Thursday, May 10, 2007

Dilema Hari Pendidikan

Udara malam saat itu sangat dingin. Saya dan Yomi masih berada di rumah Ivan setelah ikut acara nujuh hari-in Baba Hasan. Acara selesai sekitar pukul delapan. Kami bertiga akhirnya duduk-duduk di teras yang masih terselimuti tikar, setelah selesai bantu Ivan dan keluarganya beres-beres.

“Kalian kemarin lihat ga, acara di tv? Sekitar jam 9-an malam.” Yomi membuka acara santai kita di teras rumah Ivan.
“Acara apa?” saya balik bertanya.
“Itu loh, acara parodi negara kita.” Yomi menjelaskan.
“Ngga tuh.” Saya menjawab.
“Bahasannya bagus banget.”
“Bahas apa emang, Yom?”
“Pendidikan”
“Oh, sekalian memperingati Hari Pendidikan Nasional yah?”
“Iyah”

“Memangnya apa yang menarik dari pendidikan kita, Yom?” Ivan mulai bertanya.
“Nah, itulah yang membuat menarik. Yaitu tidak ada yang menarik pada pendidikan kita.” Yomi menjawab sambil tertawa. Dan saya serta Ivan pun ikut tertawa.

“Hus…, kamu ada-ada aja, Yom. Mbo ya, ga seharusnya kamu mentertawakan Pendidikan negerimu sendiri. Bagaimanapun juga buruk-baiknya sistem pendidikan kita, hal itu tetap merupakan salah satu sistem di negeri kita” Ivan sedikit mengingatkan.

“Bukan begitu, Van. Coba lu bayangin, padahal kita sedang memperingati harinya para pencari ilmu, yaitu Hari Pendidikan Nasional, eh…., dalam acara itu, Keborokan sistem pendidikan nasional kita malah diekspose. Tapi ya, menurut gue, memang sistem pendidikan kita banyak boroknya. Seperti, masih banyaknya sekolah-sekolah yang ambruk atau sudah tak layak lagi, seperti di Depok, Bogor, bahkan di Jakarta, katanya ada ratusan bangunan sekolah yang sudah tak layak lagi digunakan. Lalu masalah yang lain adalah kurangnya guru. Bayangin, ada beberapa sekolah yang hanya memiliki guru dua orang. Apakah namanya ini kalau bukan sebuah kebobrokan sistem pendidikan kita.”

“Lalu, Penyelenggaraan Ujian Nasional kemaren. Banyak benget mafia-mafia kunci jawaban. Mafia-mafia itu berada pada sistem. Bayangin aja, mafia-mafianya itu dari tingkatan sub-rayon sampai ke guru-gurunya sendiri. Entah apa alasannya, tapi yang pasti mereka punya alasan. Kejadian ini bukannya tanpa saksi loh, ada suatu kelompok yang menamakan dirinya dengan nama AIR MATA GURU menjadi saksi dan mereka berani membeberkan semua kesaksian mereka.”

“Lalu juga tentang UN itu sendiri masih menjadi kontroversi. Apakah layak untuk dijadikan sebuah indikator kelulusan tunggal atau tidak. Terus juga, dari dana bantuan APBN yang katanya tidak pernah menembus angka 20 persen. Serta ketidak-merataan guru-guru yang ada, yang masih kebanyakan ingin mengajar di kota-kota,entah itu karena sebuah prestise atau memang, lagi-lagi, masalah uang atau gaji yang memang pasti lebih besar gaji guru di kota-kota dari pada menjadi guru di desa. Semua hal ini, apakah bukan sebuah dilema. Disaat kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, namun kita malah diberitakan dengan sebuah kenyataan yang sangat pahit seperti ini? Nah, sekarang apa yang harus kita banggakan dengan sistem pendidikan kita?”

“Mungkin akan menjadi wajar jika banyak mafia-mafia UN. Toh sistemnya yang memaksa mereka untuk melakukan kecurangan. Dengan indikasi bahwa UN adalah sebagai satu-satunya pintu gerbang kelulusan dengan batasan nilai rata-ratanya. Lalu mungkin juga guru-guru yang mengajar di kota karena sebuah gaji yang lebih besar dibanding dengan bayaran menjadi guru di desa-desa, dapat dikatakan wajar. Karena memang gaji guru itu masih sangat rendah.”

Saya ingin sekali mencari suatu yang bisa dibanggakan dalam sistem pendidikan kita. Tapi tetap saja saya tidak bisa untuk tidak sepakat dengan semua yang dikatakan Yomi. Saya hanya bisa berkata, “Iya juga yah..” Tapi saya tetap berpikir keras untuk menemukan kebaikan sistem pendidikan kita atau paling tidak berpikir bahwa tidak seharusnya kita terus berpikir mengkritik dan hanya mengkritik saja. Seperti debat kusir.

Tiba-tiba Ivan bicara dan memotong pikiran saya, “Tapi menurut saya, yang harus diubah adalah pola pikir kita dalam menyikapi kebobrokan sistem pendidikan kita yang memang telah kita sepakati bersama. Saya sepakat dengan kamu, Yom. Tapi cara kamu berpikir itu yang menurut saya akan sangat membahayakan.”

“Maksud lu?” Yomi menanyakan ketidak-setujuan Ivan.

“Bagini, saya sepakat bahwa sistem pendidikan negeri kita masih sangat tidak bagus. Seperti, masih banyaknya bangunan sekolah yang tak layak, Masalah UN yang masih saja menjadi sebuah kontroversi, lalu guru-guru yang masih belum merata. Namun bukan berarti kita harus memaklumi apalagi sampai memaafkan tindakan-tindakan yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri atau menguntungkan dirinya sendiri. Kesalahan, tetap kesalahan. Keegoisan tetap keegoisan, dan ketidak-ikhlasan tetap ketidak-ikhlasan. Tidak bisa diwajarkan. Pemerintah saya yakin terus memikirkan masalah ini. Dan berusaha menerapkan sistem pendidikan yang terbaik untuk negeri kita. Walaupun sampai sekarang kita masih sangat sedikit sekali, atau bahkan banyak yang tidak, merasa adanya sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.”

“Sekarang kita kembali ke masalah UN. Menurut saya kecurangan yang sekarang ini sangat ramai adalah akibat sebuah prestise atau gengsi yang ada pada tiap-tiap sekolah. Sekarang begini, Yom. Apakah kamu yakin jika UN ditiadakan maka guru-guru di sekolah tersebut akan jujur memutuskan muridnya lulus atau tidak? ”

Sebuah pertanyaan kecil yang harus dijawab dan dibuktikan oleh para praktisi pendidikan di negeri tercinta kita ini. Bukan oleh Yomi. Yah, bukan oleh teman saya itu.

No comments: