Wednesday, April 25, 2007

Syariat Ayo, Hakikat Monggo...

Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Saya yang merasa panas di dalam rumah, mencoba mencari kesejukan angin malam. Malam itu saya keluar untuk sekedar berjalan-jalan. Seperti biasa memang kalau saya tak bisa tidur, entah itu karena merasa kepanasan di dalam rumah atau memang karena ada masalah yang dipikirkan. Saya pergi keluar rumah.

Kali ini saya mencoba berjalan lewat pintu belakang rumah saya. Karena memang saya ingin menuju jalan raya untuk sekedar melihat kendaraan lalu lalang di bawah terang lampu jalan. Namun ketika melewati suatu warung saya menemukan Ivan dan Yomi sedang asyik di dalamnya. Mereka sedang ngopi kelihatannya. Tanpa menunggu waktu lama, saya langsung masuk ke warung itu untuk menegur mereka.

Dan ternyata ketika saya tegur mereka tak begitu terkejut. Ketidak-terkejutan mereka, karena mereka sedang serius berdiskusi suatu masalah.

“elu, Id.” Yomi yang saya tegur hanya menjawab demikian. Lalu mereka kembali melanjutkan diskusi mereka.

“Tapi, menurut gue, syariat itu kepentingannya seperti pentingnya tanda-tanda lalu lintas di jalan raya.” Yomi bicara dengan sangat serius.

“Waw, ngomongin masalah syariat yah?” Saya sedikit tertarik dengan bahasan diskusi di lewat tengah malam itu.

“Iya.” Yomi yang sedang serius bicara dan terpotong oleh pertanyaan saya tadi langsung menjawab dengan agak sedikit kesal.

“Van, coba elu lihat di sana,” Yomi menunjukkan tangannya keluar warung. “Lihat lampu lalu lintas itu. Coba kalau elu pikirin ga ada itu, bagimana jadinya?”

“Mungkin akan terjadi kecelakaan.” Saya yang tidak ingin kelewatan pada diskusi ini langsung menjawab pertanyaan yang Yomi lontarkan, sebenarnya, untuk Ivan.

“Nah, elu bener, Id. Pasti akan terjadi kecelakaan di sana-sini.”

“Apakah tidak mungkin, kalau banyak orang yang telah sadar akan etika bagaimana hidup bersama, walaupun tanpa adanya marka atau lampu lalu lintas itu, tidak terjadi kecelakaan di sana-sini?” Ivan langsung melemparkan pertanyaan yang bersifat kemungkinan.

“Ngga bisa. Tetep harus ada, tuh, yang namanya marka jalan atau lampu lalu lintas. Saya yakin kita akan tidak aman berada di jalan kalau tidak ada aturan lalu lintas itu.” Saya kali ini memihak Yomi.

“Betul. Gua setuju, Id, ama apa yang elu omongin barusan. Kita ngga bakalan aman kalau tidak ada yag namanya aturan lalu lintas.” Yomi senang sepertinya karena mendapat belaan dari saya.

“Tunggu, kan saya bilang, kalau banyak orang yang sudah mengerti akan etika hidup bersama di jalan. Ingat, yang saya bicarakan adalah suatu yang ideal.” Ivan bicara sambil tersenyum dan terlihat sangat tenang. Memang itulah pembawaannya, tenang.

“Ah, ngga mungkin tuh, bakalan kaya gitu. Menurut gue, non-sense ama yang namanya kondisi yang ideal. Tetep perlu ada yang namanya tanda-tanda lalu lintas di jalan raya. Jadi kalo menurut gue, syariat itu yah seperti tanda di jalan itu. Penting dan kaga bisa di tawar-tawar.” Yomi bicara dengan sedikit emosi.

“Jika kita kembalikan masalahnya ke masalah syariat, berarti, menurut sampeyan syariat itu tidak perlu lagi digunakan ketika orang-orang sudah banyak yang mengerti bagaimana cara menuju Tuhan?” Saya bertanya kepada Ivan.

“Bukannya ada suluk atau jalan hakikat untuk menuju Tuhan?” Ivan balik bertanya.

“Menurut gue. Pokoknya ngga ada tuh ceritanya orang yang kaga sholat masuk surga. Orang yang kaga puasa di bulan ramadhan itu kaga masuk neraka. Biar dibilang dia itu penganut ajaran hakikat atau apalah.” Yomi emosi lagi.

“heh…,” Ivan tersenyum sebentar. Dan langsung segera menjawab argumen yang sedikit emosi dari si Yomi dengan ketenangannya. “Yom, pada dasarnya, saya pribadi, ingat kata-kata saya, saya pribadi, setuju dengan pendapatmu. Kenapa saya bilang saya pribadi, karena yang mengerti kadar ketakwaan dan kedekatan saya sama Gusti Alloh, adalah saya pribadi, bukan kamu, dan bukan Aid.”

“Tapi, mbo ya kita dewasa sedikit dengan tidak menyalahkan orang begitu saja karena ia berbeda dengan kita. Bahwa mereka tidak menjalankan syariat yang ada namun berjalan menuju Tuhannya dengan suluk hakikat. Toh, ya sama-sama menuju Gusti Alloh.”

“Terus tadi saya bilang, saya sebenarnya setuju dengan pendapat kamu. Karena saya tahu kadar kedekatan saya sama Gusti Alloh. Saya masih membutuhkan aturan yang bisa mengingatkan saya sama Gusti Alloh. Saya masih memerlukan panduan hukum untuk sekedar dekat dengan Gusti Alloh. Jelas, saya masih membutuhkan sebuah syariat. Mungkin juga kamu, mungkin juga Aid.”

“Tapi, banyak orang yang sudah bisa dekat bahkan merasa menyatu dengan Tuhan tanpa menjalankan sebuah syariat yang kita anut. Nah, orang-orang itulah yang saya bilang tadi sebagai orang-orang yang sudah mengerti etika hidup bersama ketika berada di jalan raya. Dengan ada atau tidak adanya tanda-tanda lalu lintas, mereka mengerti bahwa ketika ada yang sedang menyebrang harus mengurangi kecepatan, ketika mengendarai kendaraan di sekitar perumahan, tidak ngebut. Atau ia tahu bahwa pejalan kaki harus berjalan di sebelah kiri, karena akan membahayakan dirinya. Seperti itulah gambaranya.”

“Namun, saya lebih cenderung mengatakan bahwa kita sebagai manusia masih sangat membutuhkan aturan, masih sangat membutuhkan sebuah syariat yang akan mengatur dan memberikan sebuah perdamaian yang berdampak pada sebuah ketenangan. Kenapa demikian? Karena kita ketahui bahwa sifat kebanyakan manusia, apalagi sekarang ini, adalah cenderung lebih mudah membuat keonaran dari pada melakukan kebaikan. Lebih mudah berbuat dosa dari pada melakukan kebajikan. Dengan keadaan seperti ini, bagaimana mungkin, jika tanpa aturan, akan terjadi keseimbangan dan perdamaian. Pasti yang ada saling gontok-gontokan. Saling bunuh-bunuhan. Saling tuduh-tuduhan. Dan saling-saling lainnya. Bayangkan, sekarang aja, dengan banyak aturan di sana-sini, manusia masih saja tidak mematuhinya. Apalagi tidak ada tuh yang namanya konsekwensi sebuah ketidak-taatan pada hukum atau, syariat dalam hal ini.”

“Jadi menurut saya, untuk saya pribadi masih sangat memerlukan sebuah syariat untuk ingat kepada Gusti Alloh. Terlepas dari ketidak-tahuan saya tentang apakah kebanyakan manusia memang harus menggunakan syariat karena suatu keadaan atau kondisi sifat kemanusiaan yang memang telah ditakdirkan seperti adanya oleh Gusti Alloh. Tapi, tetap. Saya pribadi tidak punya ke-otoritasan untuk mengatakan bahwa seorang yang berjalan menuju Tuhan tanpa menjalankan sebuah syariat adalah sebuah kesalahan. Jadi menurut saya, SYARIAT AYO, HAKIKAT MONNGO....”

Lama saya dan Yomi terdiam. Kami hanya mendengarkan Ivan yang bicara dengan nada tidak menggurui. Dan tidak memaksakan kehendaknya untuk diikuti dan disetujui. Karena ia selalu saja mengatakan menurut pribadi saya… menurut pribadi saya…..

Dan tak terasa waktu sudah mendekati pukul 2 pagi. Dan tanpa adanya keputusan bahwa saya atau Yomi setuju dengan penjelasan panjang lebar Ivan, kami semua memutuskan untuk pulang.

No comments: