigra memiliki hak atas tanah seluas 43,9 hektar, saya cuma agak khawatir dengan rencana eksekusi yang mau dilakukan. Bukannya di sana ada beberapa Sekolah Dasar dan satu gedung SMP. Itu yang saya pikirkan, Id. Apakah tega pihak PT Portanigra mengeksekusi rumah-rumah pembentuk karakter anak bangsa, sekolah-sekolah itu, yang justru sekarang ini, di semua sudut negeri ini, hampir sudah tidak diperhatikan lagi bangunan-bangunannya oleh negara. Tapi, Id. Terlepas jadi atau tidaknya eksekusi di sana, tolong sampaikan salam saya, tentunya dengan doa saya dari sini, kepada teman-teman kita yang berada di sana.

Id, dalam Surat Kabar itu saya juga mendapat informasi tentang konflik, yang menurut saya sangat memalukan, sesama ormas betawi di Kebayoran Lama. Kenapa saya katakan sangat memalukan? Karena saya sebagai orang betawi sangat merasakan dampaknya secara tidak langsung di kota tempat saya tinggal. Id. Asal kamu tahu, masih banyak sekali orang-orang menilai sesuatu dengan cara men-generalisir sebuah masalah. Jadi citra betawi pasti jatuh akibat dari ketidak-becusan para pemipin ormas-ormas Betawi itu dalam memberikan sebuah pengertian kepada para anggotanya, yang tentunya adalah masyarakat Betawi sendiri.

Saya pernah membaca bukunya Alwi Shahab. Masyarakat Betawi yang membacaya pasti akan merasa bangga menjadi warga Betawi. Alwi Shahab mengatakan pada salah satu essai-nya, bahwa Orang Betawi itu bukannya preman tapi jagoan. Preman sama jagoan itu berbeda sekali, Id.

Jagoan lebih cenderung membela, yah membela, sebuah ketidak-mapanan, membantu segala macam kelemahan, dan menegakkan sesuatu yang salah atau ketidak adilan menjadi sebuah kebenaran atau keadilan. Namun preman penilaiannya sangat negatif. Preman adalah orang-orang, yang kata orang betawi sih, “semaunye gue aje”. Namun menurut saya, sebenarnya preman terbentuk dari yang namannya ketidak-becusan suatu negara dalam menata negaranya. Jiwa preman itu bisa muncul karena kemiskinan, karena terlalu jauhnya, malah terasa makin jauh sekarang ini, gap atau kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya, dan yang pasti preman dapat terjadi karena memang orangnya kurang terpelajar. Preman adalah orang-orang yang tidak dapat menerima kecacatan yang ada. Yah, karena pemerintah negara kita banyak cacatnya dalam menjalani tugasnya, jadinya muncul preman-preman.

Tapi itu bukan pembelaan saya terhadap orang Betawi yang suka berkonflik. Cuma, tulisan Alwi Shahab itu jadi salah dengan sendirinya. Ternyata tidak semua masyarakat Betawi mempunyai jiwa menjadi jagoan, malah sekarang cenderung banyak premannya.

Sekarang tinggal bagaimana masyarakat Betawi, terutama masyarakat Betawi yang lebih beruntung bisa mengecap bangku pendidikan yang tinggi untuk memberikan sebuah citra yang baik, kalau tidak untuk ditunjukan kepada masyarakat daerah lain, paling tidak kepada masyarakat Betawi sendiri yang kurang beruntung dalam hal pendidikan. Supaya mereka lebih semangat dalam meraih cita-cita. Dan akhirnya Alwi Shahab tersenyum kembali, karena memang tulisannya benar adanya bahwa masyarakat Betawi adalah Masyarakat jagoan yang selalu membela kebenaran dan menegakkan keadilan di setiap ketidak-adilan, bukannya menjadi preman yang selalu membuat konflik di sana-sini.

Mudah-mudahan kita juga dapat memberikan kontribusi untuk masyarkat Betawi, Id. Walaupun bukan sesuatu yang besar, yang kecil pun tidak apa-apa. Tetap santun, tetap baik, tetap mudah menolong, dan yang pasti tetap ingat Allah. Itu sebuah citra juga, Id!

Sudah dulu, Id.

Wassalam.

E-mail itu saya baca dengan nada berat. Waw! Pikiran saya langsung manyambutnya. Saya yang berada dekat sekali dengan Jakarta, hampir tidak pernah memikirkan tentang sebuah citra masyarakat Betawi. Sedangkan teman saya itu, walaupun berada jauh di seberang pulau, sangat peduli sekali dengan sebuah pencitraan Batawi. Dalam hati, saya cuma menjawab ajakanya, ”Insya Allah, Han!”

No comments: