Tuesday, April 10, 2007

Mengemis (tidak lagi) Dilarang

Hari itu di Bilangan Senayan, ada sebuah pergelaran pameran di sana, tepatnya di JHCC. Dari segala macam komputer sampai telepon seluler di pamerkan di sana. Saya sengaja datang mengunjungi pameran itu sendirian karena ingin berlama-lama di sana. Kalau saya mengajak teman, agak khawatir dia akan cepat bosen berlama-lama di sana.

Hari itu waktu sudah beranjak sore. Terlihat warna langit sudah mulai memerah. Saya yang sejak siang tadi berada di dalam gedung JHCC, mulai agak keletihan. Kaki saya sudah mulai terasa agak pegal, perut saya menjerit ingin meminta jatahnya yang sejak siang belum diberikan, dan kerongkongan saya seperti sudah kering tak ada setitik air pun mengaliri.

Dengan keadaan seperti itu saya langsung memutuskan untuk pulang. Namun sebelum itu saya harus memenuhi hak perut dan kerongkongan saya. Akhirnya saya mampir di salah satu warung tenda persis di depan gerbang JHCC dekat dengan parkir timur senayan. Kebetulan memang di parkir timur senayan saat itu disesaki dengan kendaraan, maklum, karena memang hari itu hari terakhir pameran.

Saat saya makan siang yang tertunda, ada seorang ibu tua bersama anaknya yang duduk tanpa alas persis di samping saya dengan hiasan satu gelas plastik air mineral kosong di hadapannya. Ibu tua itu sepertinya adalah seorang pengemis. Kelihatan sekali dengan penampilannya yang agak kotor. Ibu tua itu berusia sekitar 50 tahun-an. Terlihat nampak tapak tangannya yang sebelah kanan sudah tak bisa di kontrolnya, terus saja bergerak. Mungkin ibu tua itu sudah mengalami struk. Ia membawa seorang anak dengan masih menggunakan seragam putih-merah. Anaknya itu berumur sekitar 6-7 tahun. Namun saya yang sambil makan, melihatnya agak terharu namun tetap ada perasaan senang karena anak itu sangat ceria dan bermanja-manja dengan ibunya.

Lalu saya coba mendekati anak ibu itu, “De, lagi main apa?” saya bertanya demikian sambil menaruh sedikit duit recehan ke dalam gelas plastik air mineral kosong yang tepat berada di depan ibu tua itu yang sedang mengajak anaknya bermain-main dengan sebuah kelereng.

“Eh, makasih, Mas. Hayo jawab, tuh kamu di tanya sama om-nya tuh. Bilang makasih dulu hayo!” ibu tua itu menagajak bicara anaknya dan menyuruhya untuk menjawab pertanyaan saya sambil membetulkan posisi duduk dan mulai memangku anaknya itu.

Namun anak kecil itu tidak menjawab apa-apa hanya sedikit menahan rasa malu dan mulai memeluk ibu tua itu. Yang terdengar hanyalah suara ringisan dari anak itu, pertanda bahwa anak itu sangat malu untuk bicara dan menjawab pertanyaan saya.

“Maaf, Mas, memang anaknya sangat pemalu.” Ibunya seperti tidak enak dan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ananya.

“Tak apa-apa, Bu, namanya juga masih kecil”
“Iya, Mas.”
“Usia berapa, Bu, anaknya?
“Enam tahun, Mas.”
“Pulang sekolah?”
“Iya, tadi pulang sekolah langsung saya bawa ke sini.”
“Kelas berapa, Bu?”
“Baru kelas satu, Mas.”

Setelah sedikit banyak bicar dan bertanya, ada yang membuat saya sangat peasaran ingin menanyakan. Yaitu dari mana biaya sekolah anaknya itu. Apakah dia masih punya suami yang bekerja atau kah….??? Sebelum hati saya menjawab yag bukan-bukan, akhirnya saya coba beranikan untuk bertanya kepada ibu tua itu. Namun dengan sedikit strategi bertanya.

“Bapaknya kerja apa, Bu?””
“Oh, sudah lama meninggal, Mas. Saat dia umur tiga bulan.”
“Oh, maaf, Bu. Saya tidak tahu.”
“Tak apa-apa toh, Mas. Wong memang kenyataannya sudah meniggal. Tapi ngalhamdulillah, walaupun Bapaknya sudah meninggal, anak ini tetap bisa sekolah.”
“Alhamdlillah ya, Bu.”
“Iya, Mas. Meskipun cuma ngemis-ngemis kaya gini masih bisa nyekolahin anak.”
“Cuma ngemis?”
“Ya iya toh, Mas. Memang saya harus cari uang bagaimana lagi, wong tangan kanan saya ini aja udah ga bisa diam,” Ibu itu bicara sambil mengangkat sedikit tangan kanannya yang sudah struk. “Dulu sebelum tangan saya seperti ini, kerjaan saya yah, jadi pembantu di rumah orang kaya, Mas. Dapat kerjaan sekalian dapat tempat tinggal. Sekarang karena tangan saya sudah ga bisa saya pakai untuk bekerja, ya akhirnya saya ngemis aja untuk biayain hidup anak.”

Akhirya saya disedikit tersentil dengan pembicaraan kami tadi. Setelah saya menggoda kembali anaknya ibu tua itu. Saya mencoba mencubit pipi anak itu yang memang terlihat tembam. Namun di saat menggoda anak itu hati saya terus bertanya-tanya.

“Mengemis. Mengemis bukannya suatu yang tidak baik, bahkan dilarang dalam pandangan agama, dan sepertinya juga pandangan sosial-budaya? Bukannya ustadz-ustadz di majlis-majlis ta’lim selalu mengatakan bahwa ‘tangan yang di atas adalah lebih baik dari tangan-tangan yang di bawah’?”

“Namun bagaimana dengan kejadian ibu tua pengemis ini? Mengemis dengan sebuah tujuan mulia, mempertahankan hidupnya dan memperjuangkan kehidupan anaknya sehingga dapat suatu yang bisa dikatakan ‘layak’. Apakah tidak lebih baik Ibu pengemis tua ini dibanding dengan orang-orang kaya yang selalu memberikan sumbangan namun tetap juga melakukan korupsi?”

“Lalu apakah mengemis terlarang bagi ibu tua ini yang sudah tidak punya daya apa-apa lagi untuk mencari sebuah nafkah kehidupan, kecuali hanya dengan mengemis, demi sebuah tujuan mulia memberikan kehidupan bagi anaknya? Apakah agama masih tega melarang ibu tua itu menjadi seorang pengemis, ditengah-tengah orang-orang kaya yang borjuis dan egois dan negara yang tidak mempunyai rasa simpati dan empati?”

Akhirnya waktu seakan-akan menyuruh saya untuk segera pulang. Dan akhirnya dengan meminta ijin terlebih dahulu kepada ibu tua itu, saya beranjak ke tempat parkir motor dan segera meninggalkan senayan.

No comments: