Thursday, June 14, 2007

Sajadah Berdzikir

Harus kuakui bahwa perasaan cintaku pada Sarah tidak seperti rasa cintaku pada Nia. Tapi aku bingung, apa yang harus aku perbuat sekarang ini ditengah hubunganku dan Sarah yang sudah terjalin hampir satu tahun.

Malam ini semuanya sangat sulit. Perasaanku yang dulu sudah mulai berada dalam trayek aman-aman saja dalam sebuah hubungan dengan Sarah, harus terganggu dengan suatu yang sangat sederhana dan singkat.

Yah, kebetulan kemarin aku bertemu dengan Nia, mantanku. Aku dan Nia dulu memang pernah menjalin sebuah hubungan dekat. Hubungan kami terjalin sekitar dua tahun lebih. Namun karena aku selalu dikecewakan dengannya, akhirnya aku memutuskan untuk segera mengakhiri hubungan dengannya. Nia, selain cantik, adalah seorang yang supel jika bergaul. Sehingga tidak heran kalau banyak lelaki yang sangat menyukainya dan menginginkannya untuk menjadikan kekasih. Tapi justru yang membuat aku sering kecewa adalah karena kesupelannya dalam bergaul itu. Dia sangat terbuka disetiap hubungannya dengan lelaki lain. Dan pastinya aku sangat cemburu dibuatnya.

Namun entah mengapa pertemuan kemarin sangat membekas dalam perjalanan cintaku. Kegairahanku dalam mengarungi hidup seakan kembali terisi dengan energi positif, sepertinya rasa cinta, yang terjadi akibat pertemuan singkat itu. Pertemuan yang sangat luar biasa. Naluriku selalu ingin menyentuhnya, memeluknya, bahkan menciumnya. Saat itu aku bagaikan wajan yang kosong dan sangat mengidam-idamkan diisikan dan dipenuhi oleh air cintanya. Saat menatap matanya, aku merasa masih memilikinya. Yah, dia adalah miliku yang tidak akan pernah tergantikan. Saat tangannya mulai menyentuh tanganku, aku merasa dia tak akan pernah, benar-benar, menyakiti dan mengecewakanku. Saat kami mulai berbicara dan sedikit bercanda, didunia ini sepertinya tak ada orang lain selain kami berdua.

Entah mengapa malam ini aku memiliki kesimpulan bahwa aku ternyata masih sangat mencintai Nia. Lalu bagaimana dengan hubunganku dengan Sarah? Apa yang harus aku perbuat?

Lalu tiba-tiba Hp-ku bergetar. Ketika aku lihat ternyata ada SMS yang masuk. Dan itu adalah SMS dari Sarah. Bang, tolong jaga perasaan Ade yah? Ade sangat sayang sama abang. Membaca sms darinya, entah mengapa, bukannya senang karena ada orang yang masih sangat mencintaiku dan selalu setia terhadapku, malah membuat aku semakin bingung. Karena malam ini hatiku hampir sepenuhnya dikuasai oleh memori indah yang dibumbui cinta kepada Nia. Selebihnya adalah perasaan kasihanku kepada Sarah yang sudah sangat baik kepadaku dan sangat mencintaiku. Haruskah ia kukorbankan? Hatiku sudah mulai ikut campur.

Sarah memang telah mengetahui pertemuan singkatku dengan Nia. Itu karena komitmenku untuk selalu jujur terhadapnya. Jadi pertemuan singkat itu dengan sangat berat harus aku ceritakan kepadanya. Mungkin aku memang bukan lelaki yang sensitif dalam menjaga perasaan seorang wanita. Kontan saja, mendengar cerita pertemuan itu, Sarah sangat geram dan mengutukinya. Sampai-sampai, saat aku menceritakannya, air matanya tak tertahankan mengalir keluar. Dia sangat shock mendengar cerita pertemuan itu.

Setelah polosnya aku menceritakan pertemuanku dengan Nia, hubunganku dengan Sarah terasa sekali perubahannya. Sarah seperti berusaha menjauh dari diriku. Namun, Aku terus mencoba menghubunginya dalam usaha memperbaiki tali kasih kami berdua.

SMS tadi adalah saat pertamakalinya dia mulai ingin berkomunikasi denganku lagi setelah kekecewaannya, atau lebih tepatnya jika dikatakan kecemburuannya, terhadap diriku. Terus saja pesan itu aku baca berulang-ulang, namun tetap saja bukan kesenangan yang aku rasakan, malah aku semakin dibuatnya menjadi bimbang. Itu karena keyakinanku malam ini, bahwa aku ternyata punya rasa cinta yang sejati, namun bukan Sarah orangnya.

Sebenarnya sebelum pesannya sampai ke HP-ku, aku sedikit mengamini dengan situasi hubunganku yang bermasalah ini. Dengan kondisi ini, sepertinya tepat untuk sedikit menjauhkan hubunganku dengan Sarah. Aku merasa inilah waktunya aku mengakhiri hubungan yang sebenarnya timbul bukan karena semata-mata rasa tertarikku kepadanya, namun sedikit terpaksa atau lebih tepatnya dipaksakan.

Jujur, malam ini, semua rahasia-rahasia perasaanku mulai berani untuk aku simpulkan kedalam teori-teori. Bahwa Sarah adalah bentuk pelarianku akibat kekecewaanku terhadap Nia. Dan juga ada unsur ego kelelakianku di sini. Aku merasa bisa hidup tanpa Nia, dan bisa mendapatkan penggantinya dengan cepat. Karena, seringkali, aku merasa bangga mengatakan pada Nia bahwa akau telah punya seorang kekasih penggantinya dan aku bisa hidup bahagia tanpa dia.

Namun seiring perjalanan hubunganku dengan Sarah yang kadung sudah diketahui oleh masing-masing orang tua kami. Perasaanku, yang memang masih milik Nia, terasa sangat mengambang dalam perjalanan hubungan kami. Sarah adalah seorang yang sangat baik dan, bisa dikatakan, lebih dewasa dibanding dengan Nia, namun dengan kelebihan yang dimilikinya, tidak dapat membuat hatiku yakin bahwa Sarah adalah cintaku. Yah, mungkin itu karena sebenarnya aku memang tidak pernah benar-benar mencintainya. Sekarang yang ada hanya, ternyata aku, karena perbuatanku yang membabi-buta tanpa pernah benar-benar memikirkan secara masak tentang akibatnya, seperti terkurung dengan hubungan kami. Namun aku malu untuk mengakuinya. Karena aku masih memiliki gengsi sebagai lelaki. Aku pantang untuk merusak komitmen yang aku buat, walau kenyataannya itu sangat membuat aku sakit.

Lalu tiba-tiba HP-ku kembali bergetar. Ada pesan baru yang masuk. Masih tetap dari Sarah. Ade mau maafin abang. Tapi Ade minta tolong, abang sedikit hargai perasaan Ade. Jujur, Ade tidak bisa tahan jika selalu dikecewakan. Tapi jujur pula, Ade tidak bisa memungkiri, bahwa Ade masih sangat sayang sama abang.

Membaca pesannya yang kedua. Aku semakin mengutuki semua perbuatanku selama ini. Ada rasa simpatik dan empatik ketika membaca pesannya. Sampai aku sendiri tidak mampu menahan jatuhnya genangan air di mata. Namun, aku tidak ingin langsung menyimpulkan perasaan ini. Aku masih saja bingung dan tidak membalas pesannya. Apa yang harus kuperbuat Tuhan?. Hatiku, malam ini, selalu saja menanyakan hal itu.

Akhirnya aku putuskan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu untuk shalat Isya. Yah, nampaknya shalat akan dapat membuat aku lebih tenang dan akhirnya aku dapat berpikir secara jernih. Dalam shalat aku sengaja meminta kepada Tuhan jalan keluar dari semua masalah ini.

Tuhan Yang Maha Pencinta, berilah hambamu ini petunjuk jalan akan apa yang harus hamba perbuat di tengah masalah yang hamba hadapi ini. Hamba lemah, selemah-lemahnya makhluk. Oleh karena itu hamba mohon tuntunanmu dalam setiap tindakan hamba…. Aku sedikit terisak dan memikirkan apa lagi yang harus aku pinta, Tuhan, Apa dan Siapa yang harus aku korbankan?

Isakan tangisku makin menjadi-jadi dengan doa terakhirku. Dan aku tiba-tiba tersungkur di atas sajadah. Aku terkulai lemah dalam lilitan masalah dan tentunya karena keagungan Tuhan Yang Maha Pencinta. Mungkinkah tersungkurnya aku karena sebenarnya Tuhan menyapaku dan berbicara kepadaku tentang apa yang seharusnya aku lakukan. Tapi yang pasti saat itu aku lemah sekali. Aku hanya bisa menekuk badanku dalam dekapan sajadah suci dan deraian air mata. Aku mencintaimu, Tuhan…… Dzikir cinta itu terucap begitu saja tanpa kupikirkan dan terus saja membasahi bibirku. Mungkin Tuhan memang tidak seharusnya dipikirkan, namun dirasakan. Dan akhirnya aku tertidur.

---------

Pagi datang menyapa dengan sinar matahari yang cerah memancarkan ke sebagian permukaan bumi. Sengaja aku tidak pergi kuliah hari ini. Karena aku harus bertemu dengan Sarah dan menyelesaikan semua masalah. Pagi itu aku baru menjawab dua pesan dari Sarah dengan kata-kata yang sedikit pelit dan terasa tidak menjawab pesannya semalam. Boleh ketemuan pagi ini? Dan tak lama kemudian datang jawaban dari Sarah, Lho, memangnya abang ngga ada kuliah hari ini? Maaf yah kalau kata-kata Ade semalam, buat abang bingung. Mudah-mudahan Ade ga salah yah? Itu karena Ade sangat sayang sama abang. Kalo mau ketemuan, boleh aja. Dimana, Bang?

Seperti biasa Sarah kalau sudah menulis pesan sangat panjang dan bertele-tele. Padahal aku jelas-jelas hanya mengharap jawaban iya atau tidak darinya. Namun di luar itu, membaca jawabannya justru sangat mempengaruhi niatku untuk bertemu dengannya. Tapi semalam aku seperti sudah dikuatkan oleh Tuhan untuk menyelesaikan semuanya pada hari ini. Semakin banyak waktu yang terbuang, akan malah membuat masalahnya semakin rumit. Pilihannya hanya, apakah aku harus mengorbankan cinta sejatiku atau aku harus korbankan seorang yang sudah sangat tulus sekali mencintaiku, walaupun jelas, aku belum bisa mencintainya setulus cinta sejatiku terhadap wanita lain.

Di tempat biasa, De. TIM. Jam 10, yah?! Taman Ismail Marzuki adalah tempat kami berdua pernah berkomitmen untuk menjalin hubungan kami. Dan aku memutuskan untuk menyelesaikan masalah aku dengannya di tempat yang dulu pernah menjadi saksi bisu saat kami berkomitmen untuk jalan bersama mengarungi suka-duka hidup dan selama kami merayakan kerinduan, kerinduan dia semata sebenarnya, selama berhubungan. Tidak lama kemudian jawaban darinya masuk ke dalam inbox HP-ku. Oh, TIM yah Bang? Okelah. Tapi sebenarnya ada apa sih, Bang? penting banget yah? oh iya, tadi pertanyaan Ade blm di jwb. Ko ngga kuliah?

Nanti aja di sana semuanya abang jelasin yah. Ditunggu! Aku langsung bersiap-siap untuk menuju ke Taman Ismail Marzuki. Karena jam telah menunjukkan angka delapan. Sedangkan perjalanan dari rumah ke sana sekitar satu jam. Bagus-bagus kalau tidak macet. Tapi, di Jakarta, berharap tidak macet adalah suatu yang hampir mustahil.

Aku sampai di sana sekitar jam 09.40 WIB. Masih ada sekitar 20 menitan untuk menunggu sampai jam 10. Akhirnya aku sengaja melihat buku-buku lama di toko buku yang ada di dalam pekarangan TIM. Setelah jam telah menunjukkan pukul 10 kurang 5 menit, aku langsung menuju café tempat biasa kami menghabiskan waktu melepas kerinduan, lagi-lagi hanya kerinduan dia sebenarnya.

Setelah sampai di sana , aku terkejut, karena ternyata ia telah berada di sana lebih dahulu. Dia telah duduk di kursi café sambil membaca buku, tepat kursi di mana pertama kali kami menyatakan sayang dan cinta. Dari jauh, aku sengaja berhenti untuk memandangnya sebentar. Dia sangat cantik sekali dan sangat berbeda sekali dari biasanya. Gaunnya berwarna biru muda. Dan yang membedakannya adalah dia memakai gamis dengan jilbabnya yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Itu pertama kalinya aku melihatnya menggunakan gaun itu. Biasanya ia hanya menggunakan jilbab yang hanya menutupi kepalanya saja. Dia sebenarnya baru dalam menggunakan hijab. Kita memang sering sharing tentang agama, budaya, sampai politik. Dan hijabnya itu, diakuinya, sebagai buah sharing kita selama ini. Tapi yang membuat aku agak terkejut saat ia akhirnya memutuskan ingin mengenakan hijab, adalah, padahal aku tidak pernah memaksakannya untuk mengunakan hijab. Tapi kalau memang menurutnya perubahan itu adalah suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Yah, itu memang semata-mata keputusan dia.

Dari jauh aku menatap terus dirinya, tanpa diketahuinya. aku ingin sekali memandang dia sekali saja dengan penuh kualitas. Tidak selama ini, yang hanya memandang dengan pandangan yang tidak berkualitas. Terus saja aku pandangi dia. Tapi hatiku menegur menanyakan komitmenku semalam saat tahajud dan istikharah. Yah, aku lupa, ada yang harus aku lakukan hari ini. Keputusan yang sudah aku bulat tekadkan dan telah aku istikharahkan harus aku eksekusikan pagi ini. Dan tidak boleh terpengaruh oleh perasaan lain. Tujuanku hanya menyampaikan jawaban Tuhan kepadaku, saat aku berbincang dengannya semalam dalam istikharahku.

Assalamu ‘alaikum….. Mendengar salamku, dia terkejut. Dan langsung sumringah wajahya lalu menjawab, Wa ‘alaikum Salam Warahmatullah…. Wajahnya terlihat sangat bercahaya dan sangat menyentuh sisi ketertarikanku. Tidak seperti biasanya. Jawabannya juga halus tidak seperti biasanya. Mungkin ia berusaha untuk menyesuaikan perubahannya sekarang ini. Tapi yang tidak kulihat perbedaannya adalah tatapan matanya yang sepertinya masih saja mengharapkanku. Yah, mata yang sedikit menanyakan kesetiaanku. Menagih komitmenku untuk selalu mencintainya.

“Duduk, Bang.”
“Terima kasih, De. Udah lama?”
“Belum ko, Bang.”
“Abang mau pesan makan atau minum?”
“Kamu sudah makan?”
“Belum, Bang,”“Abang mau makan apa?”
“Bubur ayam aja. Minumnya teh manis hangat, De.”

“Mas Joko, Bubur ayamnya dua yah. Terus minumnya satu teh manis hangat, dan satu jus mangga yah….”

“Abang kenapa ngga kuliah?”

“Maaf, De. Abang lagi malas. Lagian hari ini dosennya belum ngasih kepastian akan datang atau tidak. Soalnya minggu kemarin bilangnya sih mau menghadiri acara walimahan temannya.”

“Ade, kelihatan tambah cantik aja sekarang. Gaunnya baru ya?”

“Makasih, Bang. Iya, kemarin diantarkan kak Levi belinya.”

“Oh iya. Katanya ada yang ingin dijelaskan, Bang?” Mendengar pertayaannya, aku seperti dikejutkan oleh bongkahan es yang siap untuk ditabrak perahu pesiar yang aku tumpangi. Hatiku bergetar. Kakiku gemetar. Tanganku pun ikut gemetar. Tapi yang jelas, niatku untuk mengatakan sesuatu itu, hampir saja luntur dengan pertanyaannya yang sangat to the point tadi.

“Kita makan dulu yah. Abang sudah lapar banget nih. Nanti baru kita bicarakan”

“Ohh, maaf. Ade terlalu to the point yah, Bang? ya sudah kita makan dulu.”

Selama makan, kami diskusi macam-macam. Yah, memang jika bertemu kami senang sekali mendiskusikan suatu yang masih sangat hangat. Kali ini kita mendiskusikan banyak masalah, dari pemilihan gubernur DKI Jakarta, Dana DKP, nilai tukar rupiah, sengketa tanah, perda syariah islam dan kristen, dan masih banyak yang lainnya. Diselingi dengan sedikit humor, sarapan pagi kami makin berkualitas saja.

Akhirnya waktunya datang juga. Setelah ia selesai menghabiskan bubur ayamnya, aku seperti diperintahkan oleh hati nurani, inilah saatnya aku harus mengatakannya. Entah apapun reaksinya terhadap semua yang akan aku jelaskan.

“De, sekarang sepertinya waktu yang tepat untuk bicara. Ada dua hal yang Abang mau jelaskan. Tapi abang minta tolong, jangan pernah potong pembicaran Abang sebelum Abang menyelesaikannya,. meskipun itu menyenangkan atau malah sebaliknya. Bisa, De?”

“Ehm…., bisa Bang.” Dengan perasaan bingung, mungkin, ia menjawab dan menyanggupi permintanku.

“De, yang pertama, maafkan abang kemarin, dan selama ini, yang sudah menyakiti perasaan Ade. Jujur, kemarin Abang tidak pernah punya niatan untuk menyakiti Ade dengan ketemuan sama Nia. Abang tau, dari sms ade, bahwa Ade kecewa terhadap Abang. Tapi pertemuan itu sejujurnya tidak pernah direncanakan. Kita kebetulan saja bertemu. Akhirnya dia mengajak Abang untuk sekedar mengobrol. Dan, ya…, hanya mngobrol, tidak lebih. Inilah yang Abang mau luruskan ketika Abang selalu berusaha menelpon Ade, namun Ade tidak pernah mau memberi Abang kesempatan untuk menjelaskan. Sekarang Ade mau maafin Abang?”

Mendengar pertanyaanku, Sarah langsung menundukkan kepalanya dan sedikit mencubit hidungnya. Ia terlihat sangat tertekan, namun berusaha menghilangkan kesan itu dengan sedikit tersenyum, walaupun genangan air di matanya sudah mulai tampak, ketika ia mengangkat kembali kepalanya untuk menjawab pertanyaanku.

“Jujur, Ade sakit hati, Bang. Entah itu pertemuan sengaja atau pertemuan yang memang tidak sengaja seperti yang Abang jelaskan tadi, tapi tetap Ade merasakan hati ini sakit, Bang. Tapi sejujurnya, Ade tidak pernah marah sama Abang. Karena Ade memang tidak akan pernah bisa marah sama Abang. Karena Abang adalah segala-galanya bagi Ade. Tapi ada satu yang Ade tidak bisa ngerti. Ade ngerasa Abang belum bisa menerima dan menghargai sepenuhnya perasaan Ade. Itu aja Bang yang selalu mengganggu dan mengusik Ade selama ini.”

Mendegar jawabannya hatiku ingin menangis. Tapi tidak kutumpahkan. Karena aku telah melihat ada tetes air mata di pipi Sarah. Aku berusaha tegar, walaupun agak sulit untuk menahannya untuk tidak menangis. Dalam hati aku hanya berujar, aku harus tegar. Aku harus bisa menjadi seorang lelaki yang tidak cengeng.

Kami saling diam. Suasana sangat sunyi. Yang terdengar hanyalah suara hatiku yang menjawab keresahannya selama ini. De, ini semua karena Abang memang belum bisa mencintai Ade. Masih ada cinta orang lain dihati ini. Abang sangat takut sebenarnya jika harus kehilagan cinta ini. Karena ini adalah separuh hidup Abang. Cinta ini ada begitu saja tanpa Abang pesan sama Tuhan. Entah ini nafsu semata atau cinta sejati. Tapi yang pasti rasa ini sangat mengganggu seluruh ruang hidup Abang selama ini. Maafkan Abang, De. Namun semua kata-kata itu tak sampai terucap di bibirku. Karena kutahu pasti akan menghancurkan hatinya.

Dan akhirnya aku harus segera mengatakan pilihanku akan apa yang harus aku korbankan. Pilihan yang kusertakan Tuhan dalam memilihnya. Namun tetap saja ada keraguan, karena keinginanku adalah aku tak ingin mengorbankan apapun dan siapapun. Namun semuanya nyatanya memang telah terlambat. Harus ada yang menjadi korban dalam masalah ini. Dia atau Cinta Sejatiku.

“De, makasih sudah tidak pernah marah terhadap Abang.” Aku sedikit menahan nafas dan masih memandangnya. Dia mulai sesenggukan. Entah apa yang ia rasakan, karena aku memang tidak sensitif dan belum bisa mengerti perasaan seorang wanita. Aku masih mengumpulkan serpihan-serpihan keberanian yang masih berserakan untuk mengatakan suatu yang sangat penting bagi kehidupanku dan kehidupannya.

“De……..,” Ahirnya aku beranikan untuk mengatakannya. “Maukah Ade menikah dengan Abang?”

No comments: