Thursday, March 8, 2007

Kejahatan Pemerintah dan Dukungan Ulama

Kemarin malam saya sengaja makan di warung Bu Sonah, kaerna saya sudah rindu ingin mencicipi sayur lodeh buatannya. Kerinduan saya itu karena sudah hampir seminggu saya tidak di Bekasi. Saya cuti selama satu minggu dan berada di ujung Jakarta sebelah selatan.

Seminggu waktu yang lama untuk tidak mencicipi sayur lodehnya Bu Sonah. Karena hampir setiap malam saya makan malam di warungnya. Disamping dekat dengan kost-an saya, warung Bu Sonah juga salah satu warung makan yang murah di sekitar Perumahan tempat saya ngekost.

Malam itu saya kebetulan pergi makan sendiri tanpa di temani Kang Iim, teman kost saya yang kadang juga ikut bersama saya makan malam di warungnya Bu Sonah. Namun seperti malam-malam biasanya, tempat duduk di warung Bu Sonah hampir saja tak tersisa. Selalu Ramai dan Laku Keras! Itulah kata yang tepat untuk mengilustrasikan warungnya Bu Sonah.

Kebetulan saya mendapatkan kursi persis di pinggiran jalan raya. Dan tepat menghadap base nya para penarik becak yang sebenarnya sangat mengganggu kelancaran para pengendara mobil dan sepeda motor di sekitar Perumnas II. Berada di hadapan saya tepat Bang Ipul dan Mas Karyo tengah mengobrol sambil menunggu para pelanggan yang ingin naik becaknya.

Samar-samar dari dalam warung saya mendengar pembicaraan mereka yang rupanya sedang membahas ceramahan Aa Bim, pemilik pesantren Darr Wahid, yang kemarin mengisi tabligh akbar di Perumnas II.

Sambil memainkan rokoknya Bang Ipul bicara, ”Ceramahnya Aa kemarin buat hati kita tenang yah. Apalagi saat doa terakhirnya, banyak membuat orang menangis. Termasuk gue.”

“Bener, Pul. Aku juga setelah mendengar ceramahnya jadi lupa sama kesusahan yang selama ini aku rasakan. Hebat juga Aa itu, bisa membuat banyak hati menjadi tenang dalam menghadapi susahnya hidup.” Mas Karyo menimpali dengan logat jawanya yang masih kental.

“Elo harusnya dengerin tuh, Yo. Jangan kerjaannya cuma ngeluh mulu. Dikit-dikit ngeluh, dikit-dikit ngeluh. Kaga bersyukur tuh namanya. Kan kata Aa kemarin kalo kita bersyukur atas nikmat yang telah Alloh beri kepada kita, maka Alloh bakalan tambah lagi nikmatnya.” Bang Ipul coba mengikuti kata-kata Aa kemarin, namun tetap saja logat betawinya tidak hilang.

“Lho, bukannya sampeyan yang mengeluh terus kalau sepi pelanggan, Pul,” Mas Karyo langsung menimpali dan nampaknya tidak mau disalahkan karena sering mengeluh. “Enak aja ceramah-ceramahin orang, wong sampeyan aja masih sering begitu.”

“Iya juga yah, Yo. Emang susah supaya hati ini bisa tenang ditengah kondisi kita yang memang susah. Tapi betul kata Aa, kita harus mulai dari sekarang, dari diri sendiri, dan dari hal yang kecil.” Bang Ipul berbicara sambil mengepulkan asap rokoknya yang sempat dia hisap tadi.

“Bener banget, Pul. Walaupun kita ini wong cilik. Kita harus jadi orang besar dengan sifat syukur dan sabar. Dan itu semua harus kita mulai sekarang. Dari pada kita selalu merasa kesusahan dan akhirnya kita meresa kesal sendiri dengan kondisi kita yang sepertinya tidak akan berubah, hehehe….”

“Hus…. Kalo lu ngomong begitu, namanya lu putus asa sama rahmatnya Alloh. Begitukan yang kemarin Aa bilang. Kalo Kita ga boleh putus asa dari rahmat Alloh karena jika kita putus asa akan rahmat Alloh, itu akan menyiksa jiwa kita aja. Wong udah tersiksa malah nambah nyiksa diri dengan berputus asa dari rahmat-Nya.”

Di belakang mereka, saya asyik mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Walau makanan saya sudah habis, tapi saya tetap saja duduk karena tidak mau ketinggalan apa yang mereka bicarakan. Setelah nampak selesai pembicaraan mereka baru saya bangun dari kursi saya dan menuju Bu Sonah yang sudah menunggu dengan kalkulator berasnya.

Setelah keluar dan menegur Bang Ipul dan Mas Karyo yang memang telah saya kenal, didalam perjalanan pulang saya coba merenungi apa yang mereka bicarakan. Dalam hati, saya berujar, walaupun kelihatan mereka sepertinya telah lepas dari “rasa” kesulitan yang mereka alami, namun kesulitan sebenarnya tak pernah hilang dari mereka. Pemerintah, dengan segala ketidakbijaksanaannya dan setiap ketidakbecusannya dalam mengelola negara, terutama wong cilik, sepertinya telah dibela dan didukung oleh para dai-dai yang selalu menyerukan syukur, sabar dan tawakal dalam dakwahnya kepada rakyat kecil seperti Bang Ipul dan Mas Karyo.

Pemerintah secara tidak langsung telah terlindungi dari segala macam kritik-kritik dan ketidakpuasan wong cilik terhadap kepemimpinannya yang sangat mementingkan perut dan nafsunya sendiri, karena para wong ciliknya sudah merasa tenang dengan ceramahan-ceramahan yang sangat menyentuh hati dan bisa menenangkan diri, walaupun ditengah kesusahan dan kesulitannya yang tak lain dan tak bukan memang disebabkan oleh pemerintah yang tidak becus mengurus negara. Kalau saya berpikikr buruk, mungkinkah para ulama kita telah bekerja sama dengan pemerintah kita yang sontoloyo???

Tapi…., biarlah kalau memang para wong cilik sudah bisa tenang, sabar, bersyukur dan tawakal sama Gusti Alloh. Bukankah hidup itu akan lebih hidup jika kita bisa tenang dalam menghadapi setiap kegalauan, sabar dalam setiap kesulitan, bersyukur dalam setiap kekurangan, dan tawakal atas apa yang sudah digariskan oleh Gusti Alloh. Semoga saja dengan ketenangan para wong cilik dalam menghadapi kesulitan hidupnya terbayarkan dengan suatu yang berharga. Yaitu surga bahagia di alam lain.

Saya cuma bisa bilang selamat kepada pemerintah kita yang sontoloyo, karena telah tertutupi keborokannya dan bisa hidup tenang dengan kebusukan-kebusukannya.

Lalu tiba-tiba terdengar suara dari belakang, “Kang…, KangAid….. HP-nya ketinggalan nih….” Mas Karyo lari mengejar saya dari belakang sambil berteriak dan mengangkat tangannya menunjukan HP saya yang ketinggalan.

No comments: