Thursday, March 8, 2007

Kapasitas Menilai Hati

Seperti biasa, di serambi mushalla, setelah shalat maghrib berjamaah, sambil menunggu datangnya waktu isya, ada beberapa teman yang sengaja duduk-duduk santai sambil ngobrol ngalor-ngidul dan ngeroko', kadang juga pake ngopi. Pekerjaan rutin yang kelihatan ga penting atau isengan. Dimalam itu yang hadir lengkap – saya, yomi, ivan dan ubay.

“Kemarin ane lihat artis-artis di Rawajati, Kalibata. Mereka seperti super hero di tengah-tengah musibah banjir” ubay membuka pembicaraan. ubay memang teman saya yang paling kritis namun kadang agak arogan menilai sesuatu.

“wah kamu lihat langsung artis-artis ibukota itu? Saya juga lihat, kemarin, tapi Cuma lewat tv” Yomi menanggapi dengan agak polos. Maklum yomi memang salah satu teman saya yang sebenarnya tak jago kalau masalah diskusi.

“Bener, Yom,” Ubay yang tadinya pada posisi merebahkan tubuhnya langsung berusaha duduk dan menyandar ke dinding mushalla, “ane lihat langsung, ada beberapa artis ibukota di sana ”

“Bay, bay… cuma lihat artis ibukota aja ko bangga” ivan sepertinya tidak begitu tertarik dengan sesuatu yang glamour, seperti kehidupan para artis di negeri ini dan belahan dunia lain. Memang dia adalah teman yang sangat berpenampilan dan berperilaku sederhana. Ivan juga teman yang paling dekat dengan saya, walaupun kami sering berpergian dan kumpul-kumpul berempat.

“Wong bangga itu di tempatkan pada posisi semestinya” Saya sedikit berkomentar dan mengamini pernyataan ivan kepada ubay, walaupun saya sebenarnya tidak begitu mengerti dengan pernyataan saya sendiri. Sebenarnya saya, diantara teman-teman saya, agak pendiam, tapi saya sangat senang kalau mendengar teman sedang berdiskusi.

“Bukan itu sebenarnya yang ane permasalahkan,” Ubay sepertinya agak emosi dengan pernyataan saya dan ivan tadi, “tapi menurut ane, para artis itu cuma ingin cari popularitas aja dengan cara membantu para korban banjir di Kalibata.”

“Iyah juga sih, soalnya ini memang salah satu situasi yang pas, aji mumpung lah, untuk menjadi populer.” Yomi mnyetujui pernyataan Ubay.

“Hush, ngawur kalian!” ivan langsung menimpali, “mbo ya jangan arogan nuduh-nuduh orang yang ngga-ngga. Sekarang begini, kalau memang benar mereka seperti itu, kan ngga ada ruginya bagi para korban banjir yang mereka bantu”

Saya pikir ivan ada benarnya. Buat apa kita sibuk mengurusi hati orang, yang mana hakikatnya cuma dia yang punya hati dan Tuhannya yang tahu. Lagi pula sepertinya bukan itu masalah yang terpenting. Ada yang lebih penting dari pada masalah hati seseorang dalam menolong.

“Yang paling penting, banyak para korban banjir yang tertolong atas setiap hajatnya. Urusan para artis ikhlas dan tulus atau dia pamrih karena kepopulerannya, mbo ya jangan dibahas, kan bukan kapasitas kita kalau masalah urusan hati. Tapi masalah dia sama Tuhannya.”

“ya…., tapi,…. E..e…. ane ga suka aja ama kelakuan artis-artis kita sekarang, walaupun ga semuanya sih”
“kenapa emang?” saya melemparkan pertanyaan kepada ubay.
“ya…. Karena, kadang mereka hidup glamour dengan segala ke-glamour-an duniawi yang ada, namun kadang bak super hero yang aji mumpung ngebantu korban bencana. Wajar kan kalau menurut ane mereka cuma cari popularitas doang dengan ngebantu para korban.”

“Mbo ya jangan begitu. Lebih baik kita ngedoain semuanya, para korban dan para artis yang menyumbang, supaya selalu dalam kebaikan dan selalu berada di jalan Tuhan” ivan dengan kesederhanaan dan kebijaksanaanya mencoba menasehati ubay.

“iya, lagian ngomong-ngomong kamu udah nyumbang belum, Bay?” Saya bertanya pada ubay.
“ehm….Belum sih”
“ha…ha…ha…ha…..” kita tertawa bersama.

Dan akhirnya masuk waktu isya. Dan saya langsung menuju kamar di salah satu sudut mushalla untuk adzan.

No comments: