Friday, May 16, 2008

Kuntoyo

Akhirnya saya melihat lagi Pak Kuntoyo, satpam kantor, setelah hampir dua minggu tidak menjenguknya. Sebenarnya kemarin saya sempat datang ke rumah sakit umum di Bekasi untuk menjenguknya, sekalian menjenguk orang tua dari teman lama yang kebetulan dirawat di tempat yang sama. Apa mau dikata, ternyata saya tidak tahu kabar bahwa beliau sudah kembali ke rumahnya.

===================

Pak Kuntoyo adalah satpam di gedung kantor saya sejak pertama kali kantor saya pindah. Dia adalah seseorang yang sangat berusaha friendly terhadap siapa saja. Walau asli jawa, tapi sudah sangat medok logat betawinya. Di Bekasi, ia tinggal bertiga dengan istri dan seorang putri di sebuah rumah petak yang ia sewa per bulannya.

Dia adalah termasuk seorang satpam senior. Pengalamannya telah banyak sekali menjadi seorang pengaman gedung. Pernah dahulu, menurut ceritanya, ia menjadi satpam di suatu bioskop di bekasi. Jaringannya sangat luas. Teman-temannya sangat banyak. Itulah bukti bahwa dia sangat friendly terhadap siapa saja. Tertawanya sangat khas, walau kadang berlebihan. Tapi itulah salah satu kelebihannya sehingga kita tak pernah bosan berbicara dengannya.

====================

Infeksi otak. Penyakit itu yang menjadi diagnosa dokter. Namun kabar pertama yang saya dengar dari teman-teman cleaning, dua minggu lalu, adalah serangan gejala stroke. Ketika mendengar kabar tersebut, yang pertama kali saya dengar dari Pak Kurniadi, hari itu juga saya langsung bergegas untuk menjenguknya bersama teman-teman cleaning dan security kantor.

Jabatan tangan saya tak kunjung dilepasnya saat awal bertemu dengannya. Namun genggaman tangannya dihiasi dengan tatapan mata yang kosong. Ia sempat merintih kesakitan. Namun tetap jabatan tangan saya sulit sekali untuk dilepaskan. Dia terus menggenggam tangan saya. Dalam hati saya menangis mendengar rintihannya. Ingin sekali melepaskan tanganya dan berbalik meninggalkannya karena saya sangat tidak kuat menghadapi tatapan dan rintihannya.

=====================

Ya Allah, apakah Engkau tidak punya rasa kasihan memberikan penyakit ini untuknya?

Ya Allah, apakah ujian ini tidak terlalu berat untuk ditanggung keluargnya?

Ya Allah, tidakkah Engkau punya mata, telinga, dan hati?



Atau apakah cobaan ini adalah jalan terbaikMu untuk dia dan keluarganya?

Atau apakah sebenarnya ujian ini semata bukan hanya untuknya, melainkan juga untuk orang-orang disampingnya, teman-temannya, dan para atasannya untuk saling berbagi?


Ya Allah, saat ini pintaku hanya satu, berilah kesabaran dan keikhlasan atasnya dan keluarganya. Karena saya yakin inilah sejatinya hidup, Sabar dan Ikhlas.


Kalimat dalam hati tak terhindarkan sesaat setelah genggaman tangannya terlepas. Ada rasa menggugat, walaupun pada akhirnya saya berusaha mengerti takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan. Karena memang itu tugas kita sebagai manusia di dunia ini. berusaha mengerti dalam setiap takdirNya. Itulah hakikat sabar dan ikhlas.

=====================

Selasa, 13 Mei 2008. Saya di telepon oleh Pak Kurniadi. …Id, mau jenguk Pak Kuntoyo? Dia mau pulang ke Jawa jam 9 pagi ini… Kabar kepulangannya yang sebenarnya telah saya ketahui sejak kemarin. Jam saat itu menunjukkan pukul 8 lebih. Akhirnya saya mengiyakan ajakan Pak Kurniadi, kepala seksi saya. Kembali seperti jengukan sebelumnya, teman-teman claning dan security kantor pun ikut turut serta.

Kami semua naik sepeda motor, karena rumahnya berada di suatu gang dengan jalan yang tidak besar. Ketika sampai di rumah kontrakannya, terlihat begitu banyak orang. Sepertinya mereka telah bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya.

Satu persatu kami menyapa dan bersalaman dengan Pak Kuntoyo. Tubuhnya semakin terlihat kurus dan lusuh. Matanya yang sangat cekung memberikan tatapan yang kosong. Dia tidak kenal kami. Ingatannya seperti menghilang. Ia seperti kembali menjadi bayi, tanpa suara tak bisa bicara. Gerakannya pun dibantu oleh sang istri. Walau akhirnya tersurat senyum di bibirnya, namun masih terlihat memaksa, karena tatapannya kembali kosong. Kembali hati saya terasa sakit. Melihat seorang teman ngobrol disaat lembur saya, tidak mengenali saya lagi.

Tapi itulah yang terjadi. Pak Kuntoyo akhirnya memang harus menjalani tahap ini. Tahap dimana memang terasa sulit untuk menerimanya. Infeksi Otak. Penyakit yang, mungkin, tak pernah terpikirkan oleh dia dan keluarganya, namun akhirnya menjadi sesuatu yang harus mereka hadapi. Entah ini sebuah sandungan atau ini sebuah lubang besar, tergantung dari sudut apa mereka atau kita ingin memandangnya. Yang saya yakini adalah bahwa baik atau tidaknya af’al Tuhan itu tergantung atas bagaimana kita memandangnya dan meyakininya.

Dan dengan rasa berat hati, kami semua akhirnya kembali dan berpisah dengannya, entah untuk waktu yang berapa lama. Dan hidup serta waktu harus tetap bergulir seperti daun-daun yang tak henti berguguran dari pohonnya. Lekas sembuh, Pak…

=======================

Tulisan ini saya persembahkan untuk Pak Kuntoyo. Karena, mungkin, itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Dia telah pulang ke kampung halamannya, entah untuk waktu yang sebentar, lama, atau sangat lama, atau bahkan untuk selamanya. Tapi saya berharap kita dapat bertemu kembali, walau entah kapan dan dimana.

No comments: