Friday, May 16, 2008

Diam: Hubungan Bathin dan Lahir

Rasul pernah menegur seseorang yang anggota tubuhnya banyak bergerak di dalam shalat, beliau berkata setelah orang itu shalat, “Apabila hatimu khusyuk ketika shalat tadi, maka khusyuk pula seluruh anggota tubuhmu.”

Ibn ‘Atha’illah pernah berkata, “Apa yang tersimpan dalam kegaiban hati, akan teraktualisasikan (termanifestasikan) di dunia nyata”. Dalam kesempatan lain dia menuliskan, juga termaktub dalam magnum opus-nya -al-Hikam, “Setiap ucapan yang keluar pasti menunjukkan kondisi hati yang mengucapkannya”.

Ketika ‘Atha’illah menyatakan bahwa apa yang tersimpan dalam hati itu akan dimengerti lewat sikap dan ucapan seseorang, tentunya secara tidak langsung ia percaya bahwa tingkat kearifan, kedewasaan, atau kejumawaan seorang terhadap ilmu dapat terukur atau diukur. Hal ini tidak jauh berbeda dengan teguran Rosul pada seseorang yang banyak menggerakkan anggota tubuhnya dalam shalatnya dengan memberikan sebuah nlai atau ukuran terhadap shalatnya. Khusyuk dan ketidak khusyuk-an seseorang dalam shalat ternyata bisa dilihat dan dinilai.

Memandang atas apa yang dikatakan sang maestro hikmah (dibaca: ‘arif), Ibn ‘Atha’illah, di atas, sepertinya beliau ingin mengajak supaya manusia itu seharusnya lebih banyak diam dan bersikap tenang. Hal ini senada dengan ungkapan “silent is golden”. Diam itu adalah bagai sebuah emas permata. Namun saya masih sepakat dengan pendapat sebagian orang, bahwasanya diam itu tidak berarti tak mengerti. Dan tenang itu bukan berarti pasif.

Jalaludin Rumi, seorang penyair sufi, pernah menuliskan sebuah kalimat,
“Hatiku penuh dengan kata-kata,

karena itu tak kuucapkan sepatah pun suara.”


Memang tidak mudah menebak atau mengartikan kalimat penyair sufi itu. Karena kalau dilihat secara tekstual, kalimat dan anak kalimat di atas tidak sejalan. Tapi barangkali kalimat itu mengandung kedalaman pikiran seseorang yang selalu dan lama dalam sebuah perenungan tasawuf. Atau barangkali itu adalah pernyataan seseorang arif yang berada dalam suatu zaman yang tidak mudah. Namun yang pasti, ketika Rumi tidak bersuara atau diam, tidak berarti ia tak punya kata-kata atau pandangan terhadap sesuatu. Terbukti dengan banyaknya buah pemikiran dari Rumi melalui kitab-kitab yang dituliskannya. Mungkin dia berpendapat bahwa tidak semua kata-kata dan pandangan terhadap sesuatu itu harus dituliskan dan dijadikan sebuah kitab. Lagi-lagi semua itu adalah sebab atas perlakuan zaman yang berbeda. Mungkin.

Di Persia, pernah ada seseorang yang bernama Omar Khayyam. Seorang yang terkenal dengan sajak-sajaknya dalam bentuk rubayyat. Meskipun ia lebih dikenal karena sajak-sajaknya, bukan berarti dia hanya pandai pada sastra. Sebenarnya dia adalah seorang ahli matematika, juga astronom. Dia adalah seorang pengikut dari Ibnu Sinna. Namun ia memilih tidak menunjukkannya atau lebih memilih diam. Rumi pernah berkata tentangnya, “hatinya penuh dengan isi, tapi ia tak mencoba mengundang orang lain bertukar pikiran”.

Memang berbeda sekali pribadi Socrates dengan Khayyam. Ketika Khayyam lebih banyak diam dan lebih memilih menuliskan segala macam pikirannya lewat sajak-sajaknya, berbeda dengan Socrates, ia seorang yang tidak pernah menuliskan buah pikirannya. Ia lebih suka berdiskusi. Namun diskusi yang ia lakoni bermula dari seringnya ia mendengar pendapat-pendapat yang menurutnya tidak sesuai. Benar adanya bahwa Socrates pernah mengatakan, Tuhan menciptakan manusia dengan satu mulut dan dua telinga. Itu artinya seharusnya manusia lebih banyak mendengar dari pada berbicara.

Abu hasfah pernah berkata, “Indahnya adab secara lahir mencerminkan apa yang tersembunyi di dalam batin”. Dengan perkataan itu kita sepertinya dapat mengambil hikmah bahwa yang tersembunyi pada hati dan pikiran, yaitu berupa cahaya ilahi, makrifat, dan ilmu, akan mempengaruhi gerak-gerik pada anggota tubuh atau lahiriah seseorang.

No comments: