Wednesday, April 4, 2007

Syariat NIKAH : Apakah masih diperlukan ?

Siang itu di warung sederhananya Mbo’ Darmi, saya yang kebetulan sedang makan siang kedatangan Hendra yang memang terkenal dengan sebutan pemuda yang pandai, sampai-sampai karena kepandaiannya sering kali pemikirannya bersebrangan dengan para tokoh agama di kampung kami, termasuk ayahnya yang juga kiyai terpandang di kampung kami.

Dengan keramahannya, dia langsung menegur saya. Memang Hendra, walaupun sering tidak sependapat dengan kebanyaka kiyai di kampung, dia adalah seorang yang penuh senyum dan ramah.

“Makan, Id?”

“Eh, sampeyan Hen. Iya nih kebetulan perut lapar banget. Sampeyan ga makan?” sambil mengunyah makanan yang sudah terlanjur berada di dalam mulut, saya mencoba menjawab sapaannya.

“Saya ga lapar, cuma mau ngopi aja. Kebetulan lagi suntuk banget.”
“Oh, saya tahu kenapa sampeyan suntuk, Hen.”
”Sok tahu kamu. Memangnya kenapa?”
“Hen, Hen…, wong teman-teman di sini tuh, udah pada tahu kisah perdebatan anak yang santri dengan ayah sang kiyai.”
“hm…..,” Hendra tersenyum dengan tebakan sok tahu saya yang ternyata memang benar dan langsung dibenarkan olehnya. “benar kamu, Id. Saya memang habis berdebat dengan ayah saya.”
“Tentang apa kali ini, Hen?”
“Nikah”
“Kamu dijodohkan?”
“Yeh… bukan begitu”
“Terus…?” tanya saya dengan penuh penasaran.
“Masalah pandangan tentang nikah”
“Maksudnya?”
“Sekarang saya tanya ke kamu. Apa sebenarnya tujuan diberlakukannya syariat nikah?”

Saya sempat berpikir bahwa pertanyaannya sangat sederhana namun untuk menjawabnya saya butuhwaktu banyak untuk berpikir. Sedang saya termasuk orang yang awam bukan yag alim lagi santri seperti si Hendra.

“hm….. mungkin untuk menghalalkan penyaluran nafsu, juga untuk memperbanyak keturunan.”
“Oke, itu kita simpan. Tapi menurut saya tujuannya yang tepat adalah agar supaya mengikat kesetiaan seseorang pada seseorang sehingga menghidarkan dari segala macam bentuk pengkhianatan,” Hendra bicara sambil menenggak kopinya yang masih hangat. Lalu meneruskan kembali “Pada dasarnya pengkhianatan adalah suatu yang alergi jika disandingkan dengan kedamaian. Oleh karena itu syariat nikah dimunculkan untuk menjaga perdamaian dan menghindarkan pengkhianatan.”

Saya sedikit mengeryitkan dahi, dan dengan berjalannya waktu, tiba-tiba dalam pemikiran saya, apa yang telah diutarkan oleh Hendra adalah benar.

“Saya cenderung setuju dengan pendapat sampeyan, Hen”
“Nah, sekarang saya tanya sama kamu. Dengan prinsip dasar yang telah kita sepakati tadi. Pertama, sepasang kekasih yang saling menyintai dan berkeyainan bahwa mereka akan setia sehidup-semati dan mereka saling menyanggupi bahwa mereka tidak akan saling mengkhianati, apakah tanpa melalui jalur syariat nikah adalah suatu kesalahan? Kedua, apakah menurutmu seseorang yang hidup bersama tanpa menikah, namun mereka tetap pada kesetiaanya untuk selalu hidup bersama, tidak lebih baik dengan seseorang yang nikah-cerai-nikah-cerai?

Sebelum saya berpikir untuk mejawab, tiba-tiba dari depan warung Mbo’ Darmi terdengar suara memanggil si Hendra. Dan ternyata itu adalah adiknya Hendra yang kebetulan santri juga, namun sedang menjalani libur panjang setelah ujian akhir semester. Adiknya memanggil si Hendra karena ia di panggil oleh ibunya untuk mengantarkan keundangan tetangganya.

“Id saya dipanggil. Nanti, kapan-kapan, kita teruskan lagi perbincangan kita. Soalnya saya sudah janji dengan ibu saya untuk mengantarkanya keundangan H.Dulloh yang sedang mengadakan resepsi pernikahan putrinya.”

“Ya udah, sana”
“Oke, sampai jumpa yah…”
“Oke”

Seperginya Hedra dari warungnya Mbo Darmi saya agak terganggu dengan pertanyaannya Hendra. Lalu tiba-tiba banyak sekali pertanyaan yang muncul begitu saja dalam benak saya.

Bukannya hidup bersama tanpa menikah lalu melakukan persetubuhan apalagi sampai punya anak adalah perbuatan zina? Bukannya zina itu, tidak hanya islam saja, namun juga semua agama mengharamkannya? Kalau begitu kenapa kita harus menilai bahwa yang hidup bersama tanpa menikah lebih baik dengan yang nikah-cerai-nikah-cerai? Padahal bercerai itu hanya dibenci bukan diharamkan, namun zina mutlak diharamkan. Kalau memang hanya itu pilihannya, kenapa kita harus mengunguli yang diharamkan, bukan yang hanya sekedar dibenci?

Makan saya siang itu sangat terganggu dengan sederet pertanyaan yang tiba-tiba muncul tadi. Namun saya sedikit menyangsikan kesimpulan saya tadi. Karena Hendra adalah seorang yang berpikir agak liberal tidak literal seperi saya. Saya yakin jika saya menjawab pertanyaannya dengan kesimpulan saya tadi pasti ia akan tertawa dan meledek bahwa saya sangat literal dalam menilai dan memandang suatu yang harusnya terus berkembang cara mengartikannya sesuai dengan zaman dan budaya yang ada.

Terus saja makan siang saya saat itu disibukkan dengan pemikiran-pemikiran yang terus muncul. Saya lalu coba berpikir seperti cara berpikirnya Hendra. Lalu tiba-tiba banyak sekali ide-ide muncul.

Tapi, kalau memang Hendra hanya ingin fokus dengan pembahasan tentang di angkatnya syariat nikah pada agama-agama bukannya suatu yang terkait dengannya seperti zina, menurut saya pasti ada filosofinya yang lebih tepat dari apa yang disampaikan olehnya atau paling tidak ada pengaruh dari luar yang menyebabkan syariat nikah menjadi suatu yang wajib dilalui untuk membentuk suatu keluarga.

Misalnya pengaruh watak manusia. Bukannya manusia itu mempunyai nafsu yang jika terlepas atau tak terkendali melebihi nafsunya binatang bahkan lebih darinya? Tanpa sebuah ikatan, nafsu manusia yag ada bahkan punya potensi melebihi nafsunya binatang itu, manusia mungkin dapat dipastikan tidak akan dapat menjaga sebuah hubungan karena memang tidak ada yang mengikat dan ia merasa masih terbebas. Oleh karena itu perlu adanya syariat nikah.

Misalnya yang lain adalah, mungkin saja, budaya, atau lebih tepatnya hukum yang terbiasa disepakati dan dijadikan sebuah panduan hidup dalam suatu masyarakat. Saya merasa yakin bahwa semua hukum yang ada dalam kitab suci agama-agama disyariatkan akibat suatu budaya dalam masyarakat dan juga saya yakin hukum pada kitab suci agama-agama tersebut adalah suatu solusi panduan terbaik dalam menjaga budaya yang baik. Hidup bersama tanpa adanya ikatan nikah, pada budaya kita paling tidak, adalah suatu bentuk pencideraan budaya yang ada. Dan juga mungkin pada kebudayaan yang lain, seperti barat misalnya, syariat nikah merupakan solusi budaya yang baik.

Akhirya terakhir dalam benak saya muncul sebuah pertanyaan “mengapa kita tidak berani memilih suatu yang terbaik dari yang baik?”

Lalu tiba-tiba saya dikagetkan oleh kedatangan ivan yang langsung duduk disamping kursi saya dan langsung memesan makanan kepada Mbo’Darmi.

No comments: