Thursday, March 8, 2007

Mitos Vs Sunnatullah

Kemarin, tepat diwaktu malam yang dingin yang langit-langitnya pelit dari cahaya bintang atau memang bintang-bintangnya yang memang enggan bertemu dengan awan hitam sehingga tidak memberikan gemerlap sinarnya, Saya pergi ke mushallah sebelah rumah untuk mencari udara segar dan ingin coba sedikit merenggangkan semua keletihan yang menimpaku selama beberapa hari ini. Keletihan itu sebenarnya bukan hanya pada persendian tubuh yang sudah mulai tambun ini, namun lebih dari itu. Yah, saya nampaknya sudah mulai mengalami kebosanan dalam rutinitas kerja. Tapi saya sempat berpikir apakah manusiawi rasa bosan yang saya derita? Ah, saya mencoba memahaminya seperti itu supaya keletihan itu tidak memunculkan keputusan-keputusan yang emosional.

Saya membuka pintu samping rumah saya dan mulai menaiki anak tangga yang menuju mushalla. Dan ketika saya sampai pada latar mushalla itu, saya terkaget melihat seorang yang sepertinya tidak asing bagi saya. “yah, itu… sepertinya itu Bang Ivan” saya mencoba meyakini dalam hati. Lalu saya melihat jam tangan saya yang sudah menunjukkan waktu hampir masuk tengah malam, “jam sebelas lebih dua puluh menit” gumam saya dalam hati. Lalu saya coba mendekatinya dan memang itu benar Ivan.

Kemudian saya menghampiri dan berdiri di sampingnya sambil ikut menatap hamparan langit tanpa bintang dan mulai bertanya, “lagi ada masalah, Bang?”

“eh, ngga ko”
“jangan bohong”
“ngga, cuma lagi merenungi mitos”
“Mitos?”
“yah”
“aneh”
“ko aneh?”
“aneh aja, soalnya bukannya sampeyan ngga percaya sama gitu-gituan, Bang?”
“Kamu percaya?”
“Bukannya sampeyan pernah bilang. Kalau yang harus kita percayai itu adalah sunnatullah saja. Titik. Tidak ada kompromi dengan semuanya, apalagi sama yang namanya mitos”
“Hem…..” Ivan tersenyum.
“Kalupun suatu yang buruk itu teradi, itu adalah semata-mata karena perilaku kita yang menyalahi sunnatullah. Sunnatullah itu kan suatu kebaikan tuhan yang dianugerahkan kepada kita. Tingggal kita mau memelihara sunnatullah itu apa tidak? Cuma itu kan pilihannya”

“ngga tahu nih. Saya lagi gundah sama yang namanya mitos. Padahal saya yakin ada takdir yang mengikuti manusia hidup di dunia ini”
“memang masalahnya apa sih, Bang?”
“mata sebelah kiri saya sudah seminggu ini berkedut-kedut. Dan kata banyak orang atau mitosnya bahwa akan terjadi suatu kedukaan yang akan menimpa”
“hehehehe…..” saya tertawa dengan sedikit ditahan karena hari memang sudah agak larut.
“kok kamu tawa?”
“ngga. Ternyata sampeyan bisa juga gundah. Dan yang saya ga habis pikir, gundahnya itu disebabkan sama yang namanya mitos. Ngga sampeyan banget sih.”

“Saya juga ga tahu perasaan takut ini begitu kuat akan kebenaran terjadinya mitos itu. Saya seperti dikuasai oleh yang namanya perasaan, itu memang saya tahu dan saya akui. Tapi untuk melepaskan kegundahan ini sulit sekali,” Ivan sedikit serak mengeluarkan suaranya. “Apalagi ibu saya sekarang sedang sakit. Ibu yang sedang sakit saja sudah merupakan duka buat saya, apalagi jika lebih dari itu,” ivan diam sebentar dan melanjutkan lagi, “Itu yang sangat saya takuti akan terbuktinya kebenaran mitos itu.”


“mbo ya coba tenangkan dulu perasaan sampeyan dan coba berpikir jernih, Bang,” saya coba menenangkan ivan yang sudah mulai serak suaranya. Ivan memang sangat sayang sama ibunya. Dan karena ibunya mungkin yang sepertinya telah menghilangkan logikanya. Karena seingat saya dia pernah bilang bahwa cinta pada ibu itu tak akan pernah bisa dilakukan dengan logika namun hanya dengan perasaan.

Saya kemudian melanjutkan berbicara, “Coba sampeyan ke dokter, periksa ada apa sama mata sebelah kiri sampeyan. Mungkin saja ada debu yang masuk yang dapat menyebabkan infeksi. Kalau masalah takdir hidup seseorang, bahagia, duka, sakit atau lebih dari itu, meninggal, misalnya, itu mah sudah terangkum dalam sunnatullah, kalau begini akan terjadi begini, kalau begitu akan terjadi begitu, namun tetap dapat terjangkau dengan nalar. Kan sampeyan pernah bilang kalau filosofi hidup manusia itu sangat sederhana, yaitu PERGI UNTUK KEMBALI. ‘Pergi’ disaat Tuhan menciptakan kita, ‘Untuk kembali’ disaat tuhan mencabut nyawa kita karena memang kita hanya miliknya bukan milik yang lain.”

“Benar kamu” Ivan sedikit mulai tenang dan mulai agak banyak senyumnya.

Lalu tiba-tiba dari arah bawah terdengar suara lelaki yang sedikit berteriak memanggil “Bang Ivan…, Bang.. Ibu.., Bang. Ibu….ibu…..” suara itu adalah suara adik laki-lakinya ivan.

“Kenapa dengan ibu?”
“Ibu….. udah lah bang cepat pulang dulu ke rumah…”

Lalu Ivan dengan tidak memperdulikan sandal yang ia pakai tadi segera berlari dan turun melalui anak tangga dan terus berlari dengan tergesa-gesa menuju rumahnya. Dan saya hanya bisa berdoa dalam hati sambil mengikutinya dari belakang sambil berjalan, karena saya tak bisa lari cepat akibat terjatuh kemarin lusa saat bermain sepak bola. “mudah-mudahan tak terjadi apa-apa pada ibu.”

No comments: