Monday, May 21, 2007

Curahan Hati Kang Aid

Malam itu, Rabu, saya baru keluar dari kantor sekitar pukul 7 malam. Bukan lembur karena kerjaan, melainkan karena saya tak tahu apa yang harus saya lakukan dalam menjalani masa-masa liburan panjang. Sudah kita ketahui bersama bahwa pada hari Kamis tertulis tanggal merah dan hari Jumat dinyatakan cuti bersama. Jadilah minggu yang, banyak orang, terutama yang memiliki kampung halaman, sangat bahagia. Pulkam…pulkam…..

Tapi saya di Rabu malam itu tidak merasakan sedikit kenikmatan yang memuncak seperti teman-teman yang lain. Memang saya tidak punya kampung halaman yang sangat dirindui, itu salah satu alasannya, namun dalam hati kecil saya, bukan itu sebenarnya yang menjadi masalah utama ketidak-nikmatan yang saya rasakan. Ada hal lain yang mengganggu, namun saya tak bisa memformulasikan (mendengarkan) apa yang dikatakan hati kecil saya. Mungkin karena cuma hati kecil yang bersuara kecil yah?? Halah… tapi memang saya tak tahu…

Keluar kantor sambil lunglai berjalan menuju gerbang yang masih terbuka, saya sedikit menyapa beberapa rekan kerja yang sedang duduk-duduk ngopi. 2 orang Security yang, kebetulan, kedapetan jatah piket malam itu dan 1 cleaner yang baru merampungkan pekerjaannya. Hari itu memang saya tidak membawa sepeda motor. Berarti saya harus ngangkot. Tapi disaat sudah berada di luar gerbang, saya urungkan niat saya untuk naik angkutan umum. Pikir saya, sekali-kali jalan kaki ah…. Entah mengapa hari itu, semuanya serba sekali-sekali. Tidak membawa motor karena alasan sekali-sekali dan mencoba pulang jalan kaki juga sekali-sekali.

Tuhan, Apakah kebosanan telah menghinggapi diri saya…? Akhirnya saya mulai berjalan dengan sedikit pembukaan kata-kata tadi. Saya tersenyum sendiri dengan pertanyaan saya itu terhadap Tuhan. Pertanyaan itu…. Ah, saya yakin Tuhan pasti memakluminya.

Di bawah sinar lampu yang tak sempurna menerangi jalan Ahmad Yani yang tidak begitu banyak kendaraan lalu-lalang, saya sengaja berjalan tak secepat biasanya. Saya juga mulai tertarik untuk melihat-lihat dan mencoba merasakan sedikit kecantikan kota Bekasi yang sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di sini, belum pernah ada usaha untuk menikmati keindahannya. Karena memang, mendengar kata Bekasi (Bekesong – versi Uda Rafiq di IRadio), pasti orang-orang langsung memikirkan bahwa Bekasi adalah kota yang panas dan kampungan. Saya pun sejak pertama kali di Bekasi tak pernah punya pikiran bahwa Bekasi itu kota yang cantik, jadi, mungkin, wajar saja saya tak pernah mencoba untuk merasakan keindahannya.

Namun malam itu benar-benar berbeda. Di sebuah jalan utama kota ini, Ahmad Yani, saya akhirnya menemukan sebuah keintiman yang selama ini tak pernah terasakan. Ah, ternyata Bekasi sangat cantik…, Lagi, saya tersenyum mendengar kata hati yang tiba-tiba berbisik. Tapi tidak lama kemudian, saya bertanya balik atas kesimpulan hati saya. Ada apa dengan perasaan ini, melankolis banget sih…... Saya pun tersenyum kembali mendengar protes itu.

Kembali saya berjalan menyusuri pingir jalan Ahmad Yani. Kali ini saya melihat pemandangan di sebrang jalan, sebuah Gedung Olah Raga Bekasi, atau orang-orang biasa menyingkatnya dengan GOR Bekasi. Degan dihiasi sinar-sinar lampu yang menerangi hampir ke semua sudut-sudutnya dan pohon-pohon rindang yang mengelilinginya, GOR itu terlihat cukup indah bak surga, paling tidak untuk para pemuda-pemudi yang sedang dilanda kasmaran dan juga para pemburu kenikmatan dunia yang sesaat.

Duh Tuhan, ada apa sebenarnya dengan perasaan saya? Apakah ini sebuah pelarian perasaan? Saya terhentak dengan pertanyaan itu yang tiba-tiba saja munculnya. Saya seperti disadarkan oleh pertanyaan yang bernada keluhan itu. Saya kembali berjalan dan kali ini berusaha untuk tidak menoleh kanan-kiri. Tatapan mata yang dari tadi selalu mengarah ke kanan dan ke kiri akhirnya saya fokuskan untuk menatap ke depan. Namun, bukan berarti pikiran-pikiran atas perasaan saya terhenti. Malah justru sebaliknya. Perasaan saya tak menentu jadinya. Duh Tuhan, ada apa ini…? Saya kembali mengeluh.

Kali ini, tidak saja membuat perasaan saya seperti tercabik, namun tubuh saya terasa lemas dibuatnya. Kaki saya seperti hampir tak mampu menopang tubuh yang sudah mulai tambun. Waduh, saya ko jadi melankolis banget. Tuhan…, kenapa dengan saya?.

Akhirnya saya mencoba untuk tenang dan sedikit menguatkan hati saya, Saya adalah seorang yang kuat, saya bukan orang yang lemah. Saya kumpulkan tenaga kembali untuk meneruskan perjalanan yang seperti perjalanan para pejuang kemerdekaan negeri ini menuju medan perang melawan penjajah.

Oh…, apakah ini akibat dari rasa kesepian? Yah, saya sepertinya kesepian. Saya butuh teman untuk berbagi dan sekedar menumpahkan segala kesenangan dan kekesalan saya terhadap hidup yang saya jalani. Akhirnya saya berani untuk menyimpulkan ketidaknyamanan saya hari itu. Sedikit saya menyungingkan senyum sebagai penghargaan atas sebuah keberanian kata hati saya dalam menyimpulkan kecemasan yang melanda.

Tapi saya adalah orang yang tak berani untuk terbuka dengan seseorang, saya tak pandai bergaul dengan orang, apalagi untuk menjalin kasih dengan seorang. Tapi apakah keadan ini dapat menghancurkan hidup nantinya, jika tak dicarikan jalan keluarnya. Duh Tuhan, saya tak pandai dalam bercinta…. Apakah saya harus memaksakan untuk bercinta, hanya untuk mendapatkan teman bicara, teman berbagi, dan teman kesepian? Ah, egois dan jahat sekali saya, kalau dalam menjalin hubungan dengan seseorang hanya untuk menemani kesepian saya atau hanya untuk mendengarkan kecemasan hati saya.

Hati saya langsung teringat seseorang. Tuhan, kalau saja Engkau mengizinkan saya untuk dapat hidup bersamanya…..??!! Ah, saya sudah tahu jawabannya. Pasti TIDAK. Saya tak boleh lemah. Saya harus kuat. Saya harus bisa ikhlas dengan takdir Tuhan.

Lalu, sebelum sampai di depan Rumah Sakit Mitra Keluarga, saya menyebrang jalan Ahmad Yani. Saya terpikirkan seorang teman yang kosannya tak jauh dari Rumah Sakit itu. Saya hanya sekedar ingin mengobrol dan melupakan segala hal yang membuat saya hampir tak berdaya menghadapinya. Dalam perjalanan ke sana, saya meng-sms-nya untuk menanyakan keberadaannya.

“Kang, dimana?”

“Sy dah dprjlnan plg kindrmy rid,doain cpt pe tjuan ya! Tq b4”

Membaca jawaban smsnya, saya kembali di landa kecemasan. Namun akhirnya saya sampai di sebuah Mesjid. Dan saya memutuskan untuk shalat isya di sana dan sedikit merenung tentang hidup saya di tengah rumah Allah.

Ya Allah…….

No comments: