Tuesday, May 22, 2007

Pak Kun Diantara Dua Kewajiban

Jumat lalu, sekitar jam 11.30, saya bergegas turun dari lantai tempat saya bekerja menuju mesjid di samping kantor saya untuk menunaikan Shalat Jumat. Saat sampai di lantai tempat security berjaga, saya berhenti sejenak. Lalu kemudian saya mendekati kursi jaga tempatnya duduk. “Lho, Pa Kun, ga shalat?”

“Lagi kedapetan piket jaga lantai dua, id”
“Loh, ko bisa?”
“Ya bisa aja, Id. Saya titip doanya aja deh,. Hehe…”
“Pa Kun…..Pa Kun, memangnya Tuhan itu pacar saya, pake titip salam segala”
“Habis mau bagaimana lagi. Ini kan kewajiban saya, Id”
“Tapi kan ada kewajiban yang sifatnya lebih fundamental, Pa!?”
“Fundamental? Maksudnya?”
“Maksud saya, Shalat Jumat kan merupakan kewajiban yang lebih penting dibanding kewajiban yang lainnya. Apalagi cuma kewajiban yang sifatnya duniawi semata”
“Saya jadi bingung, Id”
“Bingung kenapa, Pa Kun?”
“Memangnya, lebih penting, sekedar penting, atau tidak penting itu sifatnya pasti yah? Kalau menurut saya sih, tidak”
“Maksudnya apa, Pa Kun?”

“Begini, menurut saya, esensi sifat, di dunia ini dan disuatu kondisi, itu sangat subyektif. Nah sekarang kondisi saya cuma orang miskin, yang kalau ga kerja, mau makan apa keuarga saya nanti, Id. Beda sama sampeyan. Nah sifat lebih penting untuk shalat jumat itu ada pada kondisi sampeyan, Id. Kalau saya, punya suatu alasan yang besar untuk memilih kewajiban menjaga kantor dari pada kewajiban shalat jumat. Ya, kehidupan keluarga saya. Emangnya sampeyan mau tanggung kelaparan dan kemiskinan keluarga saya, kalau saya akhirnya dipecat hanya karena saya tak menjalani kewajiban saya sebagai satpam?”. Pa Kun menyerang saya dengan sedikit senyuman yang agak lain, seperti menantang.

Saya cuma bisa diam mendengar argumen dari Pa Kun. Suatu argumen yang sepertinya dapat dibenarkan, namun memang sangat sulit untuk diterima. Apalagi oleh saya yang sudah berada dalam tingkatan mapan atau cukup. Apakah kecukupan dan kemapanan sudah membutakan saya dalam menilai sesuatu.

“Mungkin argumen Pa Kun, dalam kondisi Pa Kun sekarang ini, ada benarnya. Tapi menurut saya tetap ada yang salah. Yaitu yang memposisikan Pa Kun pada situasi sekarang ini, yang akhirnya kewajiban yang, seharusnya, lebih dipentingkan dikalahkan dengan kewajiban lain.”

Pa Kun tersenyum. Sepertinya ia merasa puas dengan sedikit diskusi itu. “Sebenarnya, saat ini yang kedapetan piket jaga adalah si Mas Tur, Id. Kebetulan ia sekarang lagi sakit. Nah, berarti harus ada yang menggantikan dia jaga. Saya deh yang kebagian jadi penggantinya”

Mas Tur adalah satpam di kantor saya yang satu-satunya beragama non-islam. Yah satu-satunya. Betul cuma satu-satunya. Tidak ada yang lain. Cuma Mas Tur lah seorang.

“Ya udah, mudah-mudahan pahala sampeyan sama dengan orang yang shalat jumat, Pa Kun.”
“Sampeyan, shalat ko ngarepin dapet pahala, Id?”
“Eh, Maksud saya, mudah-mudahan sampeyan sama diridhoinya dengan orang yang shalat jumat. Nanti saya salamin deh sama Tuhan, itu juga kalau ketemu yah. Kan siapa tahu aja saya ga ketemu. Hehehe…..”
Dan saya akhirnya pergi meninggalkan Pa Kun yang sedang berjihad membela keluarganya dari sebuah musuh, Kemiskinan.

No comments: