Friday, December 12, 2008

Menulis, Kopi, Iwan Fals, dan Konsep Hidup

Mulai dari mana yah? huuh…. bingung. Sudah lama sekali soalnya tidak menulis. Untuk memulai lagi itu rasanya sulit, setelah sekian lama absen mengisi blog ini. Tapi coba dipaksakan deh…. Walau mungkin tulisan ini akan sedikit membosankan. Karena, paling hanya berisi curhatan seorang yang sedang bingung. Kebingungan yang bukan saja hanya pada pencarian ide untuk menulis, tetapi juga kebingungan untuk mencari IDE sebuah kehidupan. Ah, terlalu berat rasanya untuk bicara sebuah IDE kehidupan, apalagi pada sebuah keberanian menulis yang baru lagi muncul.

Sengaja buat kopi dulu untuk menemani menulis. Yang kebetulan ide kesengajaan itu timbul karena gambar sebuah cangkir kopi di head blog ini dan juga warna coklatnya yang sangat membuat hati saya selalu tenang dan sebuah warna kesukaan saya. Yah, sengaja memang. Tapi itu harus dihargai, karena itu juga sebuah ide, meski sederhana. Dengan sebuah harapan sih tentunya. Yaitu penemuan sebuah ide untuk menulis. Walau sampai baris ini, belum juga ada ide yang merasuki imaji saya.

Srup…srup… nikmatnya kopi ini. Tapi saya tidak ingin membahas sebuah kopi. Karena sejujurnya saya sedang berusaha untuk berhenti dan melupakan kenikmatan tiada taranya sebuah kopi.

Yang tak kalah peran pentingnya dalam membimbing keberanian saya untuk menulis saat ini adalah Iwan Fals yang terus saja dan tak berhenti menyanyikan lagunya. Musiknya yang sederhana seperti menghantarkan saya pada sebuah kehidupan lain. Kehidupan di luar sombongnya rutinitas yang masih saja tak pernah berhenti. Kehidupan yang hampir-hampir berhasil membuat saya merasa nyaman dan tak mau pergi dari kemapanan duniawi.

Srup…srup… nikmatnya kopi ini. Tapi, lagi-lagi, saya tidak ingin membahas sebuah kopi. Karena sejujurnya saya sedang berusaha untuk berhenti dan melupakan kenikmatan tiada taranya sebuah kopi.

= = = = = = = =

Seringkali kita menjalani hidup ini, seperti tidak memiliki konsep. Padahal konsep itu sejatinya ada, tapi kita hanya tidak menyadarinya saja.

Malam ini saja contohnya. Ada sebuah dialog menarik dengan teman baru -rumah kos- di atas sebuah sepeda motor usang. Ide dialog itu bermula dari sebuah warung kumuh yang menjual nasi uduk dengan sepasang tua renta yang menjadi pemilik sekaligus pelayannya.

“Penjualnya itu sepertinya orang betawi bekasi yah, rid”. Sebuah dialog bermula. Pertanyaan ini muncul karena, mungkin, teman saya merasa heran perihal keakraban saya dengan sepasang tua renta penjual nasi uduk itu.

“Iyah. Orang betawi. Kebetulan udah lama ngga makan di sana”. Saya menerangkan tentang sudah jarangnya saya makan di tempat enyak, sebutan untuk penjualnya.

“Oh….Iyah. Aku dah ngira sih kayaknya betawi banget. Betawi bekasi gitu”.

“Kalau makan di sana, seperti terasa di kampung sendiri, Jadi, dulu saya sering makan di sana.”

“Oh…”

“Nikmat kalau sudah ngobrol sama mereka, tidak perlu mikir”

“Hahaha” Teman saya hanya tertawa ringan.

Sering kali kalau lagi sendirian dan sedang merasakan hati yang kesepian di malam hari, saya datang ke sana. Walau hanya makan kue lopisnya saja, sebagai alasan, saya mengobrol dengan “nyak” dan “baba” – panggilan untuk sepasang suami-istri tua renta itu.

Dialog di atas terjadi begitu saja tanpa direncanakan. Dan setelahnya, saya berpikir kembali tentang ucapan saya pada kalimat terakhir. Yang agak sedikit terasa menyepelakan orang tua itu.

Akhirnya saya pikir-pikir lagi ucapan saya itu, karena memang dalam hati ini tidak ada niat menyepelekan mereka. Dan tiba-tiba sebuah konsep perjalanan hidup saya dengan sendirinya menguak dan muncul ke permukaan dengan sangat jelas dengan diawali sebuah pertanyaan. Mengapa saya sangat senang saling bercerita dengan sepasang tua renta itu?

Akhirnya saya mulai menyadari, dan berani menjawab sendiri pertanyaan di atas. Kalau mengobrol dengan sepasang tua renta itu memang tidak perlu berpikir dengan otak, karena mereka mengajak berdialog dengan hati. Dan hati adalah pusat ketenangan. Dan ketenangan adalah sebab dari kesenangan.

Ingin saya lanjutkan kalimat terakhir saya dari sebuah dialog di atas dan ini menurut saya sebuah konsep kesenangan bagi saya.

“Nikmat kalau sudah ngobrol sama mereka, tidak perlu mikir, karena mereka bercerita dengan HATI

= = = = = = = = =

Srup…srup… tegukan terakhir. Nikmatnya kopi ini. Alhamdulilah, saya tidak membahas sebuah kopi. Karena sejujurnya saya sedang berusaha untuk berhenti dan melupakan kenikmatan tiada taranya sebuah kopi.

No comments: